Rss Feed
  1. Sahabat Tanpa Pamrih, Temanku Di Surga

    Wednesday, 28 August 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    Rabu, 28 Agustus 2013

    just friendship

                Pembagian kelompok tugas selalu menjadi hal yang tidak menyenangkan ketika pembagian itu berdasarkan kehendak hati. Ada beberapa insan yang kadang tidak terpilih menjadi bagian kelompok. Hingga pada akhirnya insan insan itu membuat kelompok sendiri, menamainya dengan ‘kelompok buangan’, kelompok insan insan tak diinginkan yang terpinggirkan sebab tak memiliki kelebihan, atau penuh kekurangan di hadap rekan sekelas.             
                  Pembagian kelompok, pada akhirnya memberi kesempatan saya untuk lebih tahu mereka yang terpandang sebelah mata. Karena nyata, saya hanya diam menunggu ada rekan yang menawarkan saya masuk kelompoknya. Hei, itu bukan karena saya malas untuk mencari. Sungguh bukan karena itu, namun saya pernah ditolak dengan sangat halus. :D bukan hanya sekali. Ketika saya sangat percaya diri telah merasa bahwa seseorang memasukkan saya pada kelompoknya namun nyata tak ada nama saya disana. Maha Besar Allah dalam rencana.Nya :’)
                Dan begitu tahu dunia kuliah selalu semandiri ini, sekepentingan ini, sepamrih ini, saya merindukan mereka rekan SMA. Baiklah, keep moving on! :D
                Sepintas kisah Said pun bertengger dalam benak saya. Mengalunkan kemurnian cinta sebab Allah semata. :’)
    ^O^
                Tanah Kurdistan memiliki seorang raja yang adil dan shalih. Dia memiliki putra, seorang anak laki laki yang tampan, cerdas, dan pemberani. Saat-saat paling menyenangkan bagi sang raja adalah ketika dia mengajari anaknya membaca Al-Quran. Sang raja juga menceritakan kepadanya kisah kisah kepahlawanan para panglima dan tentaranya di medan pertempuran. Anak raja yang bernama Said itu, sangat gembira mendengar penuturan kisah ayahnya. Si kecil Said akan merasa jengkel jika di tengah tengah ayahnya bercerita, tiba tiba ada orang yang memutuskannya.
                Terkadang, ketika sedang asyik mendengarkan cerita ayahnya tiba tiba pengawal masuk dan memberitahukan bahwa ada tamu yang penting yang harus ditemui oleh raja, sang raja tahu ada yang dirasakan anaknya.
                Maka, dia memberi nasihat kepada anaknya, “Said, Anakku, sudah saatnya kamu mencari teman sejati yang setia dalam suka dan duka. Seorang teman baik, yang akan membantumu untuk menjadi orang baik. Teman sejati yang bisa kamu ajak bercinta untuk surga.”
                Said tersentak mendengar perkataan ayahnya.
                “Apa maksud Ayah dengan teman yang bisa diajak bercinta untuk surga?” tanyanya dengan nada penasaran.
                “Dia adalah teman sejati yang benar benar mau berteman denganmu, bukan karena derajatmu, tetapi karena kemurnian cinta itu sendiri, yang tercipta dari keikhlasan hati. Dia mencintaimu karena Allah. Dengan dasar itu, kamu pun bisa mencintainya dengan penuh keikhlasan, karena Allah. Kekuatan cinta kalian akan melahirkan kekuatan dahsyat yang membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu juga akan bersinar dan membawa kalian masuk surga.”
                “Bagaimana cara mencari teman seperti itu, Ayah?” tanya Said.
                Sang raja menjawab, “Kamu harus menguji orang yang hendak kamu jadikan teman. Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah siapapun yang kamu anggap cocok untuk menjadi temanmu saat makan pagi di sini, di rumah kita. Jika sudah sampai di sini, ulurlah waktu penyajian makanan. Biarkan mereka semakin lapar. Lihatlah apa yang kemudian mereka perbuat. Saat itu, rebuslah tiga butir telur. Jika dia tetap bersabar, hidangkanlah tiga telur itu kepadanya. Lihatlah, apa yang kemudian mereka perbuat! Itu cara yang paling mudah bagimu. Syukur jika kamu bisa mengetahui perilakunya lebih dari itu.”
                Said sangat gembira mendengar nasihat dari ayahnya. Diapun mempraktikan cara mencari teman sejati yang cukup aneh itu. Mula – mula, dia mengundang anak anak pembesar kerajaan satu persatu. Sebagian besar dari mereka marah marah karena hidangannya tidak keluar keluar. Bahkan ada yang pulang tanpa pamit dengan hati kesalm ada yang memukul-mukul meja, ada yang melontarkan kata-kata tidak terpuji, memaki maki karena terlalu lama menunggu hidangan.
                Di antara teman anak raja itu, ada seseorang yang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Said melihat, sepertinya Adil anak yang baik hati dan setia. Maka, dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk makan pagi. Adil memang lebih sabar dibandingkan anak anak sebelumnya. Dia menunggu keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasa cukup, Said mengulurkan sebuah piring berisi tiga buah telur rebus.
                Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan kita? Ini tidak cukup mengisi perutku!”
                Adil tidak menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meninggalkan Said sendirian.said diam. Dia tidak perlu meminta maaf kepada Adil, karena meremehkan makanan yang telah dia rebus dengan kedua tangannya. Dia mengerti bahwa Adil tidak lapang dada dan tidak coock untuk menjadi teman sejatinya.
                Hari berikutnya, dia mengundang anak seoarng saudagar terkaya. Tentu saja, anak saudagar itu sangat senang mendapat undangan makan pagi dari anak raja. Malam harinya, sengaja ia tidak makan dan melaparkan perutnya agar paginya bisa makan sebanyak banyaknya. Dia membayangkan, makanan anak raja pasti enak dan lezat.
                Pagi pagi sekali, anak saudagar kaya itu telah datang menemui Said. Seperti anak-anak sebelumnyan dia harus menunggu waktu yang lama sampai makanan keluar. Akhirnya, Said membawa piring dengan tiga telur di atasnya.
                “Ini makanannya, saya ke dalam dulu mengambil air minum,” kata Said seraya meletakkan piring itu diatas meja. Saya kedalam dulu mengambil air minum,” kata Said seraya meletakkan piring itu diatas meja.
                Lalu, Said masuk ke dalam. Tanpa menunggu lagi, anak saudagar itu langsung melahap satu persatu telur itu. Tidak lama kemudian, Said keluar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ke meja ternyata tiag telur itu telah lenyap. Dia kaget.
                “Mana telurnya?” tanya Said pada anak saudagar.
                “Telah aku makan.”
                “Semuanya?”
                “Iya, habis aku lapar sekali.”
                Melihat hal itu Said langsung tahu bawa anak saudagar itu juga tidak bisa dijadikan teman sejati. Tidak setia. Tida bisa meraskan suka dan duka bersama sama. sesungguhnya, Said juga belum makan apa apa.
                Said, merasa jengkel kepada anak anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. Mereka tidak pantas dijadikan teman sejatinya. Akhirnyam dia meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mencari teman sejati.
                Dan Said pun mencari teman di luar istana. Mulailah ia berpetualang melewati hutan, ladang, sawah, dan kampung kampung untuk mencari seorang teman yang baik.
                Sampai akhirnya, ia bertemu dengan anak seorang pencari kayu bakar. Said mengikutinya diam diam sampai anak itu tiba digubuknya. Rumah dan pakaian anak itu menunjukkan bahwa ia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Said memerhatikannya dari balik rumpun pepohonan.
                “Kawan, kenalkan namaku Said. Kalau boleh tahu namamu siapa? Kamu tadi shalat apa?” tanya Said seusai anak itu shalat.
                “Namaku Abdullah. Tadi itu shalat dhuha.”
                Lalu Said meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya dan menjadi temannya.
                Namun, Abdullah menjawab, “Kukira kita tidak cocok menjadi teman. Kamu anak seorangkaya, malah mungkin anak bangsawan. Sedangkan aku, anak miskin. Anak seorang pencari kayu bakar.”
                Said menyahut, “Tidak baik kamu mengatakan begitu. Mengapa kamu membeda bedakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Semuanya sama, hanya takwa yang membuat orang mulia di sisi Allah. Apa aku kelihatan seperti anak yang jahat sehingga kamu tidak mau berteman denganku? Mengapa kita tidak coba beberapa waktu dulu? Kamu nanti bisa melihat, apakah aku cocok atau tidak menjadi temanmu.”
                “Baiklah kalau begitu, kita berteman. Akan tetapi, dengan syarat hak dan kewajiban kita sama, sebagai teman yang seia sekata.”
                Said menyepakati syarat yang diajukan oleh anak pencari kayu bakar. Sejak hari itu, mereka bermain bersama, pergi ke hutan bersama, memancing bersama, dan berburu kelinci bersama. Abdullah mengajarinya berenang ke sungai, menggunakan panah dan memanjat pohon di hutan. Said sangat gembira sekali berteman dengan anak yang cerdas, rendah hati, lapang dada, dan setia. Akhirnya dia kembali ke istana dengan hati gembira.
                Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Abdullah langsung mengajaknya makan di gubuknya. Dalam hati, Said merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan dia telah diundang makan.
                Di dalam gubuk itu, mereka makan seadanya. Sepotong roti, garam, dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat lahap. Ingin sekali rasanya dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu sahabatnya itu sedang mengujinya. Oleh karenanya, Said merasa cukup dengan apa yang diberikan.
                Selesai makan. Said mengucapkan hamdallah dan tersenyum. Setelah itu mereka kembali bermain. Said banyak menemukan hal hal yang baru di hutan, yang tidak dia dapatkan di dalam istana. Oleh temannya itu, dia diajari untuk mengenali dan mmbedakan jenis jenis dedaunan dan buah buahan di hutan, antara buah dan daun yang bisa dimakan, yang bisa dijadikan obat serta yang beracun.
                “Dengan mengenal jenis buah dan dedaunan di hutan secara baik, kita tidak akan repot jika suatu kali tersesat. Persediaan makanan ada di sekitar kita. Inilah keagungan Allah!” Seru Abdullah penuh semangat.
                Seketika itu Said merasa ilmu tidaklah cukup diperoleh dari madrasah seperti yang ada di ibu kota kerajaan. Ilmu ada dimana mana, bahkan di hutan sekalipun. Hari itu, Said banyak mendapatkan pengalaman berharga.
                Ketika matahari sudah condong ke barat. Said berpamitan kepada sahabatnya itu. Tidak lupa, Said mengundang makan dirumahnya esok pagi. Lalu ia memberika secarik kertas kepada temannya itu.
                “Pergilah ke ibu kota, berikan kertas ini kepada tentara yang kamu temui disana. Dia akan mengantarkanmu ke rumahku.” Kata Said sambil tersenyum.
                “Insya Allah aku akan datang.” Jawab Abdullah.
                Pagi harinya, anak pencari kayu itu sampai juga di Istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Said adalah putra raja. Mulanya, dia agak ragu untuk masuk istana. Akan tetapi, jika mengingat kebaikan dan kerendahan hati Said selama ini, dia pun memberanikan diri.
                Said menyambutnya dengan hangat dan senyum gembira. Seperti anak anak sebelumnya yang telah hadir di ruang makan, Said pun menguji temannya ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, Abdullah sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama tiga hari. Atau terkadang makan daun daun mentah saja. Selama menunggu, dia tidak memikirkan makanan sama sekali. Dia hanya berfikir, seandainya semua anak bangsawan bisa sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tentram.
                Selama ini, dia mendengar bahwa anak anak pembesar kerajaan senang hura hura. Namun dia menemukan seorang anak raja yang santun dan shalih.
                Akhirnya, tiga butir telur masak pun dihidangkan. Said mempersilahkan temannya untuk memulai makan.Abdullah mengambil satu. Lalu, dia mengupas kulitnya pelan pelan. Sementara itu, Said mengupas dengan cepat dan menyantapnya. Kemudian dengan sengaja Said mengambil telur yang ketiga. Dia mengupasnya denagan cepat, dan melahapnya. Temannya selesai mengupas telur. Said ingin melihat apa yang akan dilakukan temannya dengan sebutir telur itu, apakah dia akan memakannya sendiri atau ... ?
                Abdullah mengambil pisau yang ada di dekat mereka. Lalu, ia membelah telur itu menjadi dua bagian. Yang satu ia pegang, dan yang satunya ia berikan kepada Said. Dan hati Said basah seketika. Menangis penuh keharuan akan cinta sahabatnya.
                Pelukkan erat Said menerjang Abdullah, “Engkau teman sejatiku! Engkau teman sejatiku! Engkau temanku masuk surga!” ucapnya disela isak harunya.
                Sejak itu, keduanya berteman dan bersahabat dengan sangat akrab. Persahabatan mereka melebihi saudara kandung. Mereka saling mencintai dan menghormati karena Allah Swt.
                Karena kekuatan cinta itu, mereka sampai bertahun tahun mengembara bersama untuk belajar dan berguru. Setelah berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya tumbuh dewasa. Raja yang adil, Ayah Said telah meninggal. Saidpun diangkat menjadi raja untuk menggantikan ayahnya. Menteri yang pertama kali dia pilih adalah Abdullah, anak pencari kayu bakar itu. Abdullahpun benar benar menjadi teman seperjuangan dan penasihat raja yang tiada duanya.
    ^O^
                Dan pada akhirnya, ketika nyata tak sesuai harap. Ketika aksi tak mendapat reaksi. Diri dengan tegas berkata, “Setulus apakah cintamu kepada mereka? Berlandaskan Allahkah langkahmu selama ini? ketika diri selalu meminta dan memohon agar lingkungan menatap kita, memperlakukan kita dengan baik sebagaimana yang tersurat dalam rapalan doa, sudahkah kita bertindak demikian?” selalu menuntut tanpa pernah mendahului menjadi teladan, itu bukan tindakan bijak.
                Pembagian kelompok seperti hari ini, mengajarkan saya untuk menatap tindak selama ini. Mengajarkan diri untuk bisa mengoptimalkan dengan apa yang telah terjadi. Memantaskan diri mendapat yang terbaik :’)
                “Janji Allah itu pasti, tinggal bagaimana kita memastikan diri mendapat janji.Nya.” #insya Allah
     

  2. 0 comments: