Rss Feed

  1.             Orang tua atau keluarga merupakan institusi paling penting dalam pembentukan kemampuan anak untuk meraih prestasi. Interaksi yang terjadi antara orangtua dengan anak akan menggambarkan pola asuh yang diterapkan. Maka itulah orangtua merupakan pengambil peran utama dalam mengasuh anak-anaknya. Terjadinya krisis hubungan yang melibatkan antara orangtua dan anak sebagian besar disebabkan karena ketidakbijaksanaan orangtua dalam menerapkan pola asuh. Untuk mencegah ketidakharmonisan hubungan antara orangtua dan anak, sebagai orang tua harus mengetahui bagaimana cara yang baik untuk membawa sang buah hati mencapai masa depan dengan menempuh jalan yang terbaik.
                Umumnya, kita mengenal tiga jenis pola asuh, yaitu otoriter, permisif, dan demokratis. Pola asuh otoriter yang cenderung membatasi ruang gerak anak agar senantiasa mengikuti jalur yang dibuat oleh orangtua akan menuntun anak menjadi pribadi yang kurang memiliki inisiatif. Kepekaannya terhadap keadaan sosialpun akan sangat kurang. Minimnya keberanian mengambil keputusan akan menjadi benih benih karakter penakut dan pemalu, kadang kadang anak juga menjadi keras kepala. Dan berlahan akan menarik diri dari lingkungan sehingga mengalami hambatan kematangan jiwa atau kecerdasan, kedewasaan, serta kepribadiaannya. Pola asuh yang kedua permisif. Bagi orangtua dengan cara pandang permisif, anak mereka adalah orang dewasa yang dapat mengambil tindakan atau keputusan sendiri menurut kehendaknya tanpa bimbingan. Dengan kebebasan yang sangat luas tersebut anak akan tumbuh dengan pribadi yang impulsif, kurang disiplin, egois (mau menang sendiri), kemampuan sosialisasi kurang baik hingga akhirnya dia akan menjadi pribadi bebas tanpa rekan. Pola asuh ketiga demokratis. Orang tua memerlakukan anak sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak dan memerlihatkan serta mempertimbangkan keinginan – keinginan anak. Anak dengan orangtua demokratis akan menunjukkan sikap atau perilaku tanggung jawab yang besar, dapat menerima perintah dan dapat memberi perintah secara wajar, juga dapat menerima kritik dan saran secara terbuka. Anakpun akan tumbuh menjadi pribadi yang berani berinisiatif dan tepat mengambil keputusan, emosinya stabil, tenggang rasa cukup tinggi, mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan masih banyak hal positif lainnya.           
                Ketiga jenis pola asuh tersebut sebenarnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing masing. Namun, yang dianggap paling ideal adalah pola asuh demokratis, karena orang tua menempatkan diriya sebagai pembimbing/supervisor. Anak dibimbing menemukan potensinya dan diberi kebebasan mengembangkan dirinya. Melalui diskusi menemukan upaya upaya yang harus ia lakukan untuk meningkatkan potensinya. Di sisi lain, orang tua tetap memberikan kontrol dan disiplin dengan balutan kasih sayang dan kehangatan. Ketika anak lalai atau agak melenceng, orang tua segera mengingatkan, sehingga anak bisa belajar mengontrol dirinya. Kunci sukses keberhasilan pola asuh ini adalah jika terdapat keseimbangan antara kebebasan memilih dan tetap melalui pengontrolan.
                Pada praktiknya di lapangan, orangtua sebenarnya akan menerapkan ketiga pola asuh di atas secara bergantian. Sesuai dengan keadaan si buah hati. Untuk itu, ada lima hal penting yang perlu merambu rambu orang tua agar buah hati tetap dapat be creative with a control :
    1.      Bersikap konsisten.
                Sejak kecil, anak harus mengenali adanya rutinitas dasar yang harus ia lakukan untuk mengarahkan tingkah lakunya. Untuk itu diperlukan konsistensi dari orangtua agar pembiasaan menjadi tingkah laku yang otomatis. Contoh, pola tidur, pola makan, pembiasaan mandi dan gosok gigi, toilet learning. Kemudian dilanjutkan dengan aturan main seperti: membeli mainan, sopan santun, mengendalikan rasa kesal, menyalurkan kemarahan. Dalam proses pelaksanaannya, orangtua harus rajin memberikan penjelasan, mengapa sebuah aturan diberlakukan.
    2.      Bebas bereksplorasi.
                Anak harus merasakan berbagai hal lewat pancaindranya. Kalau ia tak pernah jatuh, misal, ia tak pernah tau caranya menghindari jatuh, sehingga keseimbangannya kurang berkembangan, eksplorasinya terbatas, serta perkembangan analisis ruang dan geraknya menjadi terhambat. Begitupun saat anak jarang diajak bicara. Kemampuannya mengungkapkan gagasan dalam berdiskusi ataupun sekedar berbincang akan terhambat. Ia terbiasa hanya mendengar tanpa pernah mengutarakan apa yang sebenarnya ia pikirkan. Perkembangannya untuk mengenal lingkungan dan belajar beradaptasi dengan sekitarpun akan kurang optimal. Kebiasaan hanya mendengar dan diam itu akan menuntunnya menjadi pribadi yang cenderung tertutup dan sukar percaya pada orang lain. Namun, terlepas dari dua contoh tadi, ketika orangtua membebaskan sang buah hati untuk berkesplorasi, eksplorasinya harus tetap terarah dan ada batas waktu. Jangan membiasakan anak terlalu mudah berpindah dari satu mainan ke mainan lain, atau beberapa kegiatan dilakukan bersamaan. Dengan anak dibiasakan dalam satu waktu melakukan satu aktivitas, makan informasi yang tersampaikan ke otaknya juga lebih teratur dan terstruktur dalam memorinya. Daya konsentrasinyapun ikut terlatih sehingga lebih mudah untuk diajak fokus kelak.
    3.      Stimulasi sesuai kemapuan anak.
                Orangtua memiliki pengetahuan mengenal perkembangan anak agar dapat memberikan stimulasi sesuai kemampuan anak. Untuk itu, orangtua harus berani mencoba dan kreatif. Amati perkembangan anak dan responslah. Ketika si kecil menunjukkan tanda tanda akan merangkak, sediakanlah ruangan yang aman-nyaman serta cukup luas untuk melatih kemampuan barunya itu. Letakkan mainan favoritnya dalam jarak tak terlalu jauh agar ia termotivasi merangkak karena ingin mendapatkan mainan itu. Dalam setiap aktivitas orangtua-anak, lakukan komunikasi untuk mengasah kemapuan berbicaranya. Perkenalkan anak dengan teman teman baru, lingkungan baru untuk mengembangkan kemampuan bersosialisasinya dan dengan meniru ia pun akan lebih termotivasi untuk mencoba hal lain. Tentunya supervisi dari orangtua tetap harus dilakukan.
    4.      Mengembangkan minat dan bakat anak.
                Pada umumnya, di usia 3 – 5 tahun sudah terlihat minat atau bakat anak, tentunya dengan pemberian kesempatan dan fasilitas yang memadai dari orangtua. Jikapun belum, kita dapat menggalinya dengan mengenalkan anak pada berbagai aktivitas, baik di bidang olahraga (renang, sepakbola, voli, basket, catur, dll), seni (drama, musik, tari, sastra, gambar, dll), maupun kegiatan kognitif (membaca, berhitung, menulis). Bila ingin memasukkan anak ke sebuah kursus untuk memertajam keterampilannya, upayakan dilakukan secara berkelompok dan bukan privat, agar kemampuan sosial-emosional anak ikut terasah.
    5.      Pemberian nutrisi.
                Selain untuk pertumbuhan anak yang optimal, nutrisi diperlukan juga untuk memenuhi kecukupan energi anak dalam bereksplorasi. Dari sebuah test psikologi diketahui, anak anak ber-IQ tinggi memiliki kesempatan mengeksplorasi jauh lebih banyak dibanding anak anak dengan IQ rata rata atau rendah. Seperti yang kita ketahui, di usia balita perkembangan otak sungguh luar biasa, begitupun dengan eksplorasinya. Jelaslah, kecukupan nutrisi yang tak terpenuhi akan menghambat kemampuan berfikir dan bereksplorasinya, yang pada akhirnya akan menyulitkan anak untuk kreatif berinisiatif.
    Narisa Haryanti (Risa Rii Leon), Senin/12/2013 J
    4 B PG-PAUD 2013

    Refrensi:
    Buku Strategi Pengembangan Kreativitas pada Anak Usia Taman Kanak Kanak: Yuni Rachmawati, S.Pd.,M.Pd dkk:2011

    Jurnal : Hubungan Antara Pola Asuh dan Sikap Orang Tua dengan Perkembangan Masa Toddler di Desa Pakis Kecamatan Kunjang Kabupaten Kediri oleh Meli Diana ( S 540809113) : 2011

  2. 0 comments: