Rss Feed
  1. Tirakat, Si Pesta Rakyat

    Sunday, 25 August 2013


    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
    Pos Ronda, tersangka utama ritual tirakatan



                       Langit malam enam belas agustus dua ribu tiga belas di Surakarta.
                Bulan masih tenang dalam singgasanannya meski tanpa punggawa kerlip lintang. Alam dalam kesahajaannya, meramu biduk biduk semangat dalam dada rakyat Indonesia. Pukul dua belas malam nanti, Indonesia telah melenggang bebas selama enam puluh delapan tahun. Berekspresi dan berprestasi tanpa beban penjajah hingga dalam kancah dunia. Masih ada empat jam menuju dentang dua belas kali di jam dinding rumah. Masih ada empat jam menuju kenikmatan berikrar merdeka. Masih ada empat jam mengucap cinta pada Indonesia. Ya, masih berjam jam lagi, namun tidak untuk persiapan tujuh belas agustus esok. Empat minggu yang lalu, prosesi akbar penyambutan tujuh belas agustus ini telah berlangsung.
                Aneka lomba pengisi pra-tujuh belas agustus senantiasa menyemarakan bulan kemerdekaan. Dari gigit kerupuk hingga memasukkan benang dalam jarum. Berbalap karung juga panjat pinang. Semuanya terencana dalam bingkai rapat pemuda juga nasihat para tetua. Bukan untuk mencari pemenang, bukan pula menyaring kejuaraan. Semuanya hanya untuk satu hal, persatuan Indonesia. :’) dari semua latar belakang, membaur dan meleburkan cinta untuk Indonesia. Mencintai sepenuh hati, mengamalkan gotong royong juga keindahan interaksi sesama kaum Bunda Pertiwi.
    Jajaran Ibu Ibu dalam prosesi meyiapkan konsumsi
                Dan malam ini, dengan langit tanpa bintang namun tersapa sang rembulan. Saya menjadi saksi atas indahnya semangat persatuan. Indahnya sebuah peringatan kemerdekaan. Bersama Vio saya menuju daerah Joyotakan, dusun perbatasan kota Solo dan Sukoharjo. Meniatkan diri menyambung silaturahim dengan keluarga kakak perempuan saya. Dan saya dikejutkan dengan aneka kegiatan yang nampak tak sama dari biasanya.
                Sepanjang perjalanan menuju ke sana dari arah kampus Kentingan, saya menjumpai dua pasar malam. Dengan beberapa gubuk gubuk kecil berisi aneka produk dalam negeri yang terhiasi wajah berseri para pengunjungnya, saya melenggang penuh heran. Ada apa gerangan? Kenapa banyak pasar malam begini?
                Beberapa ratus meter mendekati daerah tujuan, saya menemukan hal yag serupa. Pasar malam, bahkan dengan sebuah panggung dan beberapa sound system serta penduduk yang ramai disekitarnya. Ini kenapa? Kok ramai sekali? Di Kebumen kok enggak ada? Haha
    Sesampainya di tempat tujuan, Subhanallah. Sepertinya memang saya melewatkan banyak hal selama ini. Empat semester di kota Solo belum juga mengajariku tentang ragam budaya Solo. Barulah saya mahfum dengan aneka peristiwa di luar kata biasa yang sedari tadi tersapa. Budaya penyambutan malam tujuh belas agustus di daerah Solo dan sekitarnya, tirakatan. Lain Kebumen (tepatnya desa Pagedangan, hehe dusun saya) lain Solo. Ternyata.
                Jika di Kebumen ada sedan yang dibagikan seusai upacara pagi tujuh belas agustus, maka  di Solo ada tirakatan yang memanjakan.
                Dulu, pagi tujuh belas agustus, saya selalu bersemangat jika berangkat upacara bendera di lapangan Gugus Depan sekolah dasar. Dengan sebotol air minum yang diselempangkan di bahu kanan, serenteng permen coklat, juga sekeping lima ratus rupiah di saku samping lalu tangan kanan sibuk mengibarkan bendera merah putih berbahan plastik yang terpasang di rautan bambu buatan Ibu sore kemarin. Saya dengan senyum lima centimeter berangkat bersama langkah penuh letupan semangat. Selain karena akan bertemu dengan aneka jajanan di area lapangan (di dekat barisan terbelakang) juga karena nanti seusai upacara akan ada pembagian sedan.
                Apa itu sedan? Bukan sejenis mobil, bukan sama sekali. Sedan merupakan bungkusan daun pisang yang berisi nasi berserta lauk pauknya. Sore tanggal enam belas agustus, Bapak Kaum desa saya mengetuk setiap pintu rumah. Mengamanahkan untuk membuat sedan per kepala keluarga, lalu dikumpulakn di kediaman beliau yang selanjutnya akan disetorkan ke Balai Desa. Yes, balai desa adalah muara semua sedan yang mengalir dari semua kepala kaluarga.
                Terbayang jelas ada kokok kepala ayam dengan bumbu sarden yang Ibu buatkan untuk saya subuh tadi. Bagian ternikmat dari ayam sebelum kaki dan dada ayam haha. Baiklah, sebenarnya apa yang dibuatkan Ibu belum tentu akan jatuh di tangan saya. Namun kata Ibu, ketika kita memberikan yang terbaik untuk orang lain, insya Allah kita juga akan mendapat yang terbaik. Meski itu bukan makanan mahal, namun Ibu memasaknya dengan cinta juga semangat merdeka yang membara. Bagaimana tidak dengan cinta, jika Ibu yang jarang masak makanan aneh aneh itu bangun sebelum si Jago berkokok. Menyiapkan makanan untuk sedan ini, membangunkanku untuk mengipasi nasi yang baru diangkat agar pulen dan enak dimakan. Ah Ibu, mengapa kamu selalu memiliki alasan membuat saya jatuh cinta. :)
                Tujuan yang sama namun berbeda cara. Kebumen Solo memang berbeda, tapi tetap satu. Indonesia Merdeka!
                Berbekal tawaran dari Ibu Kakak Perempuan saya, akhirnya saya bermalam disana.
                “Mbak Risa itu sepedanya (maksudnya Vio) dimasukin aja. Terus ikut tirakatan disini. Pulangnya besok pagi ya..!”
                Jadilah saya di sini. Di antara riunya ibu ibu yang membahas prosesi pasca hari ini. Dari kegiatan lomba agustusan hingga pembuatan gudangan siang tadi. Yups, menu tirakatan malam ini adalah gudangan (sayuran yang direbus lalu dicampur dengan parutan kelapa berbumbu dan ditaburi serpihan ikan asin goreng). Sebagai negara penuh sumber daya, dimana sebatang kayu dapat menjadi sumber karbohidrat nabati, maka menu gudangan menjadi sajian tepat untuk mensyukuri tahun ke enam puluh delapan ini dengan memanfaatkan tanaman yang hidup dari tanahnya. Parutan kelapa dengan bumbu aneka rempah asli Indonesia juga menambah cita rasa khas nusantara. Ahh malam merdeka ini, tirakat ini, mungkin inilah pesta rakyat sesungguhnya. Moment rakyat saling menyejahterakan bersama guyub rukun. Teriring lagu lagu gendhing jawa yang menguarkan aroma nasionalis, semua warga di setiap rukun tetangga berkumbul. Melingkar dan berjajar mengucap syukur atas nikmat kemerdekaan selama enam puluh delapan tahun.
                Dari sound system yang sederhana itu. Dari menu penggugah selera itu. Dari riuhnya masa itu. Dari hangatnya kebersamaan itu. Dari kembangan senyum senyum itu. Saya mengenal Indonesia kembali. Saya, menatap Bunda Pertiwi. Apapun yang terjadi dengan Indonesia saat ini, sungguh ia masih tanpa cela untuk saya. Ia masih nampak penuh sumber daya, baik alam maupun manusia.
                Jika pernah terluka sebab keberadaan disini, jika pernah meradang sebab lahirmu disini, jika pernah terkoyak disini, jika pernah asma disini, itu bukan karena Indonesia, tapi ulah manusia. Indonesia, dia masih setia mengalirkan mata air untukmu membasuh pahitnya masa lalu. Indonesia masih setia dengan tanahnya, memberimu ruang memulai pijakkan baru menata masa depan. Indonesia dengan segala cintanya, memberimu atmosfer kenyamanan tanpa perang seperti saudara diseberang. :’)
    “MERDEKA!!” seru Pak RT menutup sambutannya.
    “Indonesia, berjayalah!” lirihku mengaminkan. :’)
                                                                                                                          Sabtu, 17 Agustus 2013

  2. 0 comments: