Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Selasa, 29 April 2014
Bahunya masih terguncang
oleh duka sebab kepergian seorang tersayang. Keputusan sepihak yang harus ia
setujui meski hati bahkan tak merestui. Ya, dia patah hati, mendatangi saya
dengan luka tanpa darah yang sangat parah. Matanya merah, sembab dengan kantong
panda dibagian bawah. Nafasnya tersengal, menyesakkan.
“Mbaak Rissssa!”
peluknya sesak. Membuatku lupa pada serangan peningku yang menyerang beberapa
menit lalu.
“Ssstt, pripun Nduk?
Hmm?” balasku masih dengan dia dibahu saya.
Kisah itu mengalir,
mengabarkan sebab musabab semua dukanya.
Hubungan yang dibangun
nyaris seperti cicilan motor, hampir tiga tahun dan harus kandas sebab sebuah
iman yang berbeda. Bukan iman tentang cara mencintai Tuhan, namun iman mengartikan
kebersamaan.
“Aku kan cuma nanya dia
kemana aja, kenapa enggak sms dan ngasih kabar. Dia sempet banget update status
hang out bareng temen temennya tapi
sms aku aja enggak disempatkan. Wajar kan mba, kalau aku nanya gitu. Aku
nanyanya juga baik baik Mbak padahal, tapi dianya malah bilang kita jalan
sendiri sendiri dulu gitu. Aku kan butuh penjelasan, butuh ngobrol bukan
pemutusan sepihak kaya gini Mbak. Kalau kaya gini, dia sama aja enggak percaya
sama aku!” Jelasnya masih dengan sisa isak.
Hmm. Saya menghela
nafas. Baiklah, ini kasusnya nyaris sama.
“Dia bilangnya langsung
ke kamu?”
“Iya Mbak. Dia bilang
langsung. Kan dia sms aku, ngajak ketemu gitu di kampus. Terus kita juga sempat
makan bareng, nah pas udah selesai makan dia bilang itu.” Isaknya tertahan
dalam kenang.
“Setidaknya dia masih
mengucapkannya baik baik Nduk.” Senyumku menguatkan.
“Tapi kan mbaak. Sama
aja bikin nyesek.” Tangisnya nyaris pecah lagi.
“Hehe iya to?” Alisku
terangkat satu. Menggodanya. “Nduk, kamu inget lagu balonku enggak?”
“Inget Mbak..Kenapa
Mbak?”
“Mbak, agak lupa. Bisa
bantu ngingetin Nduk?”
“Ahh mbak! Aku kan lagi
sedih. Mana mood buat nyanyi lagu balonku.” Dengusnya kesal.
“Buat tugas i nduk. Hehe
bantu yaa...” rayuku dengan mata berkeling.
Dan diapun melantunkan
irama itu. Mendendangkan lagu jaman kanak kanak dengan paksa. Bersama suaranya
yang serak serak becek sebab terbanjiri air mata, dia mulai lupa pada lukanya.
“Balonku ada lima. Rupa
rupa warnanya. Hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan biru. Meletus balon
hijau. Dooor!” kagetku menirukan ekspresinya beberapa menit lalu. “Hatiku
sangat kacau. Balonku tinggal empat. Ku pegang erat erat. Gitu ya nduk?”
ulangku mengeja lirik lagu.
Dia hanya mengangguk,
kembali meratapi lukanya. Dan kali ini dia tak lagi bersandar dibahu saya.
Memilih bantal menjadi tumpuannya membungkam rasa.
“Balonku tinggal empat
ku pegang erat erat. Gitu kan Nduk?”
“Iya Mbaaak!” sahutnya
kesal ritual peratapan lukanya terganggu.
“Itu berarti balonnya
tinggal empat, yang tadinya lima. Karena kitanya sekarang Cuma punya empat
balon berarti itu yang mesti kita jaga. Gitu kan ya Nduk?” Godaku lagi.
Kali ini tangisnya benar
benar berhenti. Berusaha mencerna pernyataan saya sebelum mengiyakan atau
menidakkan. Dan dua puluh detik kemudian tangisnya kembali pecah di bahu saya.
“Kadang Nduk, kehilangan
memang terasa sangat menyakitkan, terlebih jika kehilangan itu datang tanpa
mengabarkan lebih dahulu. Tapi Nduk, dari kehilangan itu bukan berarti
kewajiban kita juga ikut hilang bersamanya. Kewajiban apa? Kewajiban untuk
belajar dari kehilangan, kaya misalnya, kewajiban untuk menjaga yang masih ada
serta mengikhlaskan yang tak lagi di depan mata.” Usapku pada bahunya yang kian
berguncang. “Bismillah Nduk...dia sedang mengajarkanmu tentang kehilangan. Pun
dengan Gusti Allah yang sedang berbaik hati mengenalkanmu dengan kerelaan dan
kepasrahan pada.Nya. Masa ini, masa yang ia namakan dengan jalan sendiri
sendiri, gunakanlah untuk memperbaiki diri. Kan mbak sering bilang, kalau
perempuan baik itu pasti untuk laki laki yang baik, pun sebaliknya. Dan kelak
jika masanya tiba, entah itu untuk kisah yang sempat bersambung dan berlanjut
dengan pelaku yang sama, atau kisah yang baru lagi dengan kalian sebagai
pemeran utama, insya Allah ada bahagia disana. Saling menyanyangi itu tak
sebatas saling mengabari setiap hari, kadang ada yang lebih melegakan ketika
kita percaya bahwa dia disana sedang berjuang untuk sebuah masa. Ada yang lebih
melegakan ketika kita percaya, ada doa yang selalu terpanjat untuk sebuah masa.
Kalau kamu memaksa dia memberitahumu setiap agendanya dia, aktivitasnya dia,
atau semua hal yang dialami, lantas apa bedanya kamu dengan satpam hayoo?
Laporan dua puluh empat jam :D. Kadang laki laki memang seperti itu, kita
kelimpungan mencari kabar, dianya malah santai tanpa dosa, tanpa paham kita
nyaris terbunuh khawatir kehilangan. Sering juga menganggap semua baik baik
saja, sedang kita butuh banyak cerita dan penjelasan.” Kembali ku hela nafas.
Menata hati yang sedikit berantakan.
“Makannya mbak, pengenku
kan diobrolin dulu, enggak langsung keputusan sepihak kaya gini...” lirihnya
berlahan menyeka duka.
“Hehe kan udah dibilang,
kadang laki laki memang seperti itu, sering menganggap semua baik baik saja,
sedang kita butuh banyak cerita dan penjelasan.” Ulangku mengingatkan.
“Terus aku mesti gimana
mbaak?”
“Balonku tinggal empat.
Ku pegang erat erat.” Dendangku lagi.
^O^
Punggungnya kian mengecil bersama
deru Beat yang menjauh. Gadis itu masih patah hati, obrolan nyaris tiga jam itu
belum benar benar mengobati lukanya. Errghhh tidak semudah itu mengobati luka
tanpa darah kisanak! -_- Meski demikian, ketika dia datang dengan hati yang tak
menyatu (berkeping banyak), dia pulang membawa kembali hatinya yang kembali
satu. Belajar menyatukan serpihan hati menjadi sebuah ketegaran srikandi.
Setidaknya Srikandi tahu bagaimana mencintai
Permadi dengan tepat, Permadi yang kabarnya menjadi lelaki tertampan
dengan hati tak kalah rupawan memang wajar menjadi idaman, dan Srikandi tahu
bagaimana mencintai Permadi yang telah beristri banyak itu. Menjaga kesucian
cintanya tanpa ‘tapi’, dan melekatkan kata ‘meski’ didasar hati.
^O^
“Meletus balon hijau! Dooor! Hatiku
sangat kacau.”
Ah tentu saja kacau atau galau kata
orang kebanyakan. Wajar ketika sesuatu yang kita miliki itu hilang. Ayolah, kehilangan
tak melulu menyoal asmara horisontal kan? -_- jangan menyempitkan makna kata,
menghubungkan semua hal dengan asmara :3. Ranah kehilangan itu tak terhingga,
bisa apa saja! Kehilangan amanah, entah sebab masa bakti yang habis atau
kepercayaan salah satu pihak yang habis. Kehilangan harta, entah sebab
terinfakkan dijalan.Nya atau terinfakkan paksa oleh kaum perompak. Kehilangan kesempatan
untuk meraih sesuatu yang teridamkan dalam juang, entah sebab kurangnya sebuah
ikhtiar atau pembukaan sempat lebih besar tanpa duga dikemudian hari.
Kehilangan salah satu fungsi tubuh, entah sebab tindak ceroboh sebuah pihak,
atau kecintaan Allah agar kita dimudahkan mampu menutup salah satu pintu masuk
dosa.
Semua kehilangan itu, mengajarkan
banyak hal untuk kita.
1. Mengenalkan
pada sebuah kata ‘kehilangan’ itu sendiri. Bukan semata agar kita tahu sakitnya
kehilangan itu, namun juga agar kita paham bagaimana kehilangan itu. Pun tak
semata untuk kita sendiri, namun juga untuk rekan kita yang barangkali sedang
atau pernah kehilangan. Dengan paham kehilangan itu, kita akan tahu bagaimana
cara mengatasinya. Layaknya saat kita tahu jenis sakit yang kita alami, kitapun
akan tahu obat yang tepat untuk menyembuhkan lantas merekomendasikan resep
tersebut pada rekan kita. Juga tentang ragamnya rasa yang Allah anugerahkan
pada manusia.
2. Memahami
hakikat ikhlas tanpa bekas. Dalam kitab suci saya, ada sebuah surat yang diberi
nama Al-Ikhlas. Bahkan di dalamnya tidak tersurat kata ikhlas, surat itu
mengabarkan tentang keEsaan Allah SWT, bahwa Dia tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan, bahwa Dia satu satunya tempat kita meminta segala sesuatu, dan
Tidak ada satu dzatpun yang mampu menyerupaik Dia. Dimana ikhlas itu? Ikhlas
terkandung didalamnya, meringkuk nyaman dalam rahim surat itu. Iya, ikhlas itu
tak pernah tersurat. Sangat lucu ketika ada seorang yang bilang, “Aku udah
ikhlas kok.”, ahh sejak kapan ikhlas melintas dibibir dan dikabarkan penuh
frontal?
3. Agar
kita tahu cara tepat menjaga. Haha jelas! Ketika kita sudah tahu bagaimana
rasanya kehilangan, kitapun tahu bagaimana seharusnya menjaga hal itu tetap ada
untuk kita.
^O^
“Balonku
tinggal empat, ku pegang erat erat!”
Tentu
saja, kehilangan memang sempat membuat berantakan susun batu ketegaran sebuah
raga. Hi, masih ingat kan? Bahwa Allah itu Maha Pengasi lagi Maha Penyayang,
menyayangi makluknya meski dengan mengenalkan kehilangan. Tenanglah, sekalipun
Allah membiarkanmu tersapa kehilangan, Dia tak sepenuhnya benar benar merengut
semuanya. Selalu ada satu dan banyak hal yang masih nyata ada untuk kita,
memberi sempat untuk kita untuk lebih bisa menjaga.
Pemimpin
dan pemilik amanah yang tergusur dari kursinya sebab riuhnya masa meneriakan
pelengserannya. Dia kehilangan percaya dari masa yang dipimpinnya, juga
kehilangan tahta singgasananya, namun dia masih punya waktu untuk memperbaiki
apa yang salah dengan dirinya. Menjaga waktu itu dengan segala asa yang masih
ada, berjuang agar waktu yang ia miliki tak terbunuh sia.
Pemimpin
dan pemilik amanah yang turun dari kursi kebanggaanya sebab masa kadaluarsa
yang telah tiba. Sebuah pergantian empunya kursi yang membuatnya kehilangan kuasa, namun dia
masih punya keluarga dan lingkungan untuk dia bekerja. Membaktikan diri pada
keluarga yang lama tak tersapa penuh hangat, misalnya. Membangun lingkungan
kecil yang kerap terduakan oleh perkara besar menyangkut negara, barangkali.
Hartawan
dengan limpahan intan berlian yang terpangkas nilainya sebab aksi rampok tengah
malam atau aksi tipu tipu dari koleganya. Nyata dia kehilangan sekian rupih, dolar,
euro ahh atau apalah yang mewakili mata uang, namun dia masih punya indra untuk
belajar darinya. Indra yang menuntunnya untuk lebih peka pada kesejatian kolega
juga kebutuhan kaum papa.
Seorang
sanak saudara yang tinggal nama serta meninggalkan kehampaan mendalam atas
kepergiannya berpulang pada Sang Maha Kuasa. Fenomena yang nyaris mengerinkan
air mata, namun Allah selalu menitipkan bahu untuk bersandar, jikapun tak ada
bahu yang tersisa selalu ada lantai untuk bersujud. Ingat kisah Nabi Ayub AS?
Iya, beliau yang manusia pilihan Allah pun dikenalkan dengan nyeri sebuah
kehilangan. Ketika Allah dalam cinta.Nya mendatangkan ujian dengan ragam
penyakit yang melekat pada diri Nabi Ayub AS hingga satu per satu keluarga
pergi, meninggalkan Ayub yang sedang penuh derita. Pun istrinya yang semula
berjanji setia dalam suka dan duka. Nabi Ayub AS, benar benar dirundung
kedukaan, namun ia masih punya ruang iman yang juga tak kalah mendalam. Iman
bahwa Allah SWT senantiasanya menyertai hamba.Nya.
Jadi?
Sudah bertemukah? :”)
Iya,
sejatinya kita tak pernah benar benar kehilangan selama iman itu masih ada.
Selama kita tak kehilangan iman pada.Nya kita tak pernah kehilangan apa apa.
Kekuasaan, harta, kasih sayang, keluarga, teman, kolega, dan segala rupa hal
duniawi. Bagaimana kita kehilangan jika kita masih memiliki iman pada Yang Maha
Kuasa, Yang Maha Kaya, Yang Masa Menyayangi, Yang Maha Mengasihi, Yang Maha
Mengetahui, Dzat yang tiada tandingan atas Dirinya. Allah SWT. ^_^
Tapi
bukan berati kehilangan itu tidak penting. Terkadang kita butuh tahu bahwa kita
sedang kehilangan, agar tahu harus mencari atau menjaga. ^_^
0 comments:
Post a Comment