Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Jumat,
24 Januari 2014
Baiklah, ini (masih) tentang mudik.
Mudik ternyata tak semata ajang pejemputan rindu pada insan insan rumah, bukan
pula perkara cengkrama lepas penuh canda. Di sisi lain mudik menyimpan
tanduknya untukku, menyeruduk benak dengan tanya yang memuakkan. Pertanyaan
sama dan berulang itu memuakkan menurut saya! Mudik juga perkara menjawab
pertanyaan ‘kapan lulus?’ atau ‘kapan nikah?’ Oh My -,-
Pertanyaan ‘kapan lulus?’ tidak
terlalu membuat sesak untuk dijawab. Kalimat ‘insya Allah tahun depan
Budhe/Pakdhe/Nini/Kaki/Om/Tante/Paman/Bibi, ya doakan saja semoga dilancarkan.”
Cukup membuat mereka diam takzim mendoakan. Sayangnya itu hanya pertanyaan
preambul, ada satu pertanyaan inti yang sejatinya akan segera terlontar. “Kapan
nikahnya Ris?” Oke. Saya akan menikah! Ya tentu saya akan menikah, bukahkah itu
sunah Rosul? Bukankah itu salah satu cara membuka pintu surga?
Saya akan menikah setelah Allah SWT
menyatakan bahwa saya telah siap lahiriah maupun batiniah menempuh peran kedua
seorang perempuan, menjadi seorang istri.
Budhe/Pakdhe/Nini/Kaki/Om/Tante/Paman/Bibi,
saya paham bahwa dari sekian anak sebaya saya di dusun kita hanya segelintir
anak yang belum menikah, anak anak yang masih disibukkan dengan sebuah jenjang program study, yang masih sibuk SMA,
SMP, dan beberapa kuliah. Seperti yang kalian ketahui, saya masih resmi menjadi
mahsiswi semester enam. Saya paham jika kalian mulai mengkhawatirkan masa depan
saya, tapi sungguh saya baik baik saja. Tak perlu repot repot mengkhawatirkan saya
berlebihan seperti itu.
Budhe/Pakdhe/Nini/Kaki/Om/Tante/Paman/Bibi,
terima kasih atas perhatiannya. Perhatian yang muncul sebab sekitar yang tak
lagi sama. Rekan rekan saya yang telah berumah tangga. Ya, saya setuju dengan
kalian. Mereka itu keren, menikah di usia muda, meminimalisir fitnah yang
mungkin terjadi. Saya akui keputusan mereka patut di acungi lima jempol :”).
Menikah, merantau, memiliki anak, menitipkan anak pada ayah bundanya, merantau
lagi. Siklus rumah tangga mereka saya paham, dan saya saya juga tahu betapa
Ayah Bunda yang dititipi anak itu bahagia. Menimang cucu 24 jam, menyanding
kelucuan dan keramahan anak usia dini. Iya saya juga ingin membuat bahagia Ayah
Bunda saya dengan hal tersebut, tapi kelak jika Allah memang sudah menyatakan
saya siap. Siap menjadi seorang Bunda yang leluasa menemani pertumbuhan buah
hatinya, sesekali mengunjungi Ayah Bundanya untuk membiasakan si cucu menyapa
kakek neneknya. Tak semata menitipkan buah hati sehingga melewatkan masa emas
pertumbuhan anak sendiri :”) Moment yang terlampau berharga untuk dilewatkan
sebab kata ‘merantau’.
Budhe/Pakdhe/Nini/Kaki/Om/Tante/Paman/Bibi
juga rekan rekan yang sering menganjurkan menikah dalam banyak postingan sosial
media, jazakillah khoiron katsir atas anjurannya, nasihat nasihat indahnya,
sekali lagi saya tegaskan. Saya akan menikah setelah Allah SWT menyatakan saya
siap memperluas hati saya untuk menampung cinta dua keluarga yang bersatu. Mencinta
keluarga suami saya serupa saya mencintai keluarga saya. Membagi bakti untuk
dua keluarga. Jika memang masanya sudah tiba, dan tibanya masa itu hanya Allah
SWT yang Maha Tahu, maka resmilah saya menikah. Sungguh kalian tak perlu repot
repot merisaukan keadaan saya. Percayalah saya baik baik saja. Saya hanya
meminta sedikit pengertiannya, sedikit tepo
sliro dari luasnya hati kalian. Sebab saat ini saya memang sedang berproses
menuju kesiapan kesiapan itu, menempa diri menjadi calon istri juga calon
Bunda. Saya mohonkah sedikit pengertiannya, sedikit tepo sliro dari luasnya cinta kalian pada saya. Sehingga tak
terlintas fikir bahwa jodoh saya datang terlambat. Biarkan saya tetap pada
keyakinan saya, bahwa tidak ada kata terlambat dalam kamus renacana Allah,
begitupun perihal jodoh. Semuanya telah Ia rencakan dengan tepat tanpa kata
terlambat ataupun tersesat.
^O^
Bagi saya, pernikahan (sepertinya
menjadi perbincangan yang ramai untuk usia 20+) tidak semata tentang pertemuan
dua insan, menikah, tinggal serumah, seks, punya anak, memberi materi, punya
cucu. Bukan, jauh dari fase itu pernikahan lebih pada sebuah perjalanan sesi
kedua seorang manusia. Perjalanan sesi pertama adalah tentang perjalanan
seorang anak yang membaktikan diri kepada orang tuanya, dan perjalanan kedua
ialah tentang membersamai seorang untuk saling melengkapi.
Tak semata tentang lebih tua,
seumuran, ataupun lebih muda. Juga bukan tentang si Sulung yang harus
disandingkan dengan si Bungsu, si Tengah yang bebas memilih. Pernikahan lebih tentang
perjalanan. Ya, perjalanan bersama insan yang mampu menyeimbangkan hidup dan yang
bisa berjalan beriringan, bukan yang didepan mendahului dan tidak tertinggal
dibelakang, tapi dia yang berlajan di sisi kita. Yang memberi kedamaian di
hati. Kenyamanan di sisi juga kasih sayang tiada henti. Tentang tertawa
bersama, saling mensupport, serta mendoakan satu sama lain. Tentang
perbincangan lepas tak berbatas tanpa berfikir ini pantas atau tidak. Saat dunia
memperlakukan dengan kejam dalam keterasingan, dialah tempat kita untuk pulang.
Atap teraman dan ternyaman kita untuk selalu merasa tentram. Yang senantiasa
membuat kita sanggup untuk menjadi sangat penyabar juga membuat kita sanggup
untuk senantiasa mengerti sesulit apapun suatu keadaan. Yang menerima kita apa
adanya meski seadanya. Wajah yang barangkali tidak rupawan, namun keyakinan
bahwa bersamanya adalah satu hal yang wajib diperjuangkan. Barangkali jauh dari
idaman, namun disana iman brtahta, yakin bahwa dialah seorang yang kita
butuhkan dalam perjalanan ini. Dan tentang masa lalu yang masih menyertainya
akan kita terima sebab kita percaya bahwa itulah yang membentuknya sekarang. Lantas
kekurangan dan kelebihan masing masing adalah tugas bersama untuk saling
menerima dan saling melengkapi agar mampu menjadikan dua pribadi yang lebih
baik. Tentang seorang yang ikhlaskan untuk menjadi ma’mummu jika kamu laki
laki. Tentang seorang yang kamu ikhlaskan untuk menjadi imammu jika kamu
perempuan. Dan tentu membuatmu bangga menjadi Ayah atau Ibu dari anak anaknya.
:”)
Bahkan dalam islam, nilai sebuah
pernikahan diibaratkan dengan setengah agama. Bahwa menikah akan mampu menyempurnakan
sebuah percaya akan kuasa.Nya. Kuasa atas apa? Kuasa atas ikhtiar kita, melalui
kuasa.Nya kita dibekali seorang yang hadir untuk menjadi partner kita
mengarungi perjalanan sesi dua ini. Seorang yang engkau datangi (jika kamu laki
laki), seorang yang mendatangi (jika engkau perempuan) sebab Allah semata.
Meniatkan semua ikhtiar sebab hendak mencapai ridha.Nya.
Dan saya ingin mengikhtiarkannya
baik baik tanpa ketergesa gesaan sebab pertanyaan dan celaan sekitar. Tanpa
ketergesa-gesaan sebab celotehan insan insan sebaya diperempatan jalan. Tanpa
ketergesa-gesaan sebab usia dua puluhan.
Dan saya ingin mengikhtiarkannya
baik baik tanpa campuran budaya kebodohan sebab mengatasnamakan prosesi
perkenalan dalam sebuah ikat pacaran. Tanpa campuran pesan pesan elektronik
yang beraroma kemesraan. Juga tanpa panggilan panggilan pengundang fitnah.
Dan saya ingin mengikhtiarkannya
baik baik, membiarkan Allah mengukur kesiapan saya menjadi partner.nya
membangun rumah tangga berlandas Allah Ta’Ala.
^O^
Kelak jika masanya telah tiba. Masa
pertemuan yang telah Allah tetapkan untuk saya. masa dimana Allah tautkan hati
saya untuk seorang yang membawa tenang, tentram juga kasih dan sayang. Kebersamaan yang tercipta tanpa proses
pacaran. Semoga engkau diberi nikmat sempat untuk menyaksikan bagaimana kami
saling berproses membincangkan untuk hidup kami. Bagaimana kami saling meredam
ego masing masing dalam pengambilan keputusan. Bagaimana kami membincangkan hal
hal yang sebelumnya telah kami rencanakan sebelum saling bertemu. Hal hal
tentang dimana kami akan tinggal, berapa jumlah anak yang dinginkan, pembagian
kewajiban, pengelolaan keuangan, pendidikan anak, pengasuhan anak, dan hal lain
yang berkaitan dengan kebutuhan kami kelak. Semoga engkau diberi nikmat sempat
untuk menyaksikan kami memutuskan ragam kebutuhan itu bersama sama.
Kelak jika masanya telah tiba. Masa
pertemuan yang telah Allah tetapkan untuk saya. Masa dimana Allah tautkan hati
saya untuk seorang yang membawa tenang, tentram, juga kasih dan sayang. Sebuah
kebersamaan dengannya yang membawa ketenangan dan ketentraman sehingga
menimbulkan kecenderungan pada hati kami satu sama lain. Kebersamaan yang tidak
perlu ikatan bualan seperti pacaran. Kebersamaan yang berdasarkan penjagaan
dari fitnah fitnah kesyahwatan. Semoga engkau diberi nikmat sempat untuk
menyaksikan binar mataku menatapnya. Semoga engkau diberi nikmat sempat untuk
mendengarnya mengucap janji seorang laki laki asing untuk menjaga seorang
perempuan asing berlandas Allah semata yang diaminkan malaikat langit.
Menyaksikan eratnya jabat tanganya kepada Ayah saya, mengikrarkan transaksi
pengalihan tanggung jawab seorang Ayah kepada seorang Pemuda.
Kelak jika masanya telah tiba. Masa
pertemuan yang Allah tetapkan untuk saya. Masa dimana Alla tautkan hati saya
untuk seorang yang membawa tenang, tentram, juga kasih dan sayang. Semoga
engkau diberi nikmat sempat untuk menyaksikan kami menua bersama. Saling memperbaiki
bersama. Membesarkan buah hati bersama. Mengembangkan senyum Bunda-Ayah
bersama. Hingga kami menua bersama dalam genggaman tangan tangan keriput kami.
Ya, semoga engkau diberi nikmat
untuk semua itu :”) Aamiin aamiin aamiiin ya Rabbal ‘alamin :”)
0 comments:
Post a Comment