Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
21.56
WIB di Ruang Tamu, Selasa, 23 Juli 2013
![]() |
Romi and Tiwi |
Perbincangan malam ini dengan adik saya nomor sulung :")
“Kamu ranking berapa Le?”
“Delapan Belas Mba.”
“Eh Hlaa kok naiknya bisa drastis gitu *semester kemarin
dia masuk sepuluh besar*” berbau sindiran halus.
“Hlaa temen temen pada nyontek gitu koh!”sedikit tak
terima.
“Kamu tahunya mereka nyontek?” Memastikan.
“Ya kan aku melihatnya mba. Akukan juga punya mata!”
“Haha hla kamu enggak ikut nyontek?” Menguji.
“Enggaklah, aku kan jujur!” Pembelaan.
“Masa?” sedikit menguji.
“Iyo! Nyonto ki nggo ngopo mba?! Ra guno yo!”
*Senyum simpul. Bangga.
Ada perasaan bangga menyusup halus
ketika kalimat terakhir dalam dialog itu terluncurkan dari bibir kecil remaja
lima belas tahun yang sekarang resmi menduduki kelas IX sebuah sekolah menengah
pertama negeri di kecamatan. :) Kakak bangga padamu dhik :)
Namun hati sedikit tersentil betapa
pemujaan akan nilai telah membudaya di masa sekolah menengah pertama. Betapa
pengagungan terhadap nilai telah terjadi di masa pendidikan yang terbilang
masih muda. Juga betapa minimnya kesadaran atas hakekat proses belajar.
Dan betapa mirisnya menyadari bahwa
budaya menjiplak sudah begitu dini membauri pelajar sekarang ini. Ada banyak
cara yang mereka lakukan untuk mendapat nilai terbaik, cara yang terhitung
membohongi kemampuan diri. Dari sekedar melempar kertas berisi jawaban ujian
hingga bertukar kertas ujian yang telah berisi jawaban. Juga beberapa kode yang
kadang terselip dari bahasa tubuh mereka. Menyentuh mata untuk A. Menggaruk
hidung untuk B. Memegang telinga untuk C. Lalu dagu untuk D juga masih banyak
kode kode yang tersebar dikalangan pelajar. Juga gerakan gerakan lincah
bergerilya dengan pengawas. Subhanallah, betapa kreatifnya pelajar sekarang. :")
Kreatif dalam hal yang kurang baik sayangnya.
Salahkan cara mereka meraih
prestasi?
Salahkan mereka yang hanya mencoba
beradaptasi?
Salahkah mereka ingin berkreasi?
Tidak perlu menyalahkan siapapun
ketika ternyata memang menemukan tersangka tak akan menemukan solusi.
Bagi pelajar, “ini cukup legal
bukankah ini salah satu cara membahagiakan orang tua? Dengan nilai yang bagus
tentu akan membanggakan orang tua bukan? Memenuhi tuntutan mereka untuk
berprestasi, toh kesempatan menjiplak lebar terbuka. Pengawas yang asik dengan
handphonenya, pengawas yang sibuk berbincang, pengawas yang sibuk dengan
headline surat kabar. Juga pengawas yang tak ada ditempat. Hei, suatu tindakan
terjadi bukan hanya karena ada niatan dari pelakunya, namun juga adanya
kesempatan. Jangan salahkan kita dong!”
Bagi guru, “Meninggalkan mereka saat
ujian adalah bentuk kepercayaan kami pada siswa siswi kami. Terkadang kehadiran
pengawas hanya akan menambah tekanan, dan dalam kondisi tertekan hasil yang
optimal kurang tercapai. Wajar dong!”
Bagi orang tua. “Bahkan ketika anak
kami menjiplak disana mereka sedang belajar menyaring informasi, memilih dan
memilah mana yang lebih tepat dan paling mendekati benar. Itu juga proses. Ada
yang salah?!”
Ketika ujian seharusnya adalah bahan
untuk evaluasi hasil belajar, untuk mengukur sampai mana sebuah proses
pembelajaran berhasil terserap secara optimal, untuk membuat pijakan baru
menindak lanjuti diri yang kian berkembang. Kenapa harus ternodai oleh budaya
tak indah yang bahkan membohongi.
Mencontek. Menjiplak. Atau belajar
saat ujian berlangsung. Bagaimana akan mendapat data kemampuan yang valid jika
jelas yang berfikir hanya seorang yang telah belajar semalam sebelumnya?!
Bagaimana dikatakan valid jika uraian jawaban adalah saduran dari sebuah search
engine dari smarthphone?! Bagaimana dikatakan valid jika buku masih menjadi refrensi
utama tanpa pernah tertuang fikir obyektif dari diri?! Bagaimana akan terjadi
evaluasi jika ternyata semua hanya ilusi?! Ah siapa peduli jika nyata semua
tahu dan membiarkannya. Ah siapa peduli jika ini sudah cukup membahagiakan
mereka. Ah siapa peduli jika bertemu orang toh yang ditanya hasil akhirnya. Ah
siapa peduli jika begitulah yang diminta.
Saya tidak akan merutuk kegelapan
pandang disini. Merutuk tak akan menyelsaikan masalah bukan? Merutuk hanya akan
mempergelap ruang bernama salah pandang. Salah persepsi tentang makna prestasi.
Setau saya prestasi, ialah hasil
yang telah diraih. Apapun itu ketika telah ada ikhtiar di awal lalu berserah
diri atas iktiar yang dilakukan, apapun hasilnya ialah prestasi. J
Bahkan ketika adik saya mendapat ranking 18 dari empat puluh siswa dikelasnya
itu adalah prestasi. Meski sempat menyayangkan dia tergeser dari sepuluh besar,
namun jika ternyata adik saya masih berjalan lurus dalam ikhtiarnya insya Allah
lebih berkah. Dan saya percaya inilah yang terbaik yang digariskan. Allah tidak
akan pernah bertanya berapa nilaimu? Berapa ranking dalam raportmu. Allah hanya
meminta pertanggungjawaban atas proses mendapatkan nilai itu. Sayangnya, mereka
lupa. L
Mereka lupa bahwa prestasi tidak
melulu juara satu, dua, tiga. Prestasi juga tidak harus juara dalam kompetisi
tingkat nasional. Ketika pelajar telah melaksanakan hakekatnya sebagai seorang
pebelajar itu juga prestasi. Di kelas ia belajar mendengarkan dan menyerap ilmu
atas materi yang tersajikan. Di rumah dia menambah materi untuk menyiapkan
esok. Di masyarakat dia berlahan mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Bukan
semata untuk mendapat ranking atau juara, namun juga agar ilmu yang ia miliki
memberikan kemanfaatan pada sekitar. Alangkah tidak lucu ketika seorang juara
kelas namun tak mampu bersosialisasi dengan masyarakat. Alangkah sayangnya ilmu
yang terserap namun tak pernah memberikan terang pada lingkungan. J
“Hakekatnya seberapapun hasil akhir
yang diperoleh, berbanggalah jika itu hasil usaha sendiri, meski hasil itu
sangatlah kecil. Sesungguhnya bukan hasil akhirlah yang wajib di lihat namun
proses kita memperoleh hasil akhir lah yang hendaknya kita fokuskan”. Tunggu
sampai Ibuku mendengarku berbicara ini. Beliau pasti akan bangga padaku
ahahaha. Karena Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk berhasil, namun Tuhan
hanya membekali kita untuk berusaha __________Prince Of Nyontek by Risa RiiLeon :")
^O^
“Mencontek adalah pelajaran awal
yang akhirnya adalah korupsi. Keduanya menganut ilmu yang sama, yakni
ketidakjujuran. Jadi kalau mau mengentaskan korupsi di Indonesia, berantas dulu
kegiatan mencontek di kalangan pelajar!” ________Ramaditya Adikara
^O^
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي
إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
اللَّهِ كَذَّابًا
“Senantiasalah
kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan
kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha
untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu
jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan,
dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan
selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang
pendusta.” (HR al-Bukhari dan Muslim, teks hadis mengikuti versi Muslim).
0 comments:
Post a Comment