Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Apa jadinya jika dua pemulung
kenangan dan rawan galau bertemu?
Proses penerjangan hujan dan
pemesanan menu makanan dengan semangat berlebihan, ya itu kenyataan, tentang
dua perempuan di senin malam.
^O^
Hari terlampau dini untuk menjemput
kegalauan, sebab beranda memaparkan luka. Saya galau semenjak pagi buta. Haha
enggan menularkan kegalauan, saya hanya mampu bercanda berlebihan. Menguburnya
dalam dalam berharap tak ketahuan.
“Ris, ke hotplate yuk!”
“Haha ciee yang kangen sama mas mas
kasirnya!haha.”
“Enak aja, kamu lagi galau kan?”
selidiknya dengan tatap tajam. “Daripada galau mending ke hotplate yuk. Terus pulangnya
ke kentingan bareng aku tapi kamu depan hehe.”
“Haha aku enggak galau yoo!” elakku.
“Halah bilang aja mau diboncengin aku!haha”
“Sak sakmu to Ris. Aku ki paham kamu
og! Kakehan ngguyu untuk menghibur diri.”
“Hehe yaudah nanti ya kak pulang
kuliah!”
^O^
“Dua mie mangkok pangsit, satu bakso
hotplate, sama es teh tiga ya mas!” pesanku pada waiters.
Menghabiskannya dalam nikmat
cengkrama tak menggagas deraan galau. Haha mereka sukses membuat saya lupa
rasa, meski sempat diingatkan beberapa kali melalui sumbang klakson tetangga
jalan. Dan siang itu menjadi sangat manis, dengan awan tanpa hujan yang
memayungi kepulangan kami dari kedai piring panas itu. Menyampaikan bahwa meski
awan kadang singgah, warna langit tetap biru. Tetap merdeka.
Teriring hujan kecil yang menjelma
beberapa meter sesudah kampung laweyan, kami bersama mengenakan kain pelindung
bernama mantol. Menjadi sepasang alien dari planet Venus, sebab sampai slamet
riyadi tak ada setetespun air yang jatuh haha pandai nian Tuhan membuat kami
terbahak sebab dijebak hujan sesaat.
Dan dalam cengkramanya, melalui
candanya, lewat tawanya, saya merasa disayanginya. :”) Terima kasih kak :”)
Saya terharu atas pemahamannya hari ini. Terima kasih untuk menunjukkan sayang
yang mampu saya cerna yang sederhana. Bahwa sayang itu sederhana, semangkuk
menu, cerita berbumbu canda dan syukur. :”)
^O^
Sepertinya hujan yang siang yang
tertunda siang tadi resmi meluruskan niatnya untuk tumpah dimalam hari. Nyaris membasahi
kami yang hendak pergi. Menggarap SPJ dan menyusun Proposal, juga mengabaikan
luka hati.
“Main yok!” ajaknya seketika.
“Haha ayok!” trimaku tanpa pikir
panjang.
Seusai makan malam dengan masakan
ibu tercinta lalu membiaskan foto foto perjalanan dalam selembar kertas, kami
mengerjar waktu agar tak tertabrak hujan. Memacu kuda besi bersamaan dengan
kilat yang sudah mulai menerangi langit.
“Jadi main kan?!”
“Haha iya kak. Tapi kamu enggak papa
hujan hujanan?”
“Ora popo, kan akyu syehat! Haha ada
mantol di jok!”
“Aku Cuma enggak mau kamu sakit. Aku
kan sayang kamu kak!”
“Haha ora popo yo aku, penting yo
pakai mantol kata mamas enggak papa.” Ucapnya dengan gaya sok kece.
“Yowes, ayok!”
"Ke Wong Caffe ya!"
"Yuk!"
Benarlah, ketika dua perempuan galau
yang terjadi ialah penerjangan hujan dan pembalut kenangan. Di depan tenang
mengenang mantan, di belakang sibuk memupuk harapan. Aih perempuan! Meluncurlah
kami menuju jalan Garuda Mas 1B, menuju kedai makan dengan menu andalan kue
bolong tengah. Membiarkan kubangan kubangan kenangan membasahi alam fikir.
“Mau diatas apa dibawah mba?” tawar
karyawan kedai untuk tempat menikmati menu pesanan.
“Atas saja mas!” jawab kami
serempak.
“Lewat dalam saja mba, tangga diluar
licin soalnya!” jelasnya dengan mengarahkan pada deretan tangga menuju lantai
dua.
Temaram, dan manis. Dua kata pertama
yang melintas begitu sampai disana. Manis dengan bangku dan karpet lesehan, di padu
dengan kursi kursi tanpa lengan dipinggir balkon menghadap jalan menatap atap. Lalu
penerangan yang remang, seolah lilin yang terbakar, terlampau indah dilewatkan
sendiri, mendapat bonus hujan. Sungguh, ini malam termanis.
“Choco Dark Donuts, Onion, pisang
bakar coklat keju, milkshake bubble gum dan vanilla!” pesannya pada karyawan
kedai.
“Yes!”
Tak lama kemudian, Tuhan dengan
murahnya memutarkan dendang Payung Teduh melalui intuisi karyawan memilihkan
lagu tanpa kami meminta. Iringan melodi bersajak manis itupun kian membuat
malam ini manis, semoga tidak mengundang diabetes (soalnya manis banget sih).
“Free donat buat para ladies tiap
hari senin untuk promo Women’s Day!!” ucap mas karyawan dengan senyum terlatih.
Menambahkan sebulat strawberry donuts, dan vanilla dimeja kami. Sempurnalah malam
ini kami mabuk donat bercampur kenangan. Haha.
Suara kami mengudara, mencemari
seisi lantai dua dengan gema berdua. Terisi kisah kasih masa lalu,
kepatahatian, harapan, organisasi, kuliah, masa depan, masakan, perempuan, juga
dendangan lagu bersama sama. Tiba tiba Payung Teduh menjadi sangat
difavoritkan.
Saya menuju balkon, tempat para
kursi berjajar rapi, duduk di kursi terdekat dengan tangga. Menopang dagu,
memeluk kenang, dan menyusun harap bersama jatuhnya hujan. Merapal doa bersama
kecipak air di atap kedai. Dan dia masih sibuk memulung kenangan diberanda
sosial media, menyusun langkah untuk berpindah bertahap.
“Hujan kali ini rasa vanilla!”
lirihku.
“Segelas vanilla sudah habis mengisi
lambung kini. Gerimis sudah tak lagi deras tadi, begitupun gelombang yang tercampur
senyawa galau pagi ini.”
Ya, saya memang masih tidak menyukai
konsep “menjauh untuk menjaga.” Terlalu menyedihkan dan akan tetap menyedihkan.
Hanya saja sekarang memang diharuskan demikian, dan ini bukan tentang pemaksaan
namun keikhlasan. Tentang mentari yang menyayangi bumi dengan jaraknya. Seperti
janji saya sejak awal, ingin menjaganya dengan cara yang tidak membuatnya
tergenggam jerat manja, namun berusaha menjaganya dalam jarak yang bersahaja. Dia
sudah memudahkan untuk itu, dan saya? bukankah sudah seharusnya menerima itu. :”)
Hujan rasa vanila yang menjaga
mentari tetap bersahaja. :”) #semoga
^O^
Piring piring itu telah kehilangan
isinya, begitu juga dua gelas milkshake itu. Dan dua perempuan itu pun sama,
kehilangan galau yang melanda sejak langkah pertama kesana. Kembali kerumah
untuk dua amanah yang menanti. Enam berkas SPJ, dan sebuah proposal pentas bayangan.
:”) dua perempuan itu telah saling menguatkan rupanya.
0 comments:
Post a Comment