Orang tua atau
keluarga merupakan institusi paling penting dalam pembentukan kemampuan anak
untuk meraih prestasi. Interaksi yang terjadi antara orangtua dengan anak akan
menggambarkan pola asuh yang diterapkan. Maka itulah orangtua merupakan
pengambil peran utama dalam mengasuh anak-anaknya. Terjadinya krisis hubungan
yang melibatkan antara orangtua dan anak sebagian besar disebabkan karena
ketidakbijaksanaan orangtua dalam menerapkan pola asuh. Untuk mencegah ketidakharmonisan
hubungan antara orangtua dan anak, sebagai orang tua harus mengetahui bagaimana
cara yang baik untuk membawa sang buah hati mencapai masa depan dengan menempuh
jalan yang terbaik.
Umumnya, kita
mengenal tiga jenis pola asuh, yaitu otoriter, permisif, dan demokratis. Pola
asuh otoriter yang cenderung membatasi ruang gerak anak agar senantiasa
mengikuti jalur yang dibuat oleh orangtua akan menuntun anak menjadi pribadi
yang kurang memiliki inisiatif. Kepekaannya terhadap keadaan sosialpun akan
sangat kurang. Minimnya keberanian mengambil keputusan akan menjadi benih benih
karakter penakut dan pemalu, kadang kadang anak juga menjadi keras kepala. Dan
berlahan akan menarik diri dari lingkungan sehingga mengalami hambatan kematangan
jiwa atau kecerdasan, kedewasaan, serta kepribadiaannya. Pola asuh yang kedua
permisif. Bagi orangtua dengan cara pandang permisif, anak mereka adalah orang
dewasa yang dapat mengambil tindakan atau keputusan sendiri menurut kehendaknya
tanpa bimbingan. Dengan kebebasan yang sangat luas tersebut anak akan tumbuh
dengan pribadi yang impulsif, kurang disiplin, egois (mau menang sendiri),
kemampuan sosialisasi kurang baik hingga akhirnya dia akan menjadi pribadi
bebas tanpa rekan. Pola asuh ketiga demokratis. Orang tua memerlakukan anak
sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak dan memerlihatkan serta
mempertimbangkan keinginan – keinginan anak. Anak dengan orangtua demokratis
akan menunjukkan sikap atau perilaku tanggung jawab yang besar, dapat menerima
perintah dan dapat memberi perintah secara wajar, juga dapat menerima kritik
dan saran secara terbuka. Anakpun akan tumbuh menjadi pribadi yang berani
berinisiatif dan tepat mengambil keputusan, emosinya stabil, tenggang rasa
cukup tinggi, mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan masih banyak hal
positif lainnya.
Ketiga jenis pola
asuh tersebut sebenarnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing masing.
Namun, yang dianggap paling ideal adalah pola asuh demokratis, karena orang tua
menempatkan diriya sebagai pembimbing/supervisor. Anak dibimbing menemukan
potensinya dan diberi kebebasan mengembangkan dirinya. Melalui diskusi
menemukan upaya upaya yang harus ia lakukan untuk meningkatkan potensinya. Di
sisi lain, orang tua tetap memberikan kontrol dan disiplin dengan balutan kasih
sayang dan kehangatan. Ketika anak lalai atau agak melenceng, orang tua segera
mengingatkan, sehingga anak bisa belajar mengontrol dirinya. Kunci sukses
keberhasilan pola asuh ini adalah jika terdapat keseimbangan antara kebebasan
memilih dan tetap melalui pengontrolan.
Pada praktiknya di
lapangan, orangtua sebenarnya akan menerapkan ketiga pola asuh di atas secara
bergantian. Sesuai dengan keadaan si buah hati. Untuk itu, ada lima hal penting
yang perlu merambu rambu orang tua agar buah hati tetap dapat be creative with a control :
1.
Bersikap konsisten.
Sejak kecil, anak
harus mengenali adanya rutinitas dasar yang harus ia lakukan untuk mengarahkan
tingkah lakunya. Untuk itu diperlukan konsistensi dari orangtua agar pembiasaan
menjadi tingkah laku yang otomatis. Contoh, pola tidur, pola makan, pembiasaan
mandi dan gosok gigi, toilet learning. Kemudian dilanjutkan dengan aturan main
seperti: membeli mainan, sopan santun, mengendalikan rasa kesal, menyalurkan
kemarahan. Dalam proses pelaksanaannya, orangtua harus rajin memberikan
penjelasan, mengapa sebuah aturan diberlakukan.
2.
Bebas bereksplorasi.
Anak harus
merasakan berbagai hal lewat pancaindranya. Kalau ia tak pernah jatuh, misal,
ia tak pernah tau caranya menghindari jatuh, sehingga keseimbangannya kurang
berkembangan, eksplorasinya terbatas, serta perkembangan analisis ruang dan
geraknya menjadi terhambat. Begitupun saat anak jarang diajak bicara.
Kemampuannya mengungkapkan gagasan dalam berdiskusi ataupun sekedar berbincang
akan terhambat. Ia terbiasa hanya mendengar tanpa pernah mengutarakan apa yang
sebenarnya ia pikirkan. Perkembangannya untuk mengenal lingkungan dan belajar
beradaptasi dengan sekitarpun akan kurang optimal. Kebiasaan hanya mendengar
dan diam itu akan menuntunnya menjadi pribadi yang cenderung tertutup dan sukar
percaya pada orang lain. Namun, terlepas dari dua contoh tadi, ketika orangtua
membebaskan sang buah hati untuk berkesplorasi, eksplorasinya harus tetap
terarah dan ada batas waktu. Jangan membiasakan anak terlalu mudah berpindah
dari satu mainan ke mainan lain, atau beberapa kegiatan dilakukan bersamaan.
Dengan anak dibiasakan dalam satu waktu melakukan satu aktivitas, makan
informasi yang tersampaikan ke otaknya juga lebih teratur dan terstruktur dalam
memorinya. Daya konsentrasinyapun ikut terlatih sehingga lebih mudah untuk
diajak fokus kelak.
3.
Stimulasi sesuai kemapuan
anak.
Orangtua memiliki
pengetahuan mengenal perkembangan anak agar dapat memberikan stimulasi sesuai
kemampuan anak. Untuk itu, orangtua harus berani mencoba dan kreatif. Amati
perkembangan anak dan responslah. Ketika si kecil menunjukkan tanda tanda akan
merangkak, sediakanlah ruangan yang aman-nyaman serta cukup luas untuk melatih
kemampuan barunya itu. Letakkan mainan favoritnya dalam jarak tak terlalu jauh
agar ia termotivasi merangkak karena ingin mendapatkan mainan itu. Dalam setiap
aktivitas orangtua-anak, lakukan komunikasi untuk mengasah kemapuan
berbicaranya. Perkenalkan anak dengan teman teman baru, lingkungan baru untuk
mengembangkan kemampuan bersosialisasinya dan dengan meniru ia pun akan lebih
termotivasi untuk mencoba hal lain. Tentunya supervisi dari orangtua tetap
harus dilakukan.
4.
Mengembangkan minat dan
bakat anak.
Pada umumnya, di
usia 3 – 5 tahun sudah terlihat minat atau bakat anak, tentunya dengan
pemberian kesempatan dan fasilitas yang memadai dari orangtua. Jikapun belum,
kita dapat menggalinya dengan mengenalkan anak pada berbagai aktivitas, baik di
bidang olahraga (renang, sepakbola, voli, basket, catur, dll), seni (drama, musik,
tari, sastra, gambar, dll), maupun kegiatan kognitif (membaca, berhitung,
menulis). Bila ingin memasukkan anak ke sebuah kursus untuk memertajam
keterampilannya, upayakan dilakukan secara berkelompok dan bukan privat, agar
kemampuan sosial-emosional anak ikut terasah.
5.
Pemberian nutrisi.
Selain untuk
pertumbuhan anak yang optimal, nutrisi diperlukan juga untuk memenuhi kecukupan
energi anak dalam bereksplorasi. Dari sebuah test psikologi diketahui, anak
anak ber-IQ tinggi memiliki kesempatan mengeksplorasi jauh lebih banyak
dibanding anak anak dengan IQ rata rata atau rendah. Seperti yang kita ketahui,
di usia balita perkembangan otak sungguh luar biasa, begitupun dengan
eksplorasinya. Jelaslah, kecukupan nutrisi yang tak terpenuhi akan menghambat kemampuan
berfikir dan bereksplorasinya, yang pada akhirnya akan menyulitkan anak untuk
kreatif berinisiatif.
Narisa Haryanti (Risa Rii Leon),
Senin/12/2013 J
4 B PG-PAUD 2013
Refrensi:
Buku Strategi Pengembangan Kreativitas pada Anak Usia Taman Kanak
Kanak: Yuni Rachmawati, S.Pd.,M.Pd dkk:2011
Jurnal : Hubungan Antara Pola Asuh dan Sikap Orang Tua dengan
Perkembangan Masa Toddler di Desa Pakis Kecamatan Kunjang Kabupaten Kediri oleh
Meli Diana ( S 540809113) : 2011
0 comments:
Post a Comment