Rss Feed
  1. Sally Sendiri

    Monday, 27 January 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)




    Biar Sally mencariku biarkan dia terbang jauh.
    Dalam hatinya hanya satu, jauh hatinya hanya aku.
    Katakan kutakan datang, pastikan kutakan kembali.
    Lalu biarkan dia menangis, lalu biarkan dia pergi.
    Sally kau selalu sendiri, sampai kapanpun sendiri.
    Hingga kau lelah menanti, hingga kau lelah menangis.
    Sally kau selalu sendiri, sampai kapanpun sendiri,
    Hingga lelah kau lelah menanti, hingga kau lelah menangis.
    ^O^
                Orang yang ampuh adalah orang yang tetap mengerjakan suatu hal meski hal tersebut  tidak disukainya. Ah sial, terkadang manusia memang perlu dipaksa bukan? Bukti bahwa butuh stimulus untuk bisa ikhlas pada akhirnya. Dan untuk menuju fase ikhlas itu butuh lebih dari sekedar ampuh, namun juga tegar.
    ^O^
                Dia hanya jatuh cinta. Cinta pada pandangan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya sampai  mati. Menatap sosok tercinta meski masih berbatas layar kaca. Mendengarkan sosok tercinta meski dalam wujud mp4. Meraba sosok tercinta meski hanya dalam karton ukuran A3 yang menempel di dinding kamar. Lalu mencoba mengobati rindu dengan berlangganan harian yang selalu mengupas sosok tercinta itu. Kadang dia patah hati pada bidadari bidadari indah yang mengitari sosok itu. Pada mata yang bebas bersenggama dengan mata indah sosoknya. Dan dia patah hati pada sadar pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya semoga tidak sampai mati. Terluka oleh dinding bernama batas penggemar dan idolanya. Penggemar yang hanya bebas menikmatinya di layar 20 inchi merek toshiba di ruang lima kali enam dengan renda merah jambu di tiap sudut ruang. Kamar pelipur segala lara dan teman setia berbagi bahagia mengenang sosoknya.
    ^O^
                            Mungkin seperti sinetron yang biasa ibunya tonton di ruang tengah. Mungkin juga seperti telenovela tahun sembilan puluhan. Mungkin juga seperti sastranya sapardi. Namun ini nyata. Sosok di balik layar kaca itu kini hanya berbatas satu dinding pemisah ruang tengah dengan teras. Terdengar jelas merdu suaranya, menanyakan alamat Kepala Desa guna melicinkan transaksi vila yang ia beli di puncak dekat rumah. Hatinya entah bagaimana berdebar hebat mencoba melangkah dan memberanikan diri menemui sosok di balik dinding.
    ^O^
                Nyata langkahnya terlau jauh. Dia mendayung penuh peluh hingga pada gemuruh petir di langit dunia hiburan. Media mengetahui kedekatan mereka. Mencari cela untuk menjadi bahan berita di pagi buta. Dia hanya jatuh cinta, pada pandangan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya sampai mati. Sayangnya, diapun patah hati pada berita pertama, kedua, ketiga dan semoga tidak sampai mati. Sebuah headline news terpampang jelas mencapnya sebagai seorang ketiga. Gadis ketiga yang selalu tercela di mata manusia, terlebih media sudah sangat menjodohkan dua sosok penghibur layar kaca. Namun, apa daya saat wanita telah jatuh cinta, ia telah mendedikasikan hidupnya untuk idolanya itu.
                Media tak melihat cinta perempuan biasa itu, tapi keluarga dan sanak terdekat tahu betapa sering sang Idola bertandang kerumah putri kecil mereka. Menjalin kasih di balik punggung media. Yakin akan cinta mereka itu berakhir bahagia tanpa luka hingga pernikahan itupun berlangsung. Dengan saksi dan tamu seadanya.
    ^O^
                Usia pertalian itu baru seumur jagung. Terbilang sebentar untuk sebuah cinta yang berawal luar biasa. Gadis itu pulang membawa hati yang tak lagi sama. Rasa yang sudah berbeda. Dan seorang malaikat kecil buah cinta indah di awal pertalian mereka. Peri kecil itulah yang menguatkan dia. Sosok idola tanpa cela yang dulu di puja ternyata hanya seorang pembuat luka. Dia patah hati oleh fakta pertama, kedua, ketiga dan seterusnya dan semoga tidak sampai nyawa tiada. Sebuah kepatahatian yang berawal dari kejatuhcintaan dipandang pertama, kedua, ketiga yang terdedikasi hingga mati. Bersama buah hatinya dia mencoba bertahan, menyusun tangga tangga kehidupan yang baru, dengan bebat luka yang coba ia lupakan. Bersama buah hatinya ia memencilkan cinta, menguapkannya bersama asa yang mengudara, hilang terhempas sebab kata khianat. Membunuh kenang dan harap untuk hidup dengan idolanya.
    ^O^
                “Ada warga baru ya Bu di kompleks kita?” buka seorang Ibu dengan rambut sasak tinggi di halaman rumpi.
                “Iya Jeng, itu rumah nomer lima yang pojok pertigaan itu.” Balas rekan rumpi yang lain.
                “Denger denger dia jandanya artis gitu ya Jeng?” pancing Ibu yang lain enggan kalah.
                “Eh iya? Artis yang mana?”
                “Itu yang vokalis band terkenal itu, saya lupa namanya sih Jeng.” Ungkap yang Ibu pertama, si pembuka wicara. “Sssttt Jeng jeng, itu ada tamu!” tunjuknya pada seorang yang berjalan dari arah gerbang bersama seorang putri cantik usia satu tahun.
                Perempuan paruh baya dengan langkah kokoh menegarkan diri. Membuka pagar pagar interaksi baru di atmosfer yang jauh dari media. Dan mata mata itu terus menatap penuh selidik atas sosoknya. Mehujani tiap langkahnya dengan tanda tanya. Diakah? Siapa namanya?
                “ Sally Bu. Bunda dari Nadya, penghuni baru di rumah nomor lima pojok pertigaan itu.” Tunjuknya pada hunian baru bercat biru. Dan perempuan itu beranjak pergi, meningkalkan kolom rumpi dengan jejak sekotak tiramisu coklat dan senyum keramahan untuk personil kaum rumpi.
    “Lalu biarkan dia menangis, lalu biarkan dia pergi.
    Sally kau selalu sendiri, sampai kapanpun sendiri.
    Hingga kau lelah menanti, hingga kau lelah menangis.
    Sally kau selalu sendiri, sampai kapanpun sendiri,
    Hingga lelah kau lelah menanti, hingga kau lelah menangis”
                Sally memang pergi sendiri, namun ia tak lagi menangis. Ia telah membangun dinding ketegarannya diatas buih buih luka dari sang Idola.
     

  2. 0 comments: