Rss Feed
  1. Sempurna Tapi Belum Merdeka.

    Wednesday 5 June 2013

    Hogwarts

                Ketika dunia berlarian mengejar ketenangan dan kesempurnaan, aku bahkan melawan arus perlarian itu. Lari meninggalkan dua hal yang mereka kejar. Betapa kenyamanan itu melenakan. Betapa kesempurnaan itu menghanyutkan. Dan betapa bodoh diri yang mengejar kata sempurna untuk mengukur segala nikmat Tuhan. Ampuni aku, Tuhan!!
    ^O^
                Aku tak akan lupa bagaimana liku jalan terjal itu. Tidak hanya terjal tapi juga ada kemiringan mendekati enam puluh derajat bernama tanjakan. Disanalah kuatnya lutut teruji dengan nyata, tulang kering dibawahnyapun turut menopang agar langkah tetap terjaga. Melawan gravitasi bumi dan tak acuh pada keletihan. Hanya demi sebuah tahta.
                Aku pun tak mungkin lupa pada proses pengumpulan mozaik rejeki dalam kepingan rupiah. Lembaran lembaran penyambung hidup yang miris namun menjadi penyemangat karena disapa wajah WR.Soepratman yang tersenyum manis. Nominal untuk menjalankan roda hidup agar tetap berputar sebagaimana mestinya di era modernisasi. Selembar merah jambu yang tak pernah cukup untuk sekali makan di kedai ternama milik negara tetangga.
                Selalu terkenang pula pada sesosok Srikandi manis yang dengan tepat memanahkan asmara pada seorang biasa sepertiku. Srikandi yang sempat kusapa dalam sejarah. Menemukan sosoknya di memori masa lalu, lantas membawanya sebagai masa depan karena kesetiaan untuk selalu ada dalam melakoni peran di Tegal Kurusetra abad dua puluh satu. Melawan maharesi Bhisma yang bermetamorfosa dalam segala sosok penghianatan hidup.
                Perjuangan hidup yang berbuah sempurna. Bukankah Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum jika kaum itu tidak merubahnya sendiri? Bukankah Tuhan sangat demokratis lagi sangat bijaksana? Bagaimana hidupmu kini adalah akibat dari hidupmu dimasa lalu. Menyalahkan orang lain atas segala yang terjadi adalah kepengecutan yang terselubung. Mengapa menyalahkan orang lain ketika ternyata itu karena ketidakmampuanmu mengambil sikap?
    ^O^
                Harta. Tahta. Pasangan, setia. Sempurna? Semua poin telah tergenggam nyaman ditangan kecil ini. Posisi strategis anti tangkis. Harta melimpah tanpa kurang. Pasangan setia kasat mata. Hidup tanpa cela dan noda. Sempurna serasa diatas awan namun kosong sekosong awan yang hanya kepulan asap. Hampa tanpa rasa. Hambar memuakkan. Tak ada perjuangan juga keringat. Semua tersedia. Tanpa usahapun sudah ada. Sial!! Aku muak. Bosan. Jenuh. Kesempurnaan yang menjemukan!!
                Seperti bocah lima tahun yang belajar menyapa huruf dalam panggilan burung terbang untuk huruf ‘M’ seperti itu pula aku mulai belajar mengeja lagi. Mengeja kata sempurna  yang tak sempurna ini. Menuntaskan tanya atas kehampaan di sanubari. Ingin bebas dan segera terlepas dari jajahan juga jeratan kata sempurna. Meski harus menelan fakta getir. Tak perlu metafora untuk menyatakan ini. Tak butuh perumpaan pula untuk menjelaskannya. Betapa aku belum merdeka. Dijajah kata sempurna.

                Merangkak pelan. Membuka perspektif baru tentang kesempurnaan. Karena sempurna tidak melulu tentang seberapa banyak harta yang termiliki. Juga tidak tentang seberapa strategisnya sebuah posisi. Apa lagi sebatas penawaran kesetiaan abadi dari pasangan. Dan tentu saja bukan mengenai kelengkapan atas ketiga poin itu. Sempurna adalah cara mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan. Sempurna adalah soal cara pandang. Jika kamu telah sempurna dengan sehelai kain takwa pun tak jadi soal. Namun tolong jawab. Jika memberi gelar sempurna pada benda fana, lantas gelar apa yang dianugerahkan untuk Dia yang Maha Sempurna?

  2. 0 comments: