Rss Feed
  1. Perempuan Tegar itu Kamu :)

    Sunday, 17 November 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Kamis, 07 November 2013
                Betapa terkadang KEPO itu sangat membantu , kepedulian dalam kadar tak biasa yang kadang memang dibutuhkan. Entah sejak kapan saya memiliki sifat ini. Seolah ingin tahu banyak hal tentang mereka yang ada disekitar saya. Bukan, sungguh bukan untuk membangun prasangka. Ini tentang cinta yang saya jaga dengan sahajanya. Saya ingin mencari tahu kabar tentang mereka. Mencoba ada jika memang mereka membutuhkannya. Memastikan keberadaan mereka baik baik saja. Ya, terkadang semata sebab ingin tahu meski lebih sering sebab saya rindu hehe. Dan malam selalu menemani saya menjaring kabar tentang mereka. Rekan diseberang, sahabat dirumah, rekan pena, teman perjalanan, atau keluarga tercinta. Ku tengok mereka diberanda media sebisanya.
                “Hi Mom :) . Would you like to come to my dream tonight? I just miss you so. And I need you now. :)” begitu tulisnya. Menekan tanda jempol, lalu mengetikkan beberapa karakter.
                “*peluk jauhhh* aku sayang kamu kak :*” begitu tulis saya pada kolom komentar.
                Kesok-tahuan saya berbisik, dia membutuhkan hangat peluk juga bahu sandar. Melalui komentar itu saya mencoba berkata, “tenang kak, aku disini!”. Hmm betapa terkadang kalimat ‘ada’ selalu lebih melegakan dibanding ‘kenapa?’. Bahwa terkadang ‘ada disini’ lebih menguatkan dibanding ‘ada apa?’ Menyediakan telinga yang barangkali ingin ia gunakan saat ingin bicara, didengar saat lisan mengudarakan rasa. Memang sapi tetanggapun memiliki telinga,  namun hanya sesama manusialah yang mampu benar benar saling ada. Insya Allah.
    ^O^
                Seusai rapat koordinasi kami melenggang menuju masjid kampus. Masjid termewah yang pernah saya lihat dengan kasat mata. Menggugurkan tiga rekaat di jingganya cakrawala, magrib yang manis. Masih dengan mukena menyelimut, kami mulai bercakap.
                “Ris, nunggu isya sekalian ya!” ajaknya dengan tatap penuh cerita.
                “Iya kak!”
                Diantara jamaah masjid yang masih bertebaran menui sujud magrib. Diantara sejuknya udara masjid. Diantara dua mukena dan dua lantai mengkilap, kami mulai saling berbicara. Dari hati ke hati sesama saudari.
    ^O^
                Kehilangan dan kepasrahan juga ketegaran. Itu yang dia tuturkan. Kehilangan sosok tercinta, sosok yang masih sangat dibutuhkannya. Sosok yang seharusnya masih menemaninya menjadi dewasa. Sosok yang dia harapkan selalu bisa ditemui seusai beraktivitas luar. Sosok yang mampu membuatnya untuk tak pernah lupa pulang. Sosok yang selalu sedia dua puluh empat jam untuknya. Sosok pahlawan nyata yang bersemanyam di hati sejak sebelum bayi. Ibu. bagaimana rasa kehilangan sosok ibu tercinta ?!
                “Aku seperti pincang. Ya, aku memang masih bisa berjalan, tapi tidak seperti manusia lainnya. Ada yang kurang. Tak tepat. Salah. Tak wajar. Aku merasa esensi hidupku tuh hilang. Menguap entah kemana, dan aku sadar tapi enggak tahu bertindak realnya.”
                Bagaimana bisa hidup tanpa kebutuhan? Dengan memeluk keterbatasan dan bertahan dengan keadaan kah? Ya, itu benar. Tepat untuk sebuah teori, sayang dalam tindak penuh onak duri. Saya memang tak pernah merasakan dalam posisinya, dalam hal kehilangan seorang Ibu (semoga tidak pernah) namun saya pernah kehilangan rekan rekan tersayang. Kehilangan selalu memberi dampak serupa ketika hati belum siap menerima kata ‘kehilangan’, kepatah hatian yang pahit. Terlebih jika hilang itu hadir tanpa Aba. Ketika pagi masih ada, namun malam tiada. Membuahkan dera luka yang menyiksa.
    ^O^
                “Aku tuh bukan orang yang gampang menunjukkan kalau aku lagi down. Jujur, pas nulis kaya gitupun aku udah mikir berulang kali. Mikir kalau mbakku baca, temen temenku baca. Keliatan banget kalau aku lagi down, dan aku enggak mau dikasihani karena itu. Tapi disisi lain, aku juga pengen mereka paham kalau aku juga manusia. Senormal normalnya manusia, dan sekarang saya sedang butuh  dia. Sungguh, bukan maksud aku tak mensyukuri hidup aku yang sekarang, tapi perasaan kaya gini itu susah buat dihindari. Pertanyaan pertanyaan retoris yang tiba tiba bersliweran. Kenapa harus aku? Kenapa harus beliau? Kenapa secepat itu? Kenapa tanpa tanda? Kenapa hari itu juga?! Dan semua kenapa kenapa yang sebenarnya sudah tau aku jawabannya.”
                Kami masih hening berbincang. Mendengar penuturannya.
                “Sebab Allah percaya kak sama kamu. Percaya kalau kamu itu kuat! Dan aku juga enggak pernah ngelarang kamu buat nangis atau ngerasa ammm gundah kaya gini. Perasaan perasaan galau kaya gitu barangkali salah satu cara Dia buat mendekatkan manusia sama penciptanya, juga mengingatkan manusia untuk berbagi lara. Aku enggak apa apa kalau kamu mau cerita. Insya Allah siap menyediakan telinga kak. :”)”
                “Hmm Iya Ris, kadang aku sok menghibur diri sendiri dengan pernyataan pernyataan gitu. Bahwa aku kuat, bahwa aku bisa. Dan jujur semester ini kayaknya aku emang kehilangan kebiasaan kebiasaan yang dulu sering aku lakuin. Hal hal yang membuat aku deket saya Dia. Mushafku tak sesering dulu, yasinan juga belum tentu seminggu sekali. Parahnya aku sadar Ris sama semua itu. Sadar kalau apa yang aku lakuian itu ada yang kurang, tapi pada akhirnya malah membuat aksioma gitu. Seolah olah membenarkan apa yang aku lakuin.”
                “Manusiawi. Eia kak, pernah curhat curhatan bareng gitu enggak sama keluarga?”
                “Kita ya Ris. Satu keluarga, tapi enggak pernah yang namanya duduk melingkar dan berbagi luka. Kalau ngumpul ya cerita tentang bahagia. Momen momen bareng beliau yang sering mengundang tawa. Intinya kami enggak mau cerita tentang duka diri yang barangkali mengundang akan mengundang duka yang lain. Kami ingin tegar dihadapan satu sama lain, biar tegar semua. Kata kamu semangat itu menular kan Ris? Sama kaya gitu.”
                Saya tak banyak bicara setelah itu. Sadar bahwa dia hanya membutuhkan ruang sujud lebih lama. Ruang dengar lebih peka. Dan ruang rasa penuh cinta. Saya hanya duduk dan memendekkan jarak. Memastikan bahwa saya ada.
                “Ris, abis shalat kamu tolong ya handle anak anak dulu. Aku tak disini. Jam sembilanan kita pulang.”
                “Insya Allah kak!” teriring anggukan dan senyum mengembang.
                Adzan isya berkumandang. Menyudahi cengkrama kami, mengijinkan kami menuai sujud dalam ramainya jamaah malam.
    ^O^
                “Selamat menikmati buncahan rindu bersama mushaf yang menghangatkan kak.” Pamitku seusai melipat mukena. Menuruni anak anak tangga dan menuai syukur tak terhingga.
                Bahwa sejatinya, ketika manusia penuh sandaran itu tiada, Allah telah menyediakan alas untuk bersujud. :”) Bahwa jarak penat dan lapang itu sebatas kening dan sajadah. :”) Bahwa Allah selalu menitipkan limpahan hikmah dalam musibah. :”)
                Saya selalu percaya kamu kuat Kak :”) dan kuat bukan berati tidak butuh orang lain. Insya Allah saya akan berusaha ada :”)
     

  2. 0 comments: