Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Biar
Sally mencariku biarkan dia terbang jauh.
Dalam
hatinya hanya satu, jauh hatinya hanya aku.
Katakan
kutakan datang, pastikan kutakan kembali.
Lalu
biarkan dia menangis, lalu biarkan dia pergi.
Sally
kau selalu sendiri, sampai kapanpun sendiri.
Hingga
kau lelah menanti, hingga kau lelah menangis.
Sally
kau selalu sendiri, sampai kapanpun sendiri,
Hingga
lelah kau lelah menanti, hingga kau lelah menangis.
^O^
Orang yang ampuh adalah orang yang
tetap mengerjakan suatu hal meski hal tersebut
tidak disukainya. Ah sial, terkadang manusia memang perlu dipaksa bukan?
Bukti bahwa butuh stimulus untuk bisa ikhlas pada akhirnya. Dan untuk menuju
fase ikhlas itu butuh lebih dari sekedar ampuh, namun juga tegar.
^O^
Dia hanya jatuh cinta. Cinta pada
pandangan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya sampai mati. Menatap sosok tercinta meski masih
berbatas layar kaca. Mendengarkan sosok tercinta meski dalam wujud mp4. Meraba
sosok tercinta meski hanya dalam karton ukuran A3 yang menempel di dinding kamar.
Lalu mencoba mengobati rindu dengan berlangganan harian yang selalu mengupas
sosok tercinta itu. Kadang dia patah hati pada bidadari bidadari indah yang
mengitari sosok itu. Pada mata yang bebas bersenggama dengan mata indah
sosoknya. Dan dia patah hati pada sadar pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya
semoga tidak sampai mati. Terluka oleh dinding bernama batas penggemar dan
idolanya. Penggemar yang hanya bebas menikmatinya di layar 20 inchi merek
toshiba di ruang lima kali enam dengan renda merah jambu di tiap sudut ruang.
Kamar pelipur segala lara dan teman setia berbagi bahagia mengenang sosoknya.
^O^
Mungkin seperti sinetron
yang biasa ibunya tonton di ruang tengah. Mungkin juga seperti telenovela tahun
sembilan puluhan. Mungkin juga seperti sastranya sapardi. Namun ini nyata.
Sosok di balik layar kaca itu kini hanya berbatas satu dinding pemisah ruang
tengah dengan teras. Terdengar jelas merdu suaranya, menanyakan alamat Kepala
Desa guna melicinkan transaksi vila yang ia beli di puncak dekat rumah. Hatinya
entah bagaimana berdebar hebat mencoba melangkah dan memberanikan diri menemui
sosok di balik dinding.
^O^
Nyata langkahnya terlau jauh. Dia
mendayung penuh peluh hingga pada gemuruh petir di langit dunia hiburan. Media
mengetahui kedekatan mereka. Mencari cela untuk menjadi bahan berita di pagi
buta. Dia hanya jatuh cinta, pada pandangan pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya sampai mati. Sayangnya, diapun patah hati pada berita pertama,
kedua, ketiga dan semoga tidak sampai mati. Sebuah headline news terpampang
jelas mencapnya sebagai seorang ketiga. Gadis ketiga yang selalu tercela di mata
manusia, terlebih media sudah sangat menjodohkan dua sosok penghibur layar
kaca. Namun, apa daya saat wanita telah jatuh cinta, ia telah mendedikasikan
hidupnya untuk idolanya itu.
Media tak melihat cinta perempuan
biasa itu, tapi keluarga dan sanak terdekat tahu betapa sering sang Idola
bertandang kerumah putri kecil mereka. Menjalin kasih di balik punggung media. Yakin
akan cinta mereka itu berakhir bahagia tanpa luka hingga pernikahan itupun
berlangsung. Dengan saksi dan tamu seadanya.
^O^
Usia pertalian itu baru seumur
jagung. Terbilang sebentar untuk sebuah cinta yang berawal luar biasa. Gadis
itu pulang membawa hati yang tak lagi sama. Rasa yang sudah berbeda. Dan
seorang malaikat kecil buah cinta indah di awal pertalian mereka. Peri kecil
itulah yang menguatkan dia. Sosok idola tanpa cela yang dulu di puja ternyata
hanya seorang pembuat luka. Dia patah hati oleh fakta pertama, kedua, ketiga
dan seterusnya dan semoga tidak sampai nyawa tiada. Sebuah kepatahatian yang
berawal dari kejatuhcintaan dipandang pertama, kedua, ketiga yang terdedikasi
hingga mati. Bersama buah hatinya dia mencoba bertahan, menyusun tangga tangga
kehidupan yang baru, dengan bebat luka yang coba ia lupakan. Bersama buah
hatinya ia memencilkan cinta, menguapkannya bersama asa yang mengudara, hilang
terhempas sebab kata khianat. Membunuh kenang dan harap untuk hidup dengan
idolanya.
^O^
“Ada warga baru ya Bu di kompleks
kita?” buka seorang Ibu dengan rambut sasak tinggi di halaman rumpi.
“Iya Jeng, itu rumah nomer lima yang
pojok pertigaan itu.” Balas rekan rumpi yang lain.
“Denger denger dia jandanya artis
gitu ya Jeng?” pancing Ibu yang lain enggan kalah.
“Eh iya? Artis yang mana?”
“Itu yang vokalis band terkenal itu,
saya lupa namanya sih Jeng.” Ungkap yang Ibu pertama, si pembuka wicara.
“Sssttt Jeng jeng, itu ada tamu!” tunjuknya pada seorang yang berjalan dari
arah gerbang bersama seorang putri cantik usia satu tahun.
Perempuan paruh baya dengan langkah
kokoh menegarkan diri. Membuka pagar pagar interaksi baru di atmosfer yang jauh
dari media. Dan mata mata itu terus menatap penuh selidik atas sosoknya. Mehujani
tiap langkahnya dengan tanda tanya. Diakah? Siapa namanya?
“ Sally Bu. Bunda dari Nadya,
penghuni baru di rumah nomor lima pojok pertigaan itu.” Tunjuknya pada hunian
baru bercat biru. Dan perempuan itu beranjak pergi, meningkalkan kolom rumpi
dengan jejak sekotak tiramisu coklat dan senyum keramahan untuk personil kaum
rumpi.
“Lalu
biarkan dia menangis, lalu biarkan dia pergi.
Sally
kau selalu sendiri, sampai kapanpun sendiri.
Hingga
kau lelah menanti, hingga kau lelah menangis.
Sally
kau selalu sendiri, sampai kapanpun sendiri,
Hingga
lelah kau lelah menanti, hingga kau lelah menangis”
Sally memang pergi sendiri, namun ia
tak lagi menangis. Ia telah membangun dinding ketegarannya diatas buih buih
luka dari sang Idola.
0 comments:
Post a Comment