Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Rabu,
01 Januari 2014
“Yang menjadi persoalan kan
diskriminasi pada kaum minoritas, nah salah satu media yang menjembatani sikap
diskriminasi itu salah satunya ‘kolom agama’ di ktp. Begitu kan alur logikanya?
Dan kalau benar demikian, saya cenderung setuju dengan penghapusan kolom agam
di ktp.” Sengitku dalam sebuah diskusi sepekan lalu.
“Hwah enggak benar kalau gitu. Dasar
negara kita kan pancasila, kalau kolom agamanya dihapus, ilang dong sila pertama!
Indonesia tidak lagi berketuhanan yang Maha Esa! Atheis kok dibela. Makin gag
jelas aja negeri ini.” sahut salah satu rekan tak kalah sengit. Aku diam, sibuk
menyaring kata, meminta mereka untuk sedikit paham.
“Kalau kolom agama yang katanya
menimbulkan diskriminasi, kolom tanggal lahir, jenis kelamin, nama, tempat
tinggal, dan yang lainnya juga dihapus dong Ris, kan ada tuh kasus diskriminasi
gender, diskriminasi suku, diskriminasi nama, diskriminasi umur. Haha katepenya
kosongan, Cuma gambar peta Indonesia gitu ya Ris?” cela rekan yang lain enggan
kalah.
“Satu pertanyaan, kalian pernah
berada diposisi mereka? Kaum minoritas? Yang keberadaannya adalah setitik karts
diantara bebalnya batu cadas? Diperlakukan berbeda sebab kamu tak sama dengan
yang lain? Kalian pernah?! Hah? Belum kan?! Bedakanlah antara keragaman dan
tindak diskriminasi!”
^O^
Diskriminasi bukan semata iri atau
dengki sebab dibedakan, namun ada satu sisi kemanusiaan yang terpangkas! Dan
seringkali yang terpangkas adalah tentang ‘cara’. Cara pandang, cara beribadah,
cara hidup, dll. Sedangkan keragamaan adalah tentang majemuknya Indonesia, nama
misalnya, yang selanjutnya mendirikan absen berdasarkan abjad dari A menuju Z,
lalu si S merasa terdiskriminasi sebab tak pernah maju pertama? Merasa
dibedakan perlakuannya dengan si A? Kasihan sekali jika mengartikan
diskriminasi demikian!
Kalian pernah? Ketika hendak belajar
malah terabaikan sebab orangtuamu tak seperti yang lainnya, yang mengenakan
peci dan merapal dzikir dalam untai tasbih? Kalian yang lahir lalu terbisiki
adzan pernahkah kalian dikucilkan sebab orangtua kalian bahkan tak menyerukan
adzan dihari kelahiranmu?” geramku terisak. Saya meninggalkan diskusi, dengan
hati penuh kecamuk. Kecewa juga nelangsa. Bahwa tak seharusnya semua kalimat
itu terlontar. Astagfirullah, :”( Maaf. Afwan jidaan saudariku, :”(
^O^
Bukan semata sebab orang orang ramai
berkata bahwa Islam agama terbaik, terlengkap dan penyempurna agama sebelumnya.
Bukan sebab rekan rekan ramai mengaji disekolah untuk mendapat nilai sepuluh
dimata pelajaran pendidikan agama islam. Bukan semata kata orang atau ajakan
siapapun, semua murni sebab kenyamanan yang menyergap, serupa kebutuhan yang
tercukupi dan kekurangan yang terlengkapi. Berawal dari ‘meminjam’ Tuhan.nya seorang
rekan kecil berpeci, Tuhan yang katanya Maha Penyanyang, Tuhan yang Maha Baik,
Tuhan yang selalu ada untuk hamba.Nya, selalu lebih dekat dari urat dileher.
Sebelum tidur, ritual ‘meminjam’ Tuhan itu terlaksana, bercengkrama selayaknya
bercerita pada teman lalu meminta banyak hal untuk insan insan tersayang.
Percakapan panjang yang mereka sebut dengan doa. Dan kebiasaan ‘meminjam’ Tuhan
itu berubah menjadi ‘bolehkah memiliki Tuhan yang sama?’ istilah meminjam
membuahkan fikir, miskin nian tak memiliki Tuhan. Dan ya, hingga kini Tuhan itu
tinggal dalam dua kalimat syahadat. :”)
^O^
Dan pernyataan pernyataan saya dalam
diskusi sepekan lalu bukan hendak berkhianat pada apa yang keyakinanya telah
mendarah daging ini, Islam selamanya adalah nafas saya. Insya Allah. Hanya
saja, kita tidak bisa menutup mata atas keberadaan mereka yang sebenarnya ada.
Mereka yang juga saudara setanah air, bahwa enam agama pilihan yang ditawarkan
pemerinta bukanlah salah satu dari agama yang mereka yakini. Masih banyak dari
saudara kita yang menganut animisme dinamisme (percaya pada benda benda dan
tempat tempat tertentu memiliki kekuasaan memberi kesejahteraan).
“Iya Ris, memang masih ada, dan kita
enggak bisa menutup mata atas keberadaan mereka. Tapi biasanya sekalipun mereka
animisme atau dinamisme, tetep aja kolom agama mereka terisi,bisa islam,
kristen, budha, hindu, katolik, atau konghucu!”
“Haha sekarang kamu yang lucu. Sejak
kapan kamu merestui islam ktp? Hmmm? Bukankah dengan suara seperti itu kamu
seperti mendukung mereka untuk mencoveri kepercayaan mereka dengan kepercayaan
orang lain? Kamu rela orang yang menyembah pohon beringin lalu mencantumkan
agamanya di ktp sebab keharusan sebagai WNI dengan agama Islam? Naif kak, Naif
sekali.”
“Tapi ingat Ris, negara kita sila pertama!”
geramnya lagi.
“Iya, sangat ingat. Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sila teragung yang mewadahi kerukunan umat beragama. Sebuah konsep
cantik tentang ketuhanan yang juga melahirkan konsep konsep elok dalam butir
butir pengamalannya! Searchinglah, keyword pengamalan pancasila sila pertama.
Adakah dalam point pengamalan sila pertama itu berupa ‘pencantuman agama’ di
katepe? Setau saya pengamalan itu berupa kerukunan umat beragama, tepa sliro,
toleransi juga konsep konsep cantik lainnya. Lagian sejak kapan sih, Tuhan itu
tinggal di KTP?”
“Kerukunan umat beragama kan Ris? Beragama
hlo ya Ris. Kalau tidak mencantumkan agamanya di KTP berarti dia kan enggak
beragama. Atheis Ris! Dan itu udah melanggar point pertama pengamalan sila
pertama!”
“Sik. Kembali ke perngertian agama.”
Selaku mencari kamus besar bahasa Indonesia. “Ajaran,
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yg berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya.”
“Nah, benar kan
kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Harus ada Tuhan yang
dipercaya untuk bisa disebut beragama. Hla ini enggak percaya sama Tuhan,
bagaimana mau disebut beragama?”
Aku diam.
Terhenyak. “Kalau demikian apakah Nabi Ibrahim juga atheis saat dia bahkan
tidak percaya pada Tuhan nenek moyangnya?” tanyaku akhirnya.
“Bedalah Ris!
Jelas beliau itu Nabi, sikapnya demikian kan memang wujud perlindungan Allah
SWT agar beliau terhindar dari kemusrikan!”
“Dan kamu tau
kenapa kaum Atheis itu ada? Mereka ingin mengalami kepercayaan akan Allah SWT,
bukan semata mendengar dari orang lain. Ingat kisah pemuda asal Ukraina si Ohtaj Humbat Ohli. Beliau yang dunia
bilang mati konyol sebab ingin membuktikan keberadaan Allah SWT. Memanjat pagar
besi, menghadapi singa betina yang kelaparan di kebun binatang. Boleh jadi
teriakannya tentang Allah SWT ada jika ia selamat, akan menguatkan kelompok
Atheis, tapi jika ternyata itulah cara Allah SWT menyelamatkannya dari penyembahan
penyembahan lain, maka benarlah selamat dia. Malah tinggal menunggu waktu untuk
bertemu dengan Allah. Kebanyakan Atheis bukan mereka tidak percaya sama sekali,
mereka hanya belum menemukan titik nol logika mereka. Belum melihat cinta
vertikal yang tak tersentuh logika manusia.”
“Kamu tidak
menjawab pertanyaanku Ris!”
“Tentang beragama
itu? Jelas sudah. Kaum Ateis memang belum menemukan cinta vertikalnya, sebab
mereka belum menemukannya itulah mereka meyakini logika mereka. Hal hal aroma
ilmiahlah yang mereka tuhankan sementara waktu.”
“Nah itu Ris yang
enggak bisa diterima!”
“Haha siapa kamu
yang berhak memutuskan seorang harus percaya Allah SWT atau tidak? Mengapa
Allah SWT membiarkan paman dari baginda Rosulallah SAW meninggal dalam keadaan
belum memeluk islam? Supaya kita manusia sesudahnya tidak boleh sombong,
memaksakan orang lain untuk percaya Allah SWT tanpa ingat bahwa hidaya itu
murni urusan Allah SWT. Manusia hanya mampu menjadi perantaranya, jika
beruntung. Dan memaksa mereka untuk percaya Allah swt dengan mencantumkan agama
apapun yang penting satu dari enam itu, bukan perbuatan bijak menurutku!
Seharusnya kita bantu proses mereka mencari Allah itu, kita stimulus dengan
kehalusan Islam.”
“Tau ah Ris. Kamu
batu!”
“Hla kok gitu
kak? Lagian kan katanya berlomba lombalah dalam kebaikan, ya ayok kita rame
rame berlomba jadi jembatan hidayah buat mereka yang katamu belum beragama itu biar beragama. Tingkatin
dakwahnya, bukan dengan paksaan. Tapi dengan pamerin betapa indahnya Islam,
betapa damainya Islam, dan betapa beruntungnya menjadi bagian dari Islam.
Rosulallah juga dulu enggak main paksa hlo Kak. Nah nanti to Kak, kita gunain
aja ktp tanpa kolom agama itu buat jadi salah satu indikator keberhasilan
dakwah kita.”
“Indikator
gimana? Bumerang yang ada!”
“Eh? Yah ngambek
sih? Kan kalau dakwahnya berhasil berarti yang tidak mengisi kolom agamnya
semakin sedikit Kak, sebaliknya juga, kalau makin banyak berarti ada yang salah
dengan dakwah kita Kak.”
^O^
Dan ya perdebatan itu tidak ditutup
dengan penyusunan agenda agenda atau metode dakwah yang saya harakan, namun
label baru yang mereka tempel di jidat saya. “si Batu”, si Liberal dan si si
lainnya. Duh! Sungguh tak ada niatan saya untuk berkhianat atau tak setia. :”(
Saya saya hanya mencoba menyampaikan betapa menyakitkannya diabaikan. Ada namun
tak teranggap ada. Ada namun tak kasat mata. Ada namun ditiadakan. :”( sesuatu
yang seharusnya ditumbuhkan dan diladangpahalakan malah di bunuh berlahan.
Mereka hanya butuh bantuan lebih untuk melihat apa yang kita lihat, bantuan
ekstra untuk merasakan apa yang sudah kita rasakan. Bukan pengucilan atau
pengabaian, tapi uluran tangan :”(. Berawal dengan mengakui keberadaan mereka,
mengapa kita tidak mencoba mengulurkan tangan? Bergandengan tangan untuk
mengakui keEsaan.Nya?
0 comments:
Post a Comment