Rss Feed
  1. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Minggu, 29 Desember 2013

    www.shnews.co

                Berbekal pertanyaan dari seorang rekan mengenai pendidikan agama untuk rekan disabilitas, naluri KEPO saya meningkat. Mencari beberapa narasumber, baik buku maupun rekan dibidangnya, sayapun mulai banyak tanya. :v
    ^O^
                “Sayang sih Ris, ada beberapa orang tua yang sebenarnya mereka paham sama kondisi ABK tapi menyikapi anak ABK dengan tidak seharusnya.” Sela Mas Sandi Purba Wardana (Mahasiswa tingkat akhir PLB FKIP UNS yang aktiv sebagai Kakak Hebat di RHI, juga pelatih Teater of Sign, volunter aktif Gerkatin Solo) di antara suapan sarapan kami di warung mbok Was 20 Desember lalu.
                “Gimana mas maksudnya?”
                “Salah satu muridku itu rajin banget beribadah, shalat, ngaji, puasa, semuanya dia lakukan secara intens dan rutin. Kalau ditanya tentang tujuannya beribadah, dia jawabnya biar masuk surga. Kata Bapak anak anak seperti Nisa (nama disamarkan) itu enggak bisa apa apa, enggak bisa jadi dokter, enggak bisa jadi guru. Jadi kata bapak harus banyakin doa, biar Allah sayang.”
                “Hweh kok ngono mas?”
                “Iya miris memang, padahal orang tuanya itu alim ulama, termasuk ustad ternama gitu ditempatnya.”
                “Terus interaksinya sama temen temenya gimana mas?”
                “Yaitu, karena dia konsen sama sugesti kalau dia tidak bisa apa apa, dan memperbanyak doa. Dia menomorsatukan berdoa pada Tuhan, dan tidak menggagas sosialnya sama sekali. Bahkan nyaris dia tidak punya teman akrab.”
                “Hla mas, bukannya kalau di SLB gitu biasanya mereka dibekali keterampilan gitu. Misal buat handcraft atau kesenian tangan gitu ya?”
                “Iya, nah karena udah disugesti dari bapaknya tadi, dia jadi agak males malesan. Ya bawaan sugesti dia gag bakal bisa ngapa ngapain sih jadi kaya kurang termotivasi.”
                “Hmm pola asuh beneran sangat berpengaruh ya.”
    ^O^
                Sebelum lebih jauh membahas pelayanan pendidikan agama untuk rekan rekan istimewa ini, saya ingin meluruskan tentang pengertian ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) atau disabilitas, mereka adalah sama dengan kita. Sama sama makhluk ciptaan Allah SWT yang sempurna. :”)
                 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya.” *Q.S At-Thiin Ayat 4
                Berdasarkan percakapan saya dengan Mas Sandi diatas, beberapa insan masih memandang sebelah mengenai kondisi ABK, padahal Allah menciptakan manusia dalam keadaan yang paling baik diantara makluk makluk lainnya. Tidak berlaku istilah cacat didalamnya, jadi istilah ‘cacat’ ‘tuna’ ‘kurang’ tak tepat  kita ajukan pada mereka yang sejatinya juga sebaik baik ciptaan seperti insan lainnya. Bukankah dari mereka kita banyak belajar? Mengenai penyelamataan Allah melalui tertutupnya beberapa pintu (lisan, telinga, mata) penyebab dosa menumpuk. Bukankah dari mereka kita belajar untuk lebih peduli pada sesama? Bahwa makluk manusia adalah makluk paling kontradiktif, menyandang makluk sosial sekaligus dengan egoisme paling tinggi. Dan mereka rekan disabilitas itu, adalah rekan istimewa ladang pahala untuk insan yang paham indahnya saling menjaga kepedulian. :”)
                Bahkan banyak dari rekan rekan disabilitas yang sangat produktif dalam berkarya, sebuah kelompok teater dengan anggota insan insan hening, Teater of Sign di Solo sudah dua kali mereka unjuk gigi didepan publik. Mengaktifkan eksistensi sebagai insan yang juga memiliki potensi prestasi, lalu Mr.Dim itu, juga rekan rekan disabilitas lainnya. Bagaimanapun kondisis mereka, mereka tetapnya ciptaan Allah yang dibekali banyak potensi, hanya saja perlu mata jeli dan usaha lebih untuk bisa terekplorasi dengan optimal. :”)
                Jadi rekan diabilitas ialah bagian dari sebaiknya baiknya makluk ciptaan Allah yang oleh.Nya difasilitasi kemudahan menutup satu pintu penyebab dosa menumpuk (mata, telinga, suara, dll).
                Lantas dengan tertutupnya satu pintu penyebab dosa yang sejatinya pintu tersebut pun jalan masuk banyak ilmu, memungkinkankah mengenalkan mereka pada agama? Jawabannya adalah sangat mungkin. :”)
                Mayoritas dari ABK memaknai agama lebih sebagai kegiatan intelektual, bukan kegiatan yang mengandung emosional dan spiritualitas. Pendidikan agama mereka peroleh berkat peran besar orang tua dan pihak sekolah. ABK yang mendapat pengajaran pengetahuan agama sejak kecil saat tumbuh besar bisa membaca kitab suci dengan baik, bisa mengingat nama nama nabi, bahkan bisa mengahafal banyak doa. Jika orang tuanya rajin melakukan ibadah keagamaan dan sering melibatkan mereka dalam hal tersebut, maka mereka juga akan melakukan hal yang sama.
    ^O^
                “Mengenalkan agama pada ABK tidak seperti pada anak anak pada umumnya. Buat mereka agama itu mengenai baik dan buruk. Mereka enggak terlalu paham sama yang namanya dosa atau konsep ketuhanan. Buat mereka agama adalah boleh dan tidak.” Jelas Mas Sandi (rekan Pendidikan PLB yang saya ajak berbincang mengenai hal ini).
                “Hmmm jadi to do point gitu ya Mas? Hal hal konkret yang bisa langsung diterapkan? Kaya misal, kalau kamu baik sama temen kamu Allah suka, kalau kamu mencuri Allah enggak suka. Gitu ya?” alisku terpaut menuntut jawaban.
                “Iya, soalnya mereka kan emang perkembangan pahamnya dari konkret ke abstrak.”
                “Kaya semisal menjelaskan hal hal yang kaitannya dengan sosial, habluminanasnya gitu, untuk hubungan sama Tuhan ya paham mereka baru Allah suka kalau aku shalat tepat waktu gitu?”
                “Bisa juga, dan menjelaskan apapun kemereka itu sama dengan mengumpulkan ‘o’. Sekalinya mereka sudah bilang ‘ooo’ berarti mereka sudah paham dalam benak mereka, dan ketika mereka sudah paham mereka berlahan akan menerapkannya dalam kehidupan.”
                “Hmm gitu ya?” pikirku menerawang.
    ^O^
                Sebuah kisah nyata dengan tokoh disamarkan, sedikit membantu saya memahami konsep pengenalan agama untuk ABK. Dalam kasus ini ABK dengan Autis.
                Dika. Bisa dikatan ia adalah anak yang sangat taat beribadah. Kedekatannya dengan agama dimulai sejak usia sekitar lima tahun, saat ia suka menirukan sang Ayah shalat atau naik dipunggung ibunya saat shalat. Kini saat adzan berkumandang, entah saat ditempat makan atau dalam perjalanan, Dika akan gelisah, mencari tempat untuk melaksanakan shalat.
                Memasuki SMA dengan adanya sistem inklusif, Dika mendapat amanah. Sebab tingkat intensitas beribadahnya yang baik, ia berkesempatan menjadi takmir masjid sekolahnya. Dika sangat gembira menyambut kabar tersebut. Dengan rajinya ia mengurus masjid, mulai dari menulis nama ustadz dipapan pengumuman, sibuk mengedarkan kotak amal, hingga membantu persiapan even even dimasjid saat perayaan hari besar agama (baik ramadan maupun lebaran). Namun, sampai disitu, Dika mengalami kesulitan bila diajak berdiskusi soal ketuhanan.
                Menurut Dr Adriana S Ginanjar Psikolog dari UI Pemahaman penyandang ABK (khususnya Autis) terus mengalami perubahan seiring bertambahnya usia, namun demikian masih sangat terlambat dibandingkan dengan rekan rekan lain yang sebaya denganya.
                Dalam kasus Dika diatas, Dika kini sudah bisa mengingatkan adiknya untuk beribadah. Ia juga mulai menyukai ceramah ceramah ustad yang sedang sering nampang ditelevisi.
    ^O^
                Mengajarkan agama pada ABK bukan hal yang tidak mungkin, semua itu mungkin hanya saja mengajarkan agama pada mereka memiliki keunikan cara yang berbeda. Bagi anak anak biasa, mereka bisa percaya saja (bisa langsung menerima) diajarkan agama, namun untuk ABK mereka membutuhkan penjelasann logis. Kenalkan mereka melalui rutinitas, ajarkan mereka melalui kebiasaan :v Seperti menghafalkan biologi dulu, jika terlalu abstrak anak malah akan pusing. Sesudah itu baru ajarkan baik dan buruk sesuai agama. Sebab mereka lebih memahami hal hal konkret, melihat agama bagi mereka lebih mudah dipahami melalui hal hal yang berhubungan dengan antarmanusia. Lalu kita bisa mengajak mereka berdiskusi dengan mereka secara konkret misalnya. “Jika kamu berbuat baik, suka menolong maka disayang Allah.”
                Untuk tahap awal seusai identifikasi sejauh mana pemahanan anak pada agama, kita bisa mengajarkan hal hal sederhana untuk mulai diaplikasikan, kalau misal dalam islam, ajarkan membaca bismillah sebelum melakukan kegiatan. Ingat! Kita tidak boleh menuntut mereka terlalu jauh, sederhanakan pemikiran kita saja. Sebab yang penting bukan ritualnya, tetapi penerapan agama dalam kehidupan sehari hari.                 

                       Beberapa artikel terkait yang bisa dijadikan refrensi ^_^
     

     
     

  2. 0 comments: