Rss Feed
  1. Sapardi Djoko Damono

    Wednesday 14 March 2012


            Bermula dari pembahasan mengenai unsur intrinsik puisi dalam kelas bahasa indonesia saat smp, Rii mengenal salah satu karya Sapardi Djoko Damono. Aku ingin. Enam baris, dua bait dengan kata sederhana yang memiliki makna luas (menurutku hehe). Rii tersentuh oleh kesederhanaan Beliau mengungkapkan cinta. Rii lantas mencari tau info Beliau. Bermodal nama dan sedikit karyanya, Rii mulai searching. Ke teman, guru hingga internet. Alhasil inilah yang Rii peroleh. Thanks for all. Maaf juga kalau ada penulisan atau info yang kurang tepat. J mohon saran dan kritiknya J
                Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, begitu nama lengkapnya (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; selisih empat hari dengan tanggal lahir Rii ;umur 71 tahun) merupakan pujangga Indonesia terkemuka. Pujangga dengan untaian kata sederhana namun sarat makna. Beliau menghabiskan masa mudanya di Surakarta (Lulus sebagai siswa SMP N 02 Surakarta tahun 1955 dan SMA N 02 tahun 1958).
                Pada masa remaja beliau sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Hobby menulis ini berkembang saat beliau menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 beliau mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Beliau pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut beliau juga menjadi redaktur di majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".
                Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Beliau juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003 serta menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Beliau menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
              Sajak-sajak SDD( begitu beliau sering di sebut), telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Beliau tidak saja menulis puisi, namun juga cerita pendek. Selain itu juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.
    Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.
    Kumpulan Puisi/Prosa
    • "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969)
    • "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
    • "Mata Pisau" (1974)
    • "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis)
    • "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan)
    • "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan)
    • "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya)
    • "Perahu Kertas" (1983)
    • "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
    • "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn)
    • "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn)
    • "Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
    • "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
    • "Hujan Bulan Juni" (1994)
    • "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling)
    • "Arloji" (1998)
    • "Ayat-ayat Api" (2000)
    • "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen)
    • "Mata Jendela" (2002)
    • "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002)
    • "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)
    • "Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
    • "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
    • "Before Dawn: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (2005; translated by J.H. McGlynn)
    • "Kolam" (2009; kumpulan puisi)
                Selain menerjemahkan beberapa karya Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi ke dalam bahasa Indonesia, Sapardi juga menulis ulang beberapa teks klasik, seperti Babad Tanah Jawa dan manuskrip I La Galigo. kobe
              Musikalisasi puisi karya SDD dimulai pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa, membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia, dalam upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA. Saat itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags. Arya Dipayana dan Hujan Bulan Juni oleh H. Umar Muslim. Kelak, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari Soundtrack “Cinta dalam Sepotong Roti" (1991), dibawakan oleh Ratna Octaviani.
                Beberapa tahun kemudian lahirlah album "Hujan Bulan Juni" (1990) yang seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu merupakan salah satu dari sejumlah penyanyi lain, yang adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Album "Hujan Dalam Komposisi" menyusul dirilis pada tahun 1996 dari komunitas yang sama. Sebagai tindak lanjut atas banyaknya permintaan, album "Gadis Kecil" (2006) diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri dari Reda Gaudiamo dan Tatyana dirilis, dilanjutkan oleh album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu. Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD serta karya beberapa penyair lain.
    Buku
    • "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
    • "Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan"
    • "Dimensi Mistik dalam Islam" (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel "Mystical Dimension of Islam", salah seorang penulis.
    Pustaka Firdaus
    • "Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia" (2004), salah seorang penulis.
    • "Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas" (1978).
    • "Politik ideologi dan sastra hibrida" (1999).
    • "Pegangan Penelitian Sastra Bandingan" (2005).
    • "Babad Tanah Jawi" (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).
    Berikut adalah beberapa Karya Puisi Sapardi Djoko Damono :
    AKU INGIN

    Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
    dengan kata yang tak sempat diucapkan
    kayu kepada api yang menjadikannya abu

    Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
    dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
    awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
    DALAM BIS

    langit di kaca jendela bergoyang
    terarah ke mana wajah di kaca jendela
    yang dahulu juga
    mengecil dalam pesona

    sebermula adalah kata
    baru perjalanan dari kota ke kota
    demikian cepat
    kita pun terperanjat
    waktu henti ia tiada…

    DALAM DIRIKU

    dalam diriku mengalir
    sungai panjang
    darah namanya…

    dalam diriku menggenang
    telaga darah
    sukma namanya…

    dalam diriku meriak
    gelombang suara
    hidup namanya…

    dan karena hidup itu indah
    aku menangis sepuas-puasnya…

    GADIS KECIL
    Ada gadis kecil diseberangkan gerimis
    di tangan kanannya bergoyang payung
    tangan kirinya mengibaskan tangis
    di pinggir padang,ada pohon
    dan seekor burung
    HUJAN BULAN JUNI

    tak ada yang lebih tabah
    dari hujan bulan juni
    dirahasiakannya rintik rindunya
    kepada pohon berbunga itu

    dari hujan bulan juni
    dihapusnya jejak-jejak kakinya
    yang ragu-ragu di jalan itu

    tak ada yang lebih arif
    dari hujan bulan juni
    dibiarkannya yang tak terucapkan
    diserap akar pohon bunga itu

    HUTAN KELABU
    kau pun kekasihku
    langit di mana berakhir setiap pandangan
    bermula kepedihan rindu itu
    temaram kepadaku semata
    memutih dari seribu warna
    hujan senandung dalam hutan
    lalu kelabu menabuh nyanyian
    tak ada yang lebih bijak
    SAJAK KECIL TENTANG CINTA

    mencintai angin harus menjadi siut
    mencintai air harus menjadi ricik
    mencintai gunung harus menjadi terjal
    mencintai api harus menjadi jilat
    mencintai cakrawala harus menebas jarak
    mencintaiMu harus menjelma aku


    HATIKU SELEMBAR DAUN
    hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
    nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
    ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
    sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.


    PADA SUATU HARI NANTI

    pada suatu hari nanti
    jasadku tak akan ada lagi
    tapi dalam bait-bait sajak ini
    kau takkan kurelakan sendiri

    pada suatu hari nanti
    suaraku tak terdengar lagi
    tapi di antara larik-larik sajak ini
    kau akan tetap kusiasati

    pada suatu hari nanti
    impianku pun tak dikenal lagi
    namun di sela-sela huruf sajak ini
    kau takkan letih-letihnya kucari

    AIR SELOKAN
    "Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan jalan bersama istrimu yang sedang mengandung
    -- ia hampir muntah karena bau sengit itu.
    Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
    Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu:
    "Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!"
    Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.
    AKULAH SI TELAGA
    akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
    berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
    berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
    sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
    -- perahumu biar aku yang menjaganya
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    ANGIN, 1
    angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut ke sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, "hei siapa ini yang mendadak di depanku?"
    angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi
    -- sampai pagi tadi:
    ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa seorang diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    ANGIN, 2
    Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman.
    Seekor ular lewat, menghindar.
    Lelaki itu masih tidur.
    Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
    di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    ANGIN, 3
    "Seandainya aku bukan ......
    Tapi kau angin!
    Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,
    menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.
    "Seandainya aku . . . ., ."
    Tapi kau angin!
    Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.
    "Seandainya ......
    Tapi kau angin!
    Jangan menjerit:
    semerbakmu memekakkanku.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    ATAS KEMERDEKAAN
    kita berkata : jadilah
    dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
    di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
    di tepinya cakrawala
    terjerat juga akhirnya
    kita, kemudian adalah sibuk
    mengusut rahasia angka-angka
    sebelum Hari yang ketujuh tiba
    sebelum kita ciptakan pula Firdaus
    dari segenap mimpi kita
    sementara seekor ular melilit pohon itu :
    inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
    Horison Thn III, No. 8, Agustus 1968
    Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

    DI TANGAN ANAK-ANAK
    Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung . yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
    "Tuan, jangan kauganggu permainanku ini."
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI
    waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
    aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
    aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
    aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

    BUNGA, 2
    mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik
    taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
    jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak ada
    alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
    menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
    kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
    selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma
    pendar-pendar di permukaan kolam
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    BUNGA, 3
    seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
    tak ada sahutan
    seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
    lalu terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?"
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    CARA MEMBUNUH BURUNG
    bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu?
    soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)
    soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian
    soalnya ia baka
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982

    CERMIN, 1
    cermin tak pernah berteriak;
    ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,
    meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
    barangkali ia hanya bisa bertanya:
    mengapa kau seperti kehabisan suara?
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    CERMIN, 2
    mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin;
    tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana;
    dan cermin menangkapmu sia-sia
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    DI ATAS BATU

    ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali
    ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari
    ia pandang sekeliling : matahari yang hilang - timbul di sela goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung
    -- ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    PERTAPA
    Jangan mengganggu:
    aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata -- ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna -- masih beranikah kau menyapaku, Saudara?
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    DUA PERISTIWA DALAM SATU SAJAK DUA BAGIAN
    1
    sehabis langkah-langkah kaki: hening
    siapa?
    barangkali si pesuruh yang tersesat dan gagal menemukan tempat- tinggalmu padahal sejak semula sudah diikutinya jejakmu
    padahal harus lekas-lekas disampaikannya pesan itu padamu
    2
    seolah-olah kau harus segera mengucapkan sederet kata
    yang pernah kaukenal artinya,
    yang membuatmu terkenang akan batang randu alas tua
    yang suka menjeritjerit kalau sarat berbunga
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    GONGGONG ANJING
    untuk Rizki
    gonggong anjing itu mula-mula lengket di lumpur
    lalu merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah
    menyusup lewat celah-celah genting
    bergema dalam kamar demi kamar
    tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki
    siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?" tanya sunyi
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    KEPOMPONG ITU
    kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan
    kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga
    dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    KETIKA MENUNGGU BIS KOTA, MALAM-MALAM
    "Hus, itu bukan anjing; itu capung!" katanya. Tapi capung tak pernah terbang malam, bukan? Capung tak suka ke tempat sampah
    -- biasanya ia hinggap di ujung daun rumput waktu pagi hari,
    dan kalau ada gadis kecil akan menangkapnya ia pun terbang ke balik pagar sambil mendengarkan suara "aahh!" Tubuhnya mungil, bukan?
    Sedangkan yang kulihat tadi jelas anjing kampung yang ekornya buntung, menjilatjilat tempat sampah yang di seberang halte itu, mengelilinginya,
    lalu kencing di sudutnya.
    Hanya saja, aku memang tak melihat ke mana gaibnya.
    "Itu capung!" katanya. Sayang sekali bahwa kau merasa tak melihat apa pun di seberang sana tadi.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    KISAH
    Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.
    Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
    Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
    Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    KUKIRIMKAN PADAMU
    kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
    par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
    Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.
    Namun ada.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    KUTERKA GERIMIS
    Kuterka gerimis mulai gugur
    Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku
    sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu
    Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu
    Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982

    LIRIK UNTUK LAGU POP
    jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis
    -- pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!)
    aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut
    -- nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!)
    aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek
    -- ketika hutan mendadak gaib
    jangan pejamkan matamu:
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    MATA PISAU
    mata pisau itu tak berkejap menatapmu
    kau yang baru saja mengasahnya
    berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
    yang tersedia di atas meja
    sehabis makan malam;
    ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

    DI SEBUAH HALTE BIS
    Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. Kau memang tak pernah berumah, dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk dan tampak putih.
    Pagi harinya anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk. Bis tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu. Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok, berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982
     PERAHU KERTAS
    Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
    "Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
    Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
    Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
    "Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit."
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    PERISTIWA PAGI TADI
    kepada GM
    Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.
    Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
    Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.
    Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,

    TELINGA
    Oleh :
    Sapardi Djoko Damono
    "Masuklah ke telingaku," bujuknya.
    Gila
    ia digoda masuk ke telinganya sendiri
    agar bisa mendengar apa pun
    secara terperinci -- setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis
    yang menciptakan suara.
    "Masuklah," bujuknya.
    Gila ! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    YANG FANA ADALAH WAKTU
    Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
    memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
    sampai pada suatu hari
    kita lupa untuk apa.
    "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
    tanyamu.
    Kita abadi.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982

    PESAN
    Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya.
    Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.
    Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan .....
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    PESTA
    pesta berlangsung sederhana. Sedikit tangis, basa-basi itu; tinggal bau bunga gemetar pada tik-tok jam, ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi-mimpinya
    . . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI
    angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, "aku rindu, aku ingin mempermainkanmu! "
    kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, "jangan berisik, mengganggu .
    hujan!"
    hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,
    hardiknya, 'lepaskan daun itu!"
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982

    SAJAK NOPEMBER
    Siapa yang akan berbicara untuk kami
    siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
    bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur
    yang berjejal
    bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
    tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami
    dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
    siapa yang akan berbicara atas nama kami
    yang berjejal dalam kubur
    bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
    bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
    tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
    siapa yang bisa paham makna kehendak kami
    kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
    ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
    tanpa dicatat namanya
    kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
    ialah Tanah Air
    kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah
    yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
    untuk pergi lebih dahulu
    apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami
    apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami
    mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik
    tanpa mengeluh serta putus asa
    di Solo dua orang dalam satu kuburan
    di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan
    di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan
    dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik
    tapi katakanlah kepada anak cucu kami;
    di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu
    bertimbun dalam satu lobang
    dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
    tambur yang paling besar telah ditabuh
    dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami
    terompet yang paling lantang ditiup
    dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu
    kami pun bangkit dari kubur
    memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah
    kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan
    diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya
    kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati
    kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka
    dan hari depan, sudah itu : mati
    orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu
    tanpa tahu siapa kami ini
    tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus
    tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal
    tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah
    dan sudah itu : mati
    siapa berkata bahwa kami telah musnah
    siapa berkata
    kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar
    kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah
    di ladang dan di laut, meskipun kalian
    tiada menyadari kehadiran kami
    siapa berkata bahwa kami telah musnah
    siapa berkata
    tanah air adalah sebuah landasan
    dan kami tak lain baja yang membara hancur
    oleh pukulan
    ialah kemerdekaan
    kemarin giliran kami
    tapi besok mesti tiba giliranmu
    kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih
    terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak
    hidup dan mengerti makna kemerdekaan
    dan kami adalah baja yang membara di atas landasan
    dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan
    (mungkin besok tiba giliranmu)
    siapa yang tahu cinta saudara, paman dan bapa
    siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak
    ingat untuk apa kamu pergi
    siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam
    siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia
    ingat kenapa kami tak kembali
    begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan
    apa saja untuknya
    jawablah : ya
    begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa
    jawab lagi : ya
    sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari
    datang untuk memberkati anak-anak yang tidur
    sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan
    bahasa dan kehendak kami
    sudah kau dengarkah suara napas kami
    menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur
    sebab kami selalu dan selalu lahir kembali
    selalu dan selalu berkelahi lagi
    mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak
    mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak
    tapi toh tak ada bedanya:
    kami telah memulainya
    dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya
    dan memang tak ada bedanya :
    kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan
    bagimu adalah awal pertaruhan
    awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi
    meski kami pernah kau kenal atau tidak
    meski kami pernah kau jumpa atau tidak
    kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani
    yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik
    kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung
    lantaran satu harapan yang pasti
    walau tak pernah kembali
    kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda
    kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama
    tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami
    agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan
    mengeluarkan ampun
    kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi
    tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini
    agar tak lagi mengembara arwah kami
    kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati
    kami telah mati
    lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini
    hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami
    kami telah berkelahi; dan mati
    tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami
    dan mengatakannya kepada siapa pun
    tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami
    yang telah mati pagi sekali
    dan berjalan tanpa nama dan tanda
    dalam satu lobang kubur
    kami telah lahir dan selalu lahir
    selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah
    selalu dan selalu berkelahi
    di mana dan kapan saja
    biarkan kami bicara lewat suara anak-anak
    yang menyanyikan lagu puja hari ini
    biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana
    dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
    Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar
    atas rasa bangga kami yang sederhana
    biarkanlah kami bicara hari ini
    lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja
    lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta
    Gelora
    Th III, No 19
    ( Nopember 1962)
    Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

    TUAN
    Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
    saya sedang ke luar.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    SAJAK SUBUH
    Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, "Jangan bermimpi!" dan ia terkejut tak mengerti.
    Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
    "Jangan bermimpi!" gertak mereka.
    Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, "Jangan bermimpi! "
    Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan .....
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    SAJAK TELUR
    dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung
    semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin
    memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai
    merindukan telur
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    SELAMAT PAGI INDONESIA
    selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
    dan menyanyi kecil buatmu.
    aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
    dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
    kerja yang sederhana;
    bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
    tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
    selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
    di mata para perempuan yang sabar,
    di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
    kami telah bersahabat dengan kenyataan
    untuk diam-diam mencintaimu.
    pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
    agar tak sia-sia kau melahirkanku.
    seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
    padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
    aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
    merubuhkan kesangsian,
    dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
    kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
    yang megah,
    biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
    wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
    para perepuan menyalakan api,
    dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
    telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
    Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
    memberi salam kepada si anak kecil;
    terasa benar : aku tak lain milikmu
    Basis
    Thn. XV - 4
    Januari 1965
    Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

    SERULING
    Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdunya ....
    Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    SETANGAN KENANGAN
    Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu. Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar- gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana ....
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    SIHIR HUJAN
    Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
    -- swaranya bisa dibeda-bedakan;
    kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
    Meskipun sudah kau matikan lampu.
    Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
    - - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    SUDAH KUTEBAK
    Sudah kutebak kedatanganmu. Seperti biasanya,
    kau berkias tentang sepasang ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit,
    menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang,
    menyambar, berputar-putar membuat lingkaran,
    menyambar, mabok membentur batu-batuan.
    Kutebak si pengail masih terkantuk-kantukdi tepi sungai itu.
    Sendirian.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    TAJAM HUJANMU
    tajam hujanmu
    ini sudah terlanjur mencintaimu:
    payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,
    air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,
    aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
    arloji yang buram berair kacanya,
    dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan
    deras dinginmu
    sembilu hujanmu
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.

    TEKUKUR
    Kautembak tekukur itu. Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula terpencar di sela-sela jari angin, satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun rumput. "Kena!" serumu.
    Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin hanya meletakkannya di tebing sungai. "Tapi ke mana terbang burung luka itu?" gerutumu.
    Tetes-tetes darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas- berkas sinar matahari, membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput.
    "Merdu benar suara tekukur itu," kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa tiba-tiba berada dalam sebuah taman bunga.
    Perahu Kertas,
    Kumpulan Sajak,
    1982.


  2. 0 comments: