Bermula dari pembahasan mengenai unsur
intrinsik puisi dalam kelas bahasa indonesia saat smp, Rii mengenal salah satu
karya Sapardi Djoko Damono. Aku ingin. Enam baris, dua bait dengan kata
sederhana yang memiliki makna luas (menurutku hehe). Rii tersentuh oleh
kesederhanaan Beliau mengungkapkan cinta. Rii lantas mencari tau info Beliau.
Bermodal nama dan sedikit karyanya, Rii mulai searching. Ke teman, guru hingga
internet. Alhasil inilah yang Rii peroleh. Thanks for all. Maaf juga kalau ada
penulisan atau info yang kurang tepat. J mohon saran dan kritiknya J
Prof. Dr. Sapardi
Djoko Damono, begitu nama lengkapnya (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; selisih empat
hari dengan tanggal lahir Rii ;umur 71 tahun) merupakan pujangga Indonesia terkemuka. Pujangga
dengan untaian kata sederhana namun sarat makna. Beliau menghabiskan masa
mudanya di Surakarta (Lulus sebagai siswa SMP N 02 Surakarta tahun 1955 dan SMA
N 02 tahun 1958).
Pada masa remaja beliau sudah menulis
sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Hobby menulis ini berkembang
saat beliau menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun
1974 beliau mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Beliau pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa
tersebut beliau juga menjadi redaktur di majalah "Horison",
"Basis", dan "Kalam".
Sapardi Djoko Damono banyak menerima
penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Beliau juga
penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun
2003 serta menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Beliau
menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
Sajak-sajak
SDD( begitu beliau sering di sebut), telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, termasuk bahasa daerah. Beliau tidak saja menulis puisi, namun juga cerita pendek. Selain itu
juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esei, serta menulis
sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa
puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku
Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan
Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan
Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini
sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya.
Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua
Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas
beberapa karya SDD.
Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan
puisi), serta beberapa esei.
Kumpulan Puisi/Prosa
- "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969)
- "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
- "Mata Pisau" (1974)
- "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis)
- "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan)
- "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan)
- "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya)
- "Perahu Kertas" (1983)
- "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
- "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn)
- "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn)
- "Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
- "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
- "Hujan Bulan Juni" (1994)
- "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling)
- "Arloji" (1998)
- "Ayat-ayat Api" (2000)
- "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen)
- "Mata Jendela" (2002)
- "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002)
- "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)
- "Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
- "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
- "Before Dawn: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (2005; translated by J.H. McGlynn)
- "Kolam" (2009; kumpulan puisi)
Selain menerjemahkan beberapa karya Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi ke dalam
bahasa Indonesia, Sapardi juga menulis ulang beberapa teks klasik, seperti
Babad Tanah Jawa dan manuskrip I La Galigo. kobe
Musikalisasi
puisi karya SDD dimulai pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya membantu
program Pusat Bahasa, membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair
Indonesia, dalam upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA. Saat itulah
tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags. Arya Dipayana dan Hujan
Bulan Juni oleh H. Umar Muslim. Kelak, Aku Ingin
diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi
bagian dari Soundtrack “Cinta dalam Sepotong Roti" (1991), dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Beberapa
tahun kemudian lahirlah album "Hujan Bulan Juni" (1990) yang
seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu merupakan salah satu
dari sejumlah penyanyi lain, yang adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas
Indonesia. Album "Hujan Dalam Komposisi" menyusul dirilis pada
tahun 1996 dari komunitas yang sama. Sebagai tindak lanjut atas banyaknya
permintaan, album "Gadis Kecil" (2006) diprakarsai oleh duet
Dua Ibu, yang terdiri dari Reda Gaudiamo dan Tatyana dirilis, dilanjutkan oleh album "Becoming
Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu. Ananda Sukarlan pada Tahun
Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang
berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD serta karya beberapa penyair lain.
Buku
- "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
- "Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan"
- "Dimensi Mistik dalam Islam" (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel "Mystical Dimension of Islam", salah seorang penulis.
Pustaka Firdaus
- "Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia" (2004), salah seorang penulis.
- "Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas" (1978).
- "Politik ideologi dan sastra hibrida" (1999).
- "Pegangan Penelitian Sastra Bandingan" (2005).
- "Babad Tanah Jawi" (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).
Berikut adalah beberapa Karya Puisi Sapardi Djoko Damono
:
AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
DALAM
BIS
langit di kaca jendela bergoyang
terarah ke mana wajah di kaca jendela
yang dahulu juga
mengecil dalam pesona
sebermula adalah kata
baru perjalanan dari kota ke kota
demikian cepat
kita pun terperanjat
waktu henti ia tiada…
langit di kaca jendela bergoyang
terarah ke mana wajah di kaca jendela
yang dahulu juga
mengecil dalam pesona
sebermula adalah kata
baru perjalanan dari kota ke kota
demikian cepat
kita pun terperanjat
waktu henti ia tiada…
DALAM DIRIKU
dalam diriku mengalir
sungai panjang
darah namanya…
dalam diriku menggenang
telaga darah
sukma namanya…
dalam diriku meriak
gelombang suara
hidup namanya…
dan karena hidup itu indah
aku menangis sepuas-puasnya…
dalam diriku mengalir
sungai panjang
darah namanya…
dalam diriku menggenang
telaga darah
sukma namanya…
dalam diriku meriak
gelombang suara
hidup namanya…
dan karena hidup itu indah
aku menangis sepuas-puasnya…
GADIS KECIL
Ada gadis kecil diseberangkan gerimis
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis
di pinggir padang,ada pohon
dan seekor burung…
Ada gadis kecil diseberangkan gerimis
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis
di pinggir padang,ada pohon
dan seekor burung…
HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
HUTAN KELABU
kau pun kekasihku
langit di mana berakhir setiap pandangan
bermula kepedihan rindu itu
temaram kepadaku semata
memutih dari seribu warna
hujan senandung dalam hutan
lalu kelabu menabuh nyanyian
tak ada yang lebih bijak
kau pun kekasihku
langit di mana berakhir setiap pandangan
bermula kepedihan rindu itu
temaram kepadaku semata
memutih dari seribu warna
hujan senandung dalam hutan
lalu kelabu menabuh nyanyian
tak ada yang lebih bijak
SAJAK KECIL
TENTANG CINTA
mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjelma aku
HATIKU SELEMBAR DAUN
hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjelma aku
HATIKU SELEMBAR DAUN
hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
PADA SUATU HARI
NANTI
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
AIR SELOKAN
"Air yang
di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu
pagi. Waktu itu kau berjalan jalan bersama istrimu yang sedang mengandung
-- ia hampir
muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan
itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur
darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di
kamar mati.
Senja ini
ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba
berdiri dan menuding sesuatu:
"Hore, ada
nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!"
Tapi kau tak
mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang
anyir baunya itu, sayang sekali.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
AKULAH SI
TELAGA
akulah si
telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah
menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah
sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di
seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu
biar aku yang menjaganya
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
ANGIN, 1
angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari
sudut ke sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara
nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, "hei siapa ini yang
mendadak di depanku?"
angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar
jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh
lagi
-- sampai pagi tadi:
ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa
seorang diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
ANGIN, 2
Angin pagi
menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman.
Seekor ular
lewat, menghindar.
Lelaki itu
masih tidur.
Ia bermimpi
bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan
belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
ANGIN, 3
"Seandainya aku bukan ......
Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya
beringsut dari sudut ke sudut kamar,
menyusup celah-celah jendela,
berkelebat di pundak bukit itu.
"Seandainya aku . . . .,
."
Tapi kau angin!
Nafasmu tersengal setelah sia-sia
menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna
bunga.
"Seandainya ......
Tapi kau angin!
Jangan menjerit:
semerbakmu memekakkanku.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
ATAS KEMERDEKAAN
kita berkata :
jadilah
dan kemerdekaan
pun jadilah bagai laut
di atasnya :
langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga
akhirnya
kita, kemudian
adalah sibuk
mengusut
rahasia angka-angka
sebelum Hari
yang ketujuh tiba
sebelum kita
ciptakan pula Firdaus
dari segenap
mimpi kita
sementara
seekor ular melilit pohon itu :
inilah
kemerdekaan itu, nikmatkanlah
Horison Thn III, No. 8, Agustus 1968
Sajak-sajak
Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
DI TANGAN ANAK-ANAK
Di tangan
anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang,
menjelma burung . yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di
mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
"Tuan,
jangan kauganggu permainanku ini."
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI
waktu berjalan
ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti
bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan
matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan
bayang-bayang
aku dan
bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan
di depan
BUNGA, 2
mawar itu tersirap dan hampir
berkata jangan ketika pemilik
taman memetiknya hari ini; tak ada
alasan kenapa ia ingin berkata
jangan sebab toh wanita itu tak
mengenal isaratnya -- tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita
yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya
dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin,
menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan
membiarkannya berjatuhan menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
BUNGA, 3
seuntai kuntum melati yang di
ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar
ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah
kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di
udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema
"hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?"
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
CARA MEMBUNUH BURUNG
bagaimanakah
cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang
tergantung sejak kita belum dilahirkan itu?
soalnya ia
bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari cahaya
ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai
jendela!)
soalnya ia suka
mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian
soalnya ia baka
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982
CERMIN, 1
cermin tak
pernah berteriak;
ia pun tak
pernah meraung, tersedan, atau terhisak,
meski apa pun
jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya
bisa bertanya:
mengapa kau
seperti kehabisan suara?
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
CERMIN, 2
mendadak kau
mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin;
tapi cermin
buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau
kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana;
dan cermin
menangkapmu sia-sia
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
DI ATAS BATU
ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga
memercik ke sana ke mari
ia pandang sekeliling : matahari yang hilang - timbul
di sela goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa
ekor capung
-- ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
PERTAPA
Jangan mengganggu:
aku, satria
itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata --
ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah
merupakan benih, sudah mencapai makna -- masih beranikah kau menyapaku, Saudara?
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
DUA PERISTIWA DALAM SATU SAJAK DUA BAGIAN
1
sehabis langkah-langkah kaki: hening
siapa?
barangkali si pesuruh yang tersesat dan gagal
menemukan tempat- tinggalmu padahal sejak semula sudah diikutinya jejakmu
padahal harus lekas-lekas disampaikannya pesan itu
padamu
2
seolah-olah kau harus segera mengucapkan sederet kata
yang pernah kaukenal artinya,
yang membuatmu terkenang akan batang randu alas tua
yang suka menjeritjerit kalau sarat berbunga
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
GONGGONG ANJING
untuk Rizki
gonggong anjing
itu mula-mula lengket di lumpur
lalu merayapi
pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah
menyusup lewat
celah-celah genting
bergema dalam
kamar demi kamar
tersuling lewat
mimpi seorang anak lelaki
siapa itu yang
bernyanyi bagai bidadari?" tanya sunyi
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
KEPOMPONG ITU
kepompong yang
tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab
ketika kau menutup jendela waktu hari hujan
kepompong itu
juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri
lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara
bening dan bermuatan bau bunga
dan kepompong
itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia
menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
KETIKA MENUNGGU BIS KOTA, MALAM-MALAM
"Hus, itu bukan anjing; itu
capung!" katanya. Tapi capung tak pernah terbang malam, bukan? Capung tak
suka ke tempat sampah
-- biasanya ia hinggap di ujung daun
rumput waktu pagi hari,
dan kalau ada gadis kecil akan
menangkapnya ia pun terbang ke balik pagar sambil mendengarkan suara
"aahh!" Tubuhnya mungil, bukan?
Sedangkan yang kulihat tadi jelas
anjing kampung yang ekornya buntung, menjilatjilat tempat sampah yang di
seberang halte itu, mengelilinginya,
lalu kencing di sudutnya.
Hanya saja, aku memang tak melihat
ke mana gaibnya.
"Itu capung!" katanya.
Sayang sekali bahwa kau merasa tak melihat apa pun di seberang sana tadi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
KISAH
Kau pergi,
sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak
di plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka
tak pernah melihatmu lagi.
Sehabis
penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari ini
seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu,
seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya
namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia
berkisah padaku tentang pengembaraanmu.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
KUKIRIMKAN PADAMU
kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan
bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit
yang entah batasnya.
Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.
Namun ada.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
KUTERKA GERIMIS
Kuterka gerimis mulai gugur
Kaukah yang melintas di antara korek
api dan ujung rokokku
sambil melepaskan isarat yang sudah
sejak lama kulupakan kuncinya itu
Seperti nanah yang meleleh dari
ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu
Seperti badai rintik-rintik yang di
luar itu
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982
LIRIK UNTUK LAGU POP
jangan pejamkan
matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis
-- pandangmu
adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu
adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!)
aku pun akan
memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut
-- nafasmu
adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!)
aku akan
berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam
goyang anggrek
-- ketika hutan
mendadak gaib
jangan pejamkan
matamu:
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
MATA PISAU
mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
DI SEBUAH HALTE BIS
Hujan tengah malam membimbingmu ke
sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. Kau memang tak pernah berumah, dan
hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk dan tampak putih.
Pagi harinya anak-anak sekolah yang
menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk. Bis
tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu. Mereka menjadi
kesal dan, bagai para pemabok, berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan
buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982
PERAHU KERTAS
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan
kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju
lautan.
"Ia akan singgah di bandar-bandar besar,"
kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar
warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari
perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh,
katanya,
"Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah
banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit."
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
PERISTIWA PAGI TADI
kepada GM
Pagi tadi
seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang
terlanggar motor waktu menyeberang.
Siang tadi
pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar
motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai diangkat ke tepi
jalan.
Sore tadi
tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu
menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan
menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah
sakit.
Malam ini kau
ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
TELINGA
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
"Masuklah ke telingaku,"
bujuknya.
Gila
ia digoda masuk ke telinganya
sendiri
agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci -- setiap kata,
setiap huruf, bahkan letupan dan desis
yang menciptakan suara.
"Masuklah," bujuknya.
Gila ! Hanya agar bisa menafsirkan
sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
YANG FANA ADALAH WAKTU
Yang fana
adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik
demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada
suatu hari
kita lupa untuk
apa.
"Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982
PESAN
Tolong sampaikan kepada abangku,
Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya.
Kami saling mencinta, dan antara
disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.
Kalau kau bertemu dengannya, tolong
sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu
tiba, aku hanya akan .....
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
PESTA
pesta berlangsung sederhana. Sedikit tangis, basa-basi
itu; tinggal bau bunga gemetar pada tik-tok jam, ingin mengantarmu sampai ke
tanah-tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi-mimpinya
. . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan,
dan kakinya
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI
angin berbisik
kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, "aku rindu, aku ingin
mempermainkanmu! "
kabel telpon
memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas,
"jangan berisik, mengganggu .
hujan!"
hujan meludah
di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,
hardiknya,
'lepaskan daun itu!"
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982
SAJAK NOPEMBER
Siapa yang akan
berbicara untuk kami
siapa yang
sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
bukanlah
rahasia yang mesti diungkai dari kubur
yang berjejal
bukanlah
tuntutan yang terlampau lama mengental
tapi siapa yang
bisa memahami bahasa kami
dan mengerti
dengan baik apa yang kami katakan
siapa yang akan
berbicara atas nama kami
yang berjejal
dalam kubur
bukanlah
pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
bukanlah
upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi siapa yang
sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa yang bisa
paham makna kehendak kami
kami yang telah
lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
ibu-ibu yang
rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa dicatat
namanya
kepada Ibu yang
lebih besar dan agung :
ialah Tanah Air
kami telah
menyusu dari pada bunda yang tabah
yang rela
melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk pergi
lebih dahulu
apakah kau
dengan para bunda itu mencari kubur kami
apakah kau
dengar para bunda itu memanggil nama kami
mereka hanya
berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik
tanpa mengeluh
serta putus asa
di Solo dua
orang dalam satu kuburan
di Makasar
sepuluh orang dalam satu kuburan
di Surabaya
seribu orang dalam satu kuburan
dan kami tidak
menuntut nisan yang lebih baik
tapi katakanlah
kepada anak cucu kami;
di sini telah
dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu
bertimbun dalam
satu lobang
dan tiada yang
tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
tambur yang
paling besar telah ditabuh
dan orang-orang
pun keluar untuk mengenangkan kami
terompet yang
paling lantang ditiup
dan mereka
berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu
kami pun
bangkit dari kubur
memeluki
orang-orang itu dan berkata : pulanglah
kami yang mati
muda sudah tentram, dan jangan
diusik oleh
sesal yang tak keruan sebabnya
kami hanya
berkelahi dan sudah itu : mati
kami hanya
berkelahi untukmu, untuk mereka
dan hari depan,
sudah itu : mati
orang-orang pun
menyiramkan air bunga yang wangi saat itu
tanpa tahu
siapa kami ini
tiada mereka
dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus
tiada mereka
dengarkan salam kami bagi yang tinggal
tiada mereka
lihatkah senyum kami yang cerah
dan sudah itu :
mati
siapa berkata
bahwa kami telah musnah
siapa berkata
kami kenal
nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar
kami kenal
nama-namamu di gunung di lembah di sawah
di ladang dan
di laut, meskipun kalian
tiada menyadari
kehadiran kami
siapa berkata
bahwa kami telah musnah
siapa berkata
tanah air
adalah sebuah landasan
dan kami tak
lain baja yang membara hancur
oleh pukulan
ialah kemerdekaan
kemarin giliran
kami
tapi besok
mesti tiba giliranmu
kalau saja kau
masih mau tahu ucapan terimakasih
terhadap tanah
tempatmu selama ini berpijak
hidup dan
mengerti makna kemerdekaan
dan kami adalah
baja yang membara di atas landasan
dibentuk oleh
pukulan : ialah kemerdekaan
(mungkin besok
tiba giliranmu)
siapa yang tahu
cinta saudara, paman dan bapa
siapa yang bisa
merasa kehilangan saudara, paman dan bapak
ingat untuk apa
kamu pergi
siapa yang
pernah mendengar bedil, bom dan meriam
siapa yang sempat
melihat luka, darah dan bangkai manusia
ingat kenapa
kami tak kembali
begitu hebatkah
kemerdekaan itu hingga kami korbankan
apa saja
untuknya
jawablah : ya
begitu agungkah
ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa
jawab lagi : ya
sudah kau
dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari
datang untuk
memberkati anak-anak yang tidur
sebab merekalah
yang kelak harus bisa mempergunakan
bahasa dan
kehendak kami
sudah kau
dengarkah suara napas kami
menyusup ke
dalam setiap rahim bunda yang subur
sebab kami selalu
dan selalu lahir kembali
selalu dan
selalu berkelahi lagi
mungkin pernah
kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak
mungkin pernah
kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak
tapi toh tak
ada bedanya:
kami telah
memulainya
dan kalian
sekarang yang harus melanjutkannya
dan memang tak
ada bedanya :
kalau hari itu
bagi kami adalah saat penghabisan
bagimu adalah
awal pertaruhan
awal dari apa
yang terlaksana kemarin, kini besok pagi
meski kami
pernah kau kenal atau tidak
meski kami
pernah kau jumpa atau tidak
kami adalah
buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani
yang tak sempat
mengenal nama masing-masing dengan baik
kami turun dari
kampung, benteng, ladang dan gunung
lantaran satu
harapan yang pasti
walau tak
pernah kembali
kami hanyalah
kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda
kami hanyalah
kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama
tapi hari ini
doakan sesuatu yang pantas bagi kami
agar Tuhan yang
selalu mendengar bisa mengerti dan
mengeluarkan
ampun
kami adalah
mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi
tapi adukan
segala yang pantas tentang diri kami ini
agar tak lagi
mengembara arwah kami
kami telah
lahir, hidup dan berkelahi : dan mati
kami telah mati
lahir dari para
ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini
hidup di bumi
yang mengerti semangat yang menjalankan kami
kami telah
berkelahi; dan mati
tapi siapakah
yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami
dan
mengatakannya kepada siapa pun
tapi siapakah
yang bisa menangkap bahasa jiwa kami
yang telah mati
pagi sekali
dan berjalan
tanpa nama dan tanda
dalam satu
lobang kubur
kami telah
lahir dan selalu lahir
selalu dan
selalu lahir dari para bunda yang tabah
selalu dan
selalu berkelahi
di mana dan
kapan saja
biarkan kami
bicara lewat suara anak-anak
yang
menyanyikan lagu puja hari ini
biarkanlah kami
bicara lewat kesunyian suasana
dari
orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
Sementara
bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar
atas rasa
bangga kami yang sederhana
biarkanlah kami
bicara hari ini
lewat suara
anak-anak yang menyanyikan lagu puja
lewat kesunyian
suasana orang-orang yang mengheningkan cipta
Gelora
Th III, No 19
( Nopember
1962)
Sajak-sajak
Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
TUAN
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
SAJAK SUBUH
Waktu mereka membakar gubuknya awal
subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak,
"Jangan bermimpi!" dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah
sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air,
tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar
tempat tinggalnya.
"Jangan bermimpi!" gertak
mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan
dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap
ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya,
"Jangan bermimpi! "
Ia rubuh dan kembali bermimpi
tentang mata air dan .....
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
SAJAK TELUR
dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap
burung
semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang
senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin
memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai
merindukan telur
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
SELAMAT PAGI INDONESIA
selamat pagi,
Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi
kecil buatmu.
aku pun sudah
selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian
pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang
sederhana;
bibirku tak
biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku
terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai
kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para
perempuan yang sabar,
di telapak
tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah
bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam
mencintaimu.
pada suatu hari
tentu kukerjakan sesuatu
agar tak
sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam
jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu,
kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi
bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan
kesangsian,
dan menyusun
batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu
pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku
memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah
yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perepuan
menyalakan api,
dan di telapak
tangan para lelaki yang tabah
telah hancur
kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat pagi,
Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam
kepada si anak kecil;
terasa benar :
aku tak lain milikmu
Basis
Thn. XV - 4
Januari 1965
Sajak-sajak
Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
SERULING
Seruling bambu itu membayangkan ada
yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan
putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdunya ....
Ia meraba-raba lubang-lubangnya
sendiri yang senantiasa menganga.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
SETANGAN KENANGAN
Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di
lorong yang berlumpur itu. Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir
menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar- gelepar ingin terbang
menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana ....
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
SIHIR HUJAN
Hujan mengenal baik pohon, jalan,
dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah
kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar
membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak
sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
SUDAH KUTEBAK
Sudah kutebak kedatanganmu. Seperti biasanya,
kau berkias tentang sepasang ikan yang
menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit,
menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang,
menyambar, berputar-putar membuat lingkaran,
menyambar, mabok membentur batu-batuan.
Kutebak si pengail masih terkantuk-kantukdi tepi
sungai itu.
Sendirian.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
TAJAM HUJANMU
tajam hujanmu
ini sudah
terlanjur mencintaimu:
payung terbuka
yang bergoyang-goyang di tangan kananku,
air yang
menetes dari pinggir-pinggir payung itu,
aspal yang
gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang
buram berair kacanya,
dua-tiga patah
kata yang mengganjal di tenggorokan
deras dinginmu
sembilu hujanmu
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
TEKUKUR
Kautembak tekukur itu. Ia tak sempat terkejut,
beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula terpencar di sela-sela jari angin,
satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun
rumput. "Kena!" serumu.
Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar
bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin hanya meletakkannya di tebing
sungai. "Tapi ke mana terbang burung luka itu?" gerutumu.
Tetes-tetes darahnya melayang : ada yang sempat
melewati berkas- berkas sinar matahari, membiaskan wama merah cemerlang, lalu
jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput.
"Merdu benar suara tekukur itu," kata
seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa tiba-tiba berada
dalam sebuah taman bunga.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
0 comments:
Post a Comment