Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Pos Ronda, tersangka utama ritual tirakatan |
Langit malam enam belas agustus dua
ribu tiga belas di Surakarta.
Bulan masih tenang dalam
singgasanannya meski tanpa punggawa kerlip lintang. Alam dalam kesahajaannya,
meramu biduk biduk semangat dalam dada rakyat Indonesia. Pukul dua belas malam
nanti, Indonesia telah melenggang bebas selama enam puluh delapan tahun. Berekspresi
dan berprestasi tanpa beban penjajah hingga dalam kancah dunia. Masih ada empat
jam menuju dentang dua belas kali di jam dinding rumah. Masih ada empat jam
menuju kenikmatan berikrar merdeka. Masih ada empat jam mengucap cinta pada
Indonesia. Ya, masih berjam jam lagi, namun tidak untuk persiapan tujuh belas
agustus esok. Empat minggu yang lalu, prosesi akbar penyambutan tujuh belas
agustus ini telah berlangsung.
Aneka lomba pengisi pra-tujuh belas
agustus senantiasa menyemarakan bulan kemerdekaan. Dari gigit kerupuk hingga
memasukkan benang dalam jarum. Berbalap karung juga panjat pinang. Semuanya terencana
dalam bingkai rapat pemuda juga nasihat para tetua. Bukan untuk mencari
pemenang, bukan pula menyaring kejuaraan. Semuanya hanya untuk satu hal,
persatuan Indonesia. :’) dari semua latar belakang, membaur dan meleburkan
cinta untuk Indonesia. Mencintai sepenuh hati, mengamalkan gotong royong juga
keindahan interaksi sesama kaum Bunda Pertiwi.
Jajaran Ibu Ibu dalam prosesi meyiapkan konsumsi |
Dan malam ini, dengan langit tanpa
bintang namun tersapa sang rembulan. Saya menjadi saksi atas indahnya semangat
persatuan. Indahnya sebuah peringatan kemerdekaan. Bersama Vio saya menuju
daerah Joyotakan, dusun perbatasan kota Solo dan Sukoharjo. Meniatkan diri
menyambung silaturahim dengan keluarga kakak perempuan saya. Dan saya dikejutkan
dengan aneka kegiatan yang nampak tak sama dari biasanya.
Sepanjang perjalanan menuju ke sana
dari arah kampus Kentingan, saya menjumpai dua pasar malam. Dengan beberapa
gubuk gubuk kecil berisi aneka produk dalam negeri yang terhiasi wajah berseri
para pengunjungnya, saya melenggang penuh heran. Ada apa gerangan? Kenapa
banyak pasar malam begini?
Beberapa ratus meter mendekati
daerah tujuan, saya menemukan hal yag serupa. Pasar malam, bahkan dengan sebuah
panggung dan beberapa sound system serta penduduk yang ramai disekitarnya. Ini
kenapa? Kok ramai sekali? Di Kebumen kok enggak ada? Haha
Sesampainya
di tempat tujuan, Subhanallah. Sepertinya memang saya melewatkan banyak hal
selama ini. Empat semester di kota Solo belum juga mengajariku tentang ragam
budaya Solo. Barulah saya mahfum dengan aneka peristiwa di luar kata biasa yang
sedari tadi tersapa. Budaya penyambutan malam tujuh belas agustus di daerah
Solo dan sekitarnya, tirakatan. Lain Kebumen (tepatnya desa Pagedangan, hehe
dusun saya) lain Solo. Ternyata.
Jika di Kebumen ada sedan yang
dibagikan seusai upacara pagi tujuh belas agustus, maka di Solo ada tirakatan yang memanjakan.
Dulu, pagi tujuh belas agustus, saya
selalu bersemangat jika berangkat upacara bendera di lapangan Gugus Depan
sekolah dasar. Dengan sebotol air minum yang diselempangkan di bahu kanan,
serenteng permen coklat, juga sekeping lima ratus rupiah di saku samping lalu
tangan kanan sibuk mengibarkan bendera merah putih berbahan plastik yang terpasang
di rautan bambu buatan Ibu sore kemarin. Saya dengan senyum lima centimeter
berangkat bersama langkah penuh letupan semangat. Selain karena akan bertemu
dengan aneka jajanan di area lapangan (di dekat barisan terbelakang) juga
karena nanti seusai upacara akan ada pembagian sedan.
Apa itu sedan? Bukan sejenis mobil,
bukan sama sekali. Sedan merupakan bungkusan daun pisang yang berisi nasi
berserta lauk pauknya. Sore tanggal enam belas agustus, Bapak Kaum desa saya
mengetuk setiap pintu rumah. Mengamanahkan untuk membuat sedan per kepala
keluarga, lalu dikumpulakn di kediaman beliau yang selanjutnya akan disetorkan
ke Balai Desa. Yes, balai desa adalah muara semua sedan yang mengalir dari
semua kepala kaluarga.
Terbayang jelas ada kokok kepala
ayam dengan bumbu sarden yang Ibu buatkan untuk saya subuh tadi. Bagian
ternikmat dari ayam sebelum kaki dan dada ayam haha. Baiklah, sebenarnya apa
yang dibuatkan Ibu belum tentu akan jatuh di tangan saya. Namun kata Ibu,
ketika kita memberikan yang terbaik untuk orang lain, insya Allah kita juga
akan mendapat yang terbaik. Meski itu bukan makanan mahal, namun Ibu memasaknya
dengan cinta juga semangat merdeka yang membara. Bagaimana tidak dengan cinta,
jika Ibu yang jarang masak makanan aneh aneh itu bangun sebelum si Jago
berkokok. Menyiapkan makanan untuk sedan ini, membangunkanku untuk mengipasi
nasi yang baru diangkat agar pulen dan enak dimakan. Ah Ibu, mengapa kamu
selalu memiliki alasan membuat saya jatuh cinta. :)
Tujuan yang sama namun berbeda cara.
Kebumen Solo memang berbeda, tapi tetap satu. Indonesia Merdeka!
Berbekal tawaran dari Ibu Kakak
Perempuan saya, akhirnya saya bermalam disana.
“Mbak Risa itu sepedanya (maksudnya
Vio) dimasukin aja. Terus ikut tirakatan disini. Pulangnya besok pagi ya..!”
Jadilah saya di sini. Di antara
riunya ibu ibu yang membahas prosesi pasca hari ini. Dari kegiatan lomba
agustusan hingga pembuatan gudangan siang tadi. Yups, menu tirakatan malam ini
adalah gudangan (sayuran yang direbus lalu dicampur dengan parutan kelapa
berbumbu dan ditaburi serpihan ikan asin goreng). Sebagai negara penuh sumber
daya, dimana sebatang kayu dapat menjadi sumber karbohidrat nabati, maka menu
gudangan menjadi sajian tepat untuk mensyukuri tahun ke enam puluh delapan ini
dengan memanfaatkan tanaman yang hidup dari tanahnya. Parutan kelapa dengan
bumbu aneka rempah asli Indonesia juga menambah cita rasa khas nusantara. Ahh
malam merdeka ini, tirakat ini, mungkin inilah pesta rakyat sesungguhnya. Moment
rakyat saling menyejahterakan bersama guyub rukun. Teriring lagu lagu gendhing
jawa yang menguarkan aroma nasionalis, semua warga di setiap rukun tetangga
berkumbul. Melingkar dan berjajar mengucap syukur atas nikmat kemerdekaan
selama enam puluh delapan tahun.
Dari sound system yang sederhana
itu. Dari menu penggugah selera itu. Dari riuhnya masa itu. Dari hangatnya
kebersamaan itu. Dari kembangan senyum senyum itu. Saya mengenal Indonesia
kembali. Saya, menatap Bunda Pertiwi. Apapun yang terjadi dengan Indonesia saat
ini, sungguh ia masih tanpa cela untuk saya. Ia masih nampak penuh sumber daya,
baik alam maupun manusia.
Jika pernah terluka sebab keberadaan
disini, jika pernah meradang sebab lahirmu disini, jika pernah terkoyak disini,
jika pernah asma disini, itu bukan karena Indonesia, tapi ulah manusia.
Indonesia, dia masih setia mengalirkan mata air untukmu membasuh pahitnya masa
lalu. Indonesia masih setia dengan tanahnya, memberimu ruang memulai pijakkan
baru menata masa depan. Indonesia dengan segala cintanya, memberimu atmosfer
kenyamanan tanpa perang seperti saudara diseberang. :’)
“MERDEKA!!”
seru Pak RT menutup sambutannya.
“Indonesia,
berjayalah!” lirihku mengaminkan. :’)
Sabtu, 17 Agustus 2013
0 comments:
Post a Comment