Rss Feed
  1. Perempuan Penjudi

    Wednesday, 16 December 2015

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Hahaha saya penjudi yang buruk.

    Tunggu! Ini bukan perkara taruhan materi yang dipertaruhkan atas dasar ekonomis. Bukan perkara mengeluarkan modal seminimal mungkin untuk mendapatkan harta sebanyak mungkin. Keluarga Cemara kami tak memiliki harta melimpah sedemikian luas untuk sekedar ditaruhkan di meja judi. Kesehatan, Waktu, dan Iman, adalah tiga yang kami miliki, dan bisa dengan mudah diambil oleh Tuhan sebab Ialah pemilik sejati semua itu. Perkara judi ini tentang perlegoan yang aku cicil satu per satu melalui suratan Tuhan.

    Perjudianku dengan Tuhan.
    Bapak. Meski dia juga bukan penjudi yang baik, tapi nyata dia mengenalkanku dengan perjudian di awal jejak akademis itu dia tawarkan. Pengambilan raport adalah momentnya.
    “Kalau kamu bisa ranking, Bapak akan ajak jalan jalan ke Rita.”
    Kesederhanaan Kota Beriman kami tak mengijinkan kehadiran Mall sekelas Paragon atau semacam Solo Grand Mall. Cukup dua pasar raya di sana, Rita dan Jadi Baru. Sudah dan semoga cukup. Kala itu baru ada Rita. Jalan jalan ke sana untuk ukuran gadis desa macam saya itu cukup menyenangkan. :”)
    Tiga kali setahun tiket itu saya pegang, dua tahun di kelas lima dan enam sebab system berganti dari catur wulan ke semester. Di kalikan saja berapa kali seharusnya saya berjalan jalan di pasar raya itu. :”)
    Nyatanya hanya beberapa kali.
    Bapak kalah taruhan dengan Tuhan rupanya. Tapi, tidak apa. Bapak jujur perkara itu. Dan kejujuran selalu lebih baik dari apapun. Aku mencintaimu Lelakiku :*
    Bersama Vespa Biru, kami menghirup atmosfer malam Kebumen. Menatap kerlip lampu jalanan. Menghirup dalam dalam jajaran sate khas Ambal yang berceceran sepanjang jalan Ambal dan Kutowinangun, pun kuliner kuliner berasap lainnya. Jika bapak punya cukup uang, dan aku berani mengatakan betapa kala itu saya menginginkan kuliner itu. Belum tentu syukurku hadir sebab ada sempat bepergian dengan Bapak.
    Tidak ada pasar raya pasca pengambilan raport meski tiga buku dan tiga bolpoint resmi menjadi saksi juara kelas itu tergenggam. Hanya ada kunjungan kunjungan ke tempat sahabat – sahabat bapak. ^^ Tempat tempat ramah bin menyenangkan yang kini hanya beberapa yang teringat.
    Daerah Panjer pernah menjadi saksi perjuangan bapak dan saya bermesraan dengan malam, dengan asap bensin campuran dari knalpot vespa bapak. Pun saksi atas maha karya bapak menunaikan pesanan pagar pagar rumah pelindung dari ketidakamanan koordinat pinggir jalan besar. :”) Mereka adalah desain yang ditawarkan bapak. ^^

    Sekarang saya paham, genetika siapa yang mewarisi tangan ‘utak atik’ ini.
    Perjalanan lintas ukhuwah itu nyata memberi ruang hangat tersendiri. Meski bapak bukan siapa siapa di desa, beliau adalah insan yang tak segan menyapa sesiapapun. Benih dasar memanusiakan manusia, meski bapak tak teranggap di desa, tapi beliau syukur lebih dari sekedar perkara ‘terpandang’. Hati risa kecilpun, semoga kelak memiliki sempat untuk merawat ukhuwah dengan sesiapapun pula. :”)
    Perjudian masa Sekolah Dasar kembali hadir. Kali ini bapak sebagai pelaku utama. Kelas lima sekolah dasar. Sumatra menjadi tujuan perlegoannya. Meninggalkan saya dan dua ksatria juga perempuan paruh baya. Kami menanti, bukan kiriman dana hidup, bukan kiriman harta benda. Kami menanti kabar berita keberadaannya. Lelakiku, apa kabarmu di tanah rantau? Ku lego semua percayaku. Menotalkan kepercayaan itu. Percaya bahwa Tuhan Maha Baik. Menjaga lelaki kami yang sedang berikhtiar di tanah seberang. Di tengah bisikan nyinyir tetangga bahwa bapak telah beristri dua, bahwa bapak lupa jalan pulang, bahwa bapak tak akan kembali, saya sangat percaya Lelaki kami berhak dipererat peluknya lewat doa. Biarlah Tuhan yang menyumpal lisan lisan itu. Pelajaran sosiologi pertama yang Mamak ajarkan. Begitulah Nduk ketika kita hidup bermasyarakat. Saringanmu harus jeli. Membedakan yang layak di dengar dan yang layak di tinggalkan.
    Tepat setahun.
    Masih jelas.
    Seminggu awal di bulan desember 2003. Akhir tahun yang ditutup suka oleh kabar kepulangan Bapak, malam minggu lalu. Setiap hari adalah moment menghitung waktu. Menyilangi masa yang sudah terlewati. Dan hadir lebih awal dari perkiraan tanpa membuat arti premature, dua kali klakson sepeda motor itu menyumbang di ruang dengar beranda.
    Masih ingat. Jelas. Rindu itu menyeruak saru. Membuatku lari menubruknya, dengan sapu ditangan dan serakan sampah yang ku tinggalkan. Lengan kecilku memeluk pinggul Bapak. Saya belum tumbuh tinggi, rupanya.
    “Bapak, jangan pergi lagi.” Ujarku dalam peluk tangis. Dan dia tertawa. Anak Perempuannya takut ditinggalkan.
    Tak ada kata. Hanya tawa dan sepasang tangan yang membopongku sampai pintu rumah. Elusan lembut di kepala. Dan Mamak tersenyum mahfum. Saya rindu betulan dengan Bapak.
    Tindak sepasang tangan itu telah cukup mewakili banyak kata lelaki tak banyak cakap itu.
    “Perjudian bapak belum selesai Nduk. Tunggulah dalam percayamu di rumah. Bapak akan selalu pulang, dan mengupayakan untuk kalian. Jaga Mamak dan Adik adikmu. Kamu sulung. Kamu Perempuan. Kuatlah.”
    Akhir 2004. Tahun ajaran sekolah dasar lunas sudah. Semua rekan sibuk mendaftar sekolah menengah pertama favorit. Ksatria Ketiga lahir. Rumah seperti kapal pecah setiap saat. Ksatria Pertama masuk TK, Ksatria Kedua sedang hobi jalan – jalan ke banyak ruangan dan butuh pengawasan, Ksatria Ketiga masih menjadi manusia tanpa daya. Ku legokan kesempatan melanjutkan sekolah.
    Hafalan PR semasa kelas dua itu lunas menjadi amalan.
    “Apa yang kamu kerjakan saat di rumah? Membantu Ibu memasak, mencuci piring, dan mengasuh adik.”
    Setahun dengan proses yang tak mudah. Ksatria Pertama yang harus lelarian sambil nangis sebelum mandi dan berangkat sekolah. (Belum kenal Ayah Edy kala itu, tak bisa setenang sekarang menghadapi tangis bocah). Ksatria Kedua yang sering jadi bahan carian kala waktu pulang tiba. Ksatria Ketiga yang masih hobi nangis dan gantiin popok di larut malam.
    Di tahun yang sama pula, kehilangan itu nyaris menyapa. Ksatria Kedua di dorong rekan sepermainannya hingga jatuh ke sungai. Bocah kecil itu, dengan paru paru yang pernah dipelihara hingga rumah sakit, yang mandi masih harus pakai air hangat, yang hanya seperti batok kelapa jika jatuh ke sungai. Ya Rabb, bahkan hanya nyaris saja sudah sangat menyesakkan. Ksatria Kedua terselamatkan oleh Malaikat Pengemudi Dokar, kencana  yang semoga mampu membawa beliau lebih dekat dengan surga. Aamiiin. Pelajaran sosiologi kedua: Bahwa manusia tetaplah manusia, kebaikan dan keburukan ada padanya. Focus pada orang yang berbuat baik yang lantas membekali cara membaiki orang itu lebih utama. Pelajaran parenting pertama: Bahwa menutup kesalahan anak adalah bentuk pengabaian yang sungguh menyesakkan, kepedulian yang nyata membiarkan anak memelihara kesalahan tanpa proses pemetikan pelajaran. Nyata, keluarga teman sepermainan Ksatria Kedua tak percaya anaknya mampu berbuat sedemikian keji.
    2006.
    Perlegoan itu hadir setiap hari selama tiga tahun pelajaran. SMP PGRI 1 Kutowinangun, markas perjudian terbesar kedua (setelah Universitas Sebelas Maret). Beasiswa Retrival itu mengantarkanku ke gerbang lego. Sebab berhenti sekolah setahun, intansi tersebut berbaik hati memfasilitasiku sekolah gratis berbonus seragam dan alat tulis juga fasilitator yang penuh kesabaran. Langkah efektif mencerdaskan anak bangsa untuk mereka yang nyaris putus sekolah sebab perkara dana. Bukan semata isapan jempol atas nama bangsa padahal demi menjaga nama saja.
    Meskipun bergelar Kota Beriman, faktanya tidak semua orang beriman sebagaimana mestinya. Ada banyak preman dalam aku iman. SMP PGRI Kutowinangun kala itu masih terkenal sebagai sarang preman. Sangkar siswa siswa badung buangan pendaftaran negeri. List mines sepuluh jika ingin direkomendasikan sebagai arena pendidikan. Pelajaran sosiologi ketiga: Jangan pernah percaya kata orang sebelum mengalaminya, percaya saja pada Tuhan dengan kesungguhan.
    Benar. Teman temanku ada yang badung. Yang merokok, baju dikeluarkan, rambut di cat, bertato yang gerilya dari Pak Eko (Kepala Sekolah jaman saya sekolah di sana). Tapi, kembali pada pelajaran sosiologi kedua. Perlegoanku masih perkara percaya pada Tuhan. Selalu ada kebaikan. Percaya saja. Dan dipertemukanlah saya dengan malaikat malaikat itu. Dewi, Poppi, Apri, Yuli, Ijah, rekan rekan seperjuangan yang mengajariku bagaimana cara menjaga kehormatan dan kebaikan di selokan sekalipun.
    Jika di rumah selalu di kelilingi Laki – Laki yang membantuku menjaga kehormatan, sekolah adalah tempatku menguji pertahanan penjagaanku. Tak ada jalan lain selain menjadi seperti mereka. Anggap saja ini proses adaptasi bunglon. Risa versi laki laki hadir. Amunisi trining, rok jauh di bawah lutut, kaos sebelum seragam, juga secantol peniti di ujung lengan baju yang terlipat. Jarum yang masih terjaga di ujung jilbab hingga kini. Kecil namun bermata tajam. Cukup untuk membutakan seseorang dengan itu. Cukup untuk mengejutkannya melalui tusuk dalam lantas membuka kesempatan untuk lari.
    Dua mata pisau itu selalu nyata. Sekalipun terkenal sebagai sarang preman, di sanalah  pendidikan itu ada. Pendidikan karakter yang ditegaskan oleh kesabaran para fasilitatornya, jauh sebelum bangsa menyerukannya. Fasilitator Pasukan Pak Eko :”) Terima kasih atas tiga tahun masa pendidikan yang mengesankan :”) Semoga kesabaran kalian kepada kami mampu memberatkan amal baik di yaumul hizab kelak. Aaaamiiiiin. Almarhum Pak Ngindoho, Penjaga Sekolah terbaik kedua setelah Pak Midun (Penjaga Sekolah kala SD), kesamaan kalian adalah selalu mengajakku menghabiskan snack seusai rapat guru, juga segelas air putih kala saya haus dan tidak punya cukup uang untuk membeli es. Pak Ngin, semoga kita dipertemukan di surga. :”) Terima kasiiih :”) semoga amalmu mampu membawamu lebih dekat dengan surga kini. :”)
    2008.
    Biaya pendidikan masih tinggi sekalipun katanya sudah bersubsidi. Banyak Yayasan berdiri, barangkali Pendidikan sudah menjadi bisnis yang jauh dari rugi. Ah ya, mungkin. Dan syarat ‘harus sekolah di negeri’ itu berlaku untuk anak petani macam saya. Well, sekalipun bangsa ini masuk kategori negeri agraris, belum ada apresiasi manis untuk para petani. Para insinyur pertanian masih sibuk menghitung uang dibank sebab masa perkuliahan hanya menjadi ajang pencarian gelar strata satu.
    SMA Negeri Kutowinangun. Perlegoanku tidak terlalu kentara disini. Arus itu hadir begitu saja. Tapi bukan tanpa makna. Pendidikan semakin membuatku mengerti. Ilmu adalah teori. Ada beberapa guru yang sungguh sampai sekarang saya tidak mengerti, jika pernah terdengar tugas guru adalah mencerdaskan muridnya. Beberapa malah menuntut kami untuk belajar dirumah dan kembali ke sekolah harus sudah pintar. -,- dan selama itulah Kimia, Fisika, Matematika, belum ku temukan implementasinya di kehidupan kecuali jika kau ilmuwan dan pedagang. Logaritma, persamanaan linear, rumus fisika yang bahkan ketika orang bertanya seberapa jauh rumahmu dari sekolah dan berapa waktu yang dibutuhkan untuk sampai sekolah masih dengan mengira ngira tanpa peduli pada kecepatan yang menentukan keduanya. Pun dengan table itu, table misterius yang kefiksiannya seolah nyata untuk duniaku.  -,-
    Orplas (Organisasi Pecinta Alam) dan Rohis Al Irsyad. Rectoverso yang memberi nuansa baru. Keberbedaan yang saling melengkapi. Memang Orplas dengan pembaurannya yang sangat kentara dan Al Irsyad yang sangat terjaga, tapi jauh sebelum itu semua. Iman itu harus seimbang, kata Mamak. Vertikal dan Horisontal.
    Orplas. Membekaliku cara menjaga keluarga juga semesta. Tiga prinsip (dilarang mengambil sesuatu kecuali gambar, dilarang meninggalkan sesuatu kecuali jejak, dilarang membunuh sesuatu kecuali waktu) yang mengarahkan ingat pada visi  Tuhan menciptakan Nabi Adam as.  Menjadi Khalifah Bumi. Penjaga Bumi. Tuhan melegokan percaya.Nya pada manusia dihadapan malaikat. Sebab takdir ada pada genggaman.Nya. Lantas masihkah kau tidak mempercayai.Nya? Maka nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?
    Lantas Al Irsyad membuat pengambilan gambar itu masih perlu etika, jejak itu perlu diberi polesan ilmu, waktu itu perlu dibunuh dengan bijak.
    Pelajaran Agama Pertama: Beragama itu bukan perkara apa agamamu, tapi mencintai Tuhan dalam keseimbangan vertical dan horizontal. Al Quran menyeimbangan jalan mencintai.Nya. Dan itu ada di Islam.
    Dua ruang berbeda warna yang merawat pemikiran iseng: Melakukan perjalanan pendakian bersama dia yang menawarkan kebersamaan dalam ruang halal. ( rahasia yang dimiliki para bolang untuk membaca karakter para pendaki.)
    Exzeme Gebo (X5), Gethukers (XI IS 4), Cobister (XII 3),terima kasih kalian telah memberikan warna penuh makna untuk masa SMA seorang Risa. Semoga dimanapun kalian, senantiasa terjaga. :”) Bu Limit dan Pak Eka, selama masa pendidikanku, kalianlah dua guru Matematika yang membuatku tak takut mencoba matematika yang kadang serupa neraka. Kelembutan dan kesabaran kalianlah yang membuat saya terus mencoba hingga dekat dengan bisa.
    2011
    Gerbang Perjudian itu terbuka lebar. Banyak hal yang ingin aku sampaikan. Tapi tunggu nanti. Ya semoga masih ada nanti untuk saya dan kamu bebragi cerita ini. Tunggu ya sampai saya selesai dengan yang satu ‘itu’.

  2. 0 comments: