Rss Feed
  1. (Saksikanlah!) Saya Akan Menikah!

    Wednesday, 9 April 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Jumat, 24 Januari 2014


                Baiklah, ini (masih) tentang mudik. Mudik ternyata tak semata ajang pejemputan rindu pada insan insan rumah, bukan pula perkara cengkrama lepas penuh canda. Di sisi lain mudik menyimpan tanduknya untukku, menyeruduk benak dengan tanya yang memuakkan. Pertanyaan sama dan berulang itu memuakkan menurut saya! Mudik juga perkara menjawab pertanyaan ‘kapan lulus?’ atau ‘kapan nikah?’ Oh My -,-
                Pertanyaan ‘kapan lulus?’ tidak terlalu membuat sesak untuk dijawab. Kalimat ‘insya Allah tahun depan Budhe/Pakdhe/Nini/Kaki/Om/Tante/Paman/Bibi, ya doakan saja semoga dilancarkan.” Cukup membuat mereka diam takzim mendoakan. Sayangnya itu hanya pertanyaan preambul, ada satu pertanyaan inti yang sejatinya akan segera terlontar. “Kapan nikahnya Ris?” Oke. Saya akan menikah! Ya tentu saya akan menikah, bukahkah itu sunah Rosul? Bukankah itu salah satu cara membuka pintu surga?
                Saya akan menikah setelah Allah SWT menyatakan bahwa saya telah siap lahiriah maupun batiniah menempuh peran kedua seorang perempuan, menjadi seorang istri.
                Budhe/Pakdhe/Nini/Kaki/Om/Tante/Paman/Bibi, saya paham bahwa dari sekian anak sebaya saya di dusun kita hanya segelintir anak yang belum menikah, anak anak yang masih disibukkan dengan sebuah jenjang program study, yang masih sibuk SMA, SMP, dan beberapa kuliah. Seperti yang kalian ketahui, saya masih resmi menjadi mahsiswi semester enam. Saya paham jika kalian mulai mengkhawatirkan masa depan saya, tapi sungguh saya baik baik saja. Tak perlu repot repot mengkhawatirkan saya berlebihan seperti itu.
                Budhe/Pakdhe/Nini/Kaki/Om/Tante/Paman/Bibi, terima kasih atas perhatiannya. Perhatian yang muncul sebab sekitar yang tak lagi sama. Rekan rekan saya yang telah berumah tangga. Ya, saya setuju dengan kalian. Mereka itu keren, menikah di usia muda, meminimalisir fitnah yang mungkin terjadi. Saya akui keputusan mereka patut di acungi lima jempol :”). Menikah, merantau, memiliki anak, menitipkan anak pada ayah bundanya, merantau lagi. Siklus rumah tangga mereka saya paham, dan saya saya juga tahu betapa Ayah Bunda yang dititipi anak itu bahagia. Menimang cucu 24 jam, menyanding kelucuan dan keramahan anak usia dini. Iya saya juga ingin membuat bahagia Ayah Bunda saya dengan hal tersebut, tapi kelak jika Allah memang sudah menyatakan saya siap. Siap menjadi seorang Bunda yang leluasa menemani pertumbuhan buah hatinya, sesekali mengunjungi Ayah Bundanya untuk membiasakan si cucu menyapa kakek neneknya. Tak semata menitipkan buah hati sehingga melewatkan masa emas pertumbuhan anak sendiri :”) Moment yang terlampau berharga untuk dilewatkan sebab kata ‘merantau’.
                Budhe/Pakdhe/Nini/Kaki/Om/Tante/Paman/Bibi juga rekan rekan yang sering menganjurkan menikah dalam banyak postingan sosial media, jazakillah khoiron katsir atas anjurannya, nasihat nasihat indahnya, sekali lagi saya tegaskan. Saya akan menikah setelah Allah SWT menyatakan saya siap memperluas hati saya untuk menampung cinta dua keluarga yang bersatu. Mencinta keluarga suami saya serupa saya mencintai keluarga saya. Membagi bakti untuk dua keluarga. Jika memang masanya sudah tiba, dan tibanya masa itu hanya Allah SWT yang Maha Tahu, maka resmilah saya menikah. Sungguh kalian tak perlu repot repot merisaukan keadaan saya. Percayalah saya baik baik saja. Saya hanya meminta sedikit pengertiannya, sedikit tepo sliro dari luasnya hati kalian. Sebab saat ini saya memang sedang berproses menuju kesiapan kesiapan itu, menempa diri menjadi calon istri juga calon Bunda. Saya mohonkah sedikit pengertiannya, sedikit tepo sliro dari luasnya cinta kalian pada saya. Sehingga tak terlintas fikir bahwa jodoh saya datang terlambat. Biarkan saya tetap pada keyakinan saya, bahwa tidak ada kata terlambat dalam kamus renacana Allah, begitupun perihal jodoh. Semuanya telah Ia rencakan dengan tepat tanpa kata terlambat ataupun tersesat.
    ^O^
                Bagi saya, pernikahan (sepertinya menjadi perbincangan yang ramai untuk usia 20+) tidak semata tentang pertemuan dua insan, menikah, tinggal serumah, seks, punya anak, memberi materi, punya cucu. Bukan, jauh dari fase itu pernikahan lebih pada sebuah perjalanan sesi kedua seorang manusia. Perjalanan sesi pertama adalah tentang perjalanan seorang anak yang membaktikan diri kepada orang tuanya, dan perjalanan kedua ialah tentang membersamai seorang untuk saling melengkapi.
                Tak semata tentang lebih tua, seumuran, ataupun lebih muda. Juga bukan tentang si Sulung yang harus disandingkan dengan si Bungsu, si Tengah yang bebas memilih. Pernikahan lebih tentang perjalanan. Ya, perjalanan bersama insan yang mampu menyeimbangkan hidup dan yang bisa berjalan beriringan, bukan yang didepan mendahului dan tidak tertinggal dibelakang, tapi dia yang berlajan di sisi kita. Yang memberi kedamaian di hati. Kenyamanan di sisi juga kasih sayang tiada henti. Tentang tertawa bersama, saling mensupport, serta mendoakan satu sama lain. Tentang perbincangan lepas tak berbatas tanpa berfikir ini pantas atau tidak. Saat dunia memperlakukan dengan kejam dalam keterasingan, dialah tempat kita untuk pulang. Atap teraman dan ternyaman kita untuk selalu merasa tentram. Yang senantiasa membuat kita sanggup untuk menjadi sangat penyabar juga membuat kita sanggup untuk senantiasa mengerti sesulit apapun suatu keadaan. Yang menerima kita apa adanya meski seadanya. Wajah yang barangkali tidak rupawan, namun keyakinan bahwa bersamanya adalah satu hal yang wajib diperjuangkan. Barangkali jauh dari idaman, namun disana iman brtahta, yakin bahwa dialah seorang yang kita butuhkan dalam perjalanan ini. Dan tentang masa lalu yang masih menyertainya akan kita terima sebab kita percaya bahwa itulah yang membentuknya sekarang. Lantas kekurangan dan kelebihan masing masing adalah tugas bersama untuk saling menerima dan saling melengkapi agar mampu menjadikan dua pribadi yang lebih baik. Tentang seorang yang ikhlaskan untuk menjadi ma’mummu jika kamu laki laki. Tentang seorang yang kamu ikhlaskan untuk menjadi imammu jika kamu perempuan. Dan tentu membuatmu bangga menjadi Ayah atau Ibu dari anak anaknya. :”)
                Bahkan dalam islam, nilai sebuah pernikahan diibaratkan dengan setengah agama. Bahwa menikah akan mampu menyempurnakan sebuah percaya akan kuasa.Nya. Kuasa atas apa? Kuasa atas ikhtiar kita, melalui kuasa.Nya kita dibekali seorang yang hadir untuk menjadi partner kita mengarungi perjalanan sesi dua ini. Seorang yang engkau datangi (jika kamu laki laki), seorang yang mendatangi (jika engkau perempuan) sebab Allah semata. Meniatkan semua ikhtiar sebab hendak mencapai ridha.Nya.
                Dan saya ingin mengikhtiarkannya baik baik tanpa ketergesa gesaan sebab pertanyaan dan celaan sekitar. Tanpa ketergesa-gesaan sebab celotehan insan insan sebaya diperempatan jalan. Tanpa ketergesa-gesaan sebab usia dua puluhan.
                Dan saya ingin mengikhtiarkannya baik baik tanpa campuran budaya kebodohan sebab mengatasnamakan prosesi perkenalan dalam sebuah ikat pacaran. Tanpa campuran pesan pesan elektronik yang beraroma kemesraan. Juga tanpa panggilan panggilan pengundang fitnah.
                Dan saya ingin mengikhtiarkannya baik baik, membiarkan Allah mengukur kesiapan saya menjadi partner.nya membangun rumah tangga berlandas Allah Ta’Ala.
    ^O^
                Kelak jika masanya telah tiba. Masa pertemuan yang telah Allah tetapkan untuk saya. masa dimana Allah tautkan hati saya untuk seorang yang membawa tenang, tentram juga kasih dan sayang.  Kebersamaan yang tercipta tanpa proses pacaran. Semoga engkau diberi nikmat sempat untuk menyaksikan bagaimana kami saling berproses membincangkan untuk hidup kami. Bagaimana kami saling meredam ego masing masing dalam pengambilan keputusan. Bagaimana kami membincangkan hal hal yang sebelumnya telah kami rencanakan sebelum saling bertemu. Hal hal tentang dimana kami akan tinggal, berapa jumlah anak yang dinginkan, pembagian kewajiban, pengelolaan keuangan, pendidikan anak, pengasuhan anak, dan hal lain yang berkaitan dengan kebutuhan kami kelak. Semoga engkau diberi nikmat sempat untuk menyaksikan kami memutuskan ragam kebutuhan itu bersama sama.
                Kelak jika masanya telah tiba. Masa pertemuan yang telah Allah tetapkan untuk saya. Masa dimana Allah tautkan hati saya untuk seorang yang membawa tenang, tentram, juga kasih dan sayang. Sebuah kebersamaan dengannya yang membawa ketenangan dan ketentraman sehingga menimbulkan kecenderungan pada hati kami satu sama lain. Kebersamaan yang tidak perlu ikatan bualan seperti pacaran. Kebersamaan yang berdasarkan penjagaan dari fitnah fitnah kesyahwatan. Semoga engkau diberi nikmat sempat untuk menyaksikan binar mataku menatapnya. Semoga engkau diberi nikmat sempat untuk mendengarnya mengucap janji seorang laki laki asing untuk menjaga seorang perempuan asing berlandas Allah semata yang diaminkan malaikat langit. Menyaksikan eratnya jabat tanganya kepada Ayah saya, mengikrarkan transaksi pengalihan tanggung jawab seorang Ayah kepada seorang Pemuda.
                Kelak jika masanya telah tiba. Masa pertemuan yang Allah tetapkan untuk saya. Masa dimana Alla tautkan hati saya untuk seorang yang membawa tenang, tentram, juga kasih dan sayang. Semoga engkau diberi nikmat sempat untuk menyaksikan kami menua bersama. Saling memperbaiki bersama. Membesarkan buah hati bersama. Mengembangkan senyum Bunda-Ayah bersama. Hingga kami menua bersama dalam genggaman tangan tangan keriput kami.
                Ya, semoga engkau diberi nikmat untuk semua itu :”) Aamiin aamiin aamiiin ya Rabbal ‘alamin :”)


     

  2. 0 comments: