Ketika dunia berlarian mengejar
ketenangan dan kesempurnaan, aku bahkan melawan arus perlarian itu. Lari
meninggalkan dua hal yang mereka kejar. Betapa kenyamanan itu melenakan. Betapa
kesempurnaan itu menghanyutkan. Dan betapa bodoh diri yang mengejar kata
sempurna untuk mengukur segala nikmat Tuhan. Ampuni aku, Tuhan!!
^O^
Aku tak akan lupa bagaimana liku
jalan terjal itu. Tidak hanya terjal tapi juga ada kemiringan mendekati enam
puluh derajat bernama tanjakan. Disanalah kuatnya lutut teruji dengan nyata,
tulang kering dibawahnyapun turut menopang agar langkah tetap terjaga. Melawan
gravitasi bumi dan tak acuh pada keletihan. Hanya demi sebuah tahta.
Aku pun tak mungkin lupa pada proses
pengumpulan mozaik rejeki dalam kepingan rupiah. Lembaran lembaran penyambung
hidup yang miris namun menjadi penyemangat karena disapa wajah WR.Soepratman
yang tersenyum manis. Nominal untuk menjalankan roda hidup agar tetap berputar
sebagaimana mestinya di era modernisasi. Selembar merah jambu yang tak pernah
cukup untuk sekali makan di kedai ternama milik negara tetangga.
Selalu terkenang pula pada sesosok Srikandi
manis yang dengan tepat memanahkan asmara pada seorang biasa sepertiku.
Srikandi yang sempat kusapa dalam sejarah. Menemukan sosoknya di memori masa
lalu, lantas membawanya sebagai masa depan karena kesetiaan untuk selalu ada
dalam melakoni peran di Tegal Kurusetra abad dua puluh satu. Melawan maharesi
Bhisma yang bermetamorfosa dalam segala sosok penghianatan hidup.
Perjuangan hidup yang berbuah
sempurna. Bukankah Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum jika kaum itu
tidak merubahnya sendiri? Bukankah Tuhan sangat demokratis lagi sangat bijaksana?
Bagaimana hidupmu kini adalah akibat dari hidupmu dimasa lalu. Menyalahkan
orang lain atas segala yang terjadi adalah kepengecutan yang terselubung.
Mengapa menyalahkan orang lain ketika ternyata itu karena ketidakmampuanmu
mengambil sikap?
^O^
Harta. Tahta. Pasangan, setia.
Sempurna? Semua poin telah tergenggam nyaman ditangan kecil ini. Posisi
strategis anti tangkis. Harta melimpah tanpa kurang. Pasangan setia kasat mata.
Hidup tanpa cela dan noda. Sempurna serasa diatas awan namun kosong sekosong
awan yang hanya kepulan asap. Hampa tanpa rasa. Hambar memuakkan. Tak ada
perjuangan juga keringat. Semua tersedia. Tanpa usahapun sudah ada. Sial!! Aku
muak. Bosan. Jenuh. Kesempurnaan yang menjemukan!!
Seperti bocah lima tahun yang
belajar menyapa huruf dalam panggilan burung terbang untuk huruf ‘M’ seperti
itu pula aku mulai belajar mengeja lagi. Mengeja kata sempurna yang tak sempurna ini. Menuntaskan tanya atas
kehampaan di sanubari. Ingin bebas dan segera terlepas dari jajahan juga
jeratan kata sempurna. Meski harus menelan fakta getir. Tak perlu metafora
untuk menyatakan ini. Tak butuh perumpaan pula untuk menjelaskannya. Betapa aku
belum merdeka. Dijajah kata sempurna.
Merangkak pelan. Membuka perspektif
baru tentang kesempurnaan. Karena sempurna tidak melulu tentang seberapa banyak
harta yang termiliki. Juga tidak tentang seberapa strategisnya sebuah posisi.
Apa lagi sebatas penawaran kesetiaan abadi dari pasangan. Dan tentu saja bukan
mengenai kelengkapan atas ketiga poin itu. Sempurna adalah cara mensyukuri
nikmat yang telah Tuhan berikan. Sempurna adalah soal cara pandang. Jika kamu
telah sempurna dengan sehelai kain takwa pun tak jadi soal. Namun tolong jawab.
Jika memberi gelar sempurna pada benda fana, lantas gelar apa yang
dianugerahkan untuk Dia yang Maha Sempurna?
0 comments:
Post a Comment