Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Kamis,
07 November 2013
Betapa terkadang KEPO itu sangat
membantu , kepedulian dalam kadar tak biasa yang kadang memang dibutuhkan.
Entah sejak kapan saya memiliki sifat ini. Seolah ingin tahu banyak hal tentang
mereka yang ada disekitar saya. Bukan, sungguh bukan untuk membangun prasangka.
Ini tentang cinta yang saya jaga dengan sahajanya. Saya ingin mencari tahu
kabar tentang mereka. Mencoba ada jika memang mereka membutuhkannya. Memastikan
keberadaan mereka baik baik saja. Ya, terkadang semata sebab ingin tahu meski
lebih sering sebab saya rindu hehe. Dan malam selalu menemani saya menjaring
kabar tentang mereka. Rekan diseberang, sahabat dirumah, rekan pena, teman
perjalanan, atau keluarga tercinta. Ku tengok mereka diberanda media sebisanya.
“Hi Mom :) .
Would you like to come to my dream tonight? I just miss you so. And I need you
now. :)”
begitu tulisnya. Menekan tanda jempol, lalu mengetikkan beberapa karakter.
“*peluk jauhhh* aku sayang kamu kak
:*” begitu tulis saya pada kolom komentar.
Kesok-tahuan saya berbisik, dia
membutuhkan hangat peluk juga bahu sandar. Melalui komentar itu saya mencoba
berkata, “tenang kak, aku disini!”. Hmm betapa terkadang kalimat ‘ada’ selalu
lebih melegakan dibanding ‘kenapa?’. Bahwa terkadang ‘ada disini’ lebih menguatkan
dibanding ‘ada apa?’ Menyediakan telinga yang barangkali ingin ia gunakan saat
ingin bicara, didengar saat lisan mengudarakan rasa. Memang sapi tetanggapun
memiliki telinga, namun hanya sesama
manusialah yang mampu benar benar saling ada. Insya Allah.
^O^
Seusai rapat koordinasi kami
melenggang menuju masjid kampus. Masjid termewah yang pernah saya lihat dengan
kasat mata. Menggugurkan tiga rekaat di jingganya cakrawala, magrib yang manis.
Masih dengan mukena menyelimut, kami mulai bercakap.
“Ris, nunggu isya sekalian ya!”
ajaknya dengan tatap penuh cerita.
“Iya kak!”
Diantara jamaah masjid yang masih
bertebaran menui sujud magrib. Diantara sejuknya udara masjid. Diantara dua
mukena dan dua lantai mengkilap, kami mulai saling berbicara. Dari hati ke hati
sesama saudari.
^O^
Kehilangan dan kepasrahan juga
ketegaran. Itu yang dia tuturkan. Kehilangan sosok tercinta, sosok yang masih
sangat dibutuhkannya. Sosok yang seharusnya masih menemaninya menjadi dewasa.
Sosok yang dia harapkan selalu bisa ditemui seusai beraktivitas luar. Sosok
yang mampu membuatnya untuk tak pernah lupa pulang. Sosok yang selalu sedia dua
puluh empat jam untuknya. Sosok pahlawan nyata yang bersemanyam di hati sejak
sebelum bayi. Ibu. bagaimana rasa kehilangan sosok ibu tercinta ?!
“Aku seperti pincang. Ya, aku memang
masih bisa berjalan, tapi tidak seperti manusia lainnya. Ada yang kurang. Tak
tepat. Salah. Tak wajar. Aku merasa esensi hidupku tuh hilang. Menguap entah
kemana, dan aku sadar tapi enggak tahu bertindak realnya.”
Bagaimana bisa hidup tanpa
kebutuhan? Dengan memeluk keterbatasan dan bertahan dengan keadaan kah? Ya, itu
benar. Tepat untuk sebuah teori, sayang dalam tindak penuh onak duri. Saya
memang tak pernah merasakan dalam posisinya, dalam hal kehilangan seorang Ibu
(semoga tidak pernah) namun saya pernah kehilangan rekan rekan tersayang.
Kehilangan selalu memberi dampak serupa ketika hati belum siap menerima kata
‘kehilangan’, kepatah hatian yang pahit. Terlebih jika hilang itu hadir tanpa
Aba. Ketika pagi masih ada, namun malam tiada. Membuahkan dera luka yang
menyiksa.
^O^
“Aku tuh bukan orang yang gampang
menunjukkan kalau aku lagi down. Jujur, pas nulis kaya gitupun aku udah mikir
berulang kali. Mikir kalau mbakku baca, temen temenku baca. Keliatan banget
kalau aku lagi down, dan aku enggak mau dikasihani karena itu. Tapi disisi
lain, aku juga pengen mereka paham kalau aku juga manusia. Senormal normalnya
manusia, dan sekarang saya sedang butuh dia. Sungguh, bukan maksud aku tak mensyukuri
hidup aku yang sekarang, tapi perasaan kaya gini itu susah buat dihindari.
Pertanyaan pertanyaan retoris yang tiba tiba bersliweran. Kenapa harus aku?
Kenapa harus beliau? Kenapa secepat itu? Kenapa tanpa tanda? Kenapa hari itu
juga?! Dan semua kenapa kenapa yang sebenarnya sudah tau aku jawabannya.”
Kami masih hening berbincang. Mendengar
penuturannya.
“Sebab Allah percaya kak sama kamu.
Percaya kalau kamu itu kuat! Dan aku juga enggak pernah ngelarang kamu buat
nangis atau ngerasa ammm gundah kaya gini. Perasaan perasaan galau kaya gitu
barangkali salah satu cara Dia buat mendekatkan manusia sama penciptanya, juga
mengingatkan manusia untuk berbagi lara. Aku enggak apa apa kalau kamu mau
cerita. Insya Allah siap menyediakan telinga kak. :”)”
“Hmm Iya Ris, kadang aku sok
menghibur diri sendiri dengan pernyataan pernyataan gitu. Bahwa aku kuat, bahwa
aku bisa. Dan jujur semester ini kayaknya aku emang kehilangan kebiasaan
kebiasaan yang dulu sering aku lakuin. Hal hal yang membuat aku deket saya Dia.
Mushafku tak sesering dulu, yasinan juga belum tentu seminggu sekali. Parahnya
aku sadar Ris sama semua itu. Sadar kalau apa yang aku lakuian itu ada yang
kurang, tapi pada akhirnya malah membuat aksioma gitu. Seolah olah membenarkan
apa yang aku lakuin.”
“Manusiawi. Eia kak, pernah curhat
curhatan bareng gitu enggak sama keluarga?”
“Kita ya Ris. Satu keluarga, tapi
enggak pernah yang namanya duduk melingkar dan berbagi luka. Kalau ngumpul ya
cerita tentang bahagia. Momen momen bareng beliau yang sering mengundang tawa.
Intinya kami enggak mau cerita tentang duka diri yang barangkali mengundang
akan mengundang duka yang lain. Kami ingin tegar dihadapan satu sama lain, biar
tegar semua. Kata kamu semangat itu menular kan Ris? Sama kaya gitu.”
Saya tak banyak bicara setelah itu. Sadar
bahwa dia hanya membutuhkan ruang sujud lebih lama. Ruang dengar lebih peka. Dan
ruang rasa penuh cinta. Saya hanya duduk dan memendekkan jarak. Memastikan bahwa
saya ada.
“Ris, abis shalat kamu tolong ya
handle anak anak dulu. Aku tak disini. Jam sembilanan kita pulang.”
“Insya Allah kak!” teriring anggukan
dan senyum mengembang.
Adzan isya berkumandang. Menyudahi cengkrama
kami, mengijinkan kami menuai sujud dalam ramainya jamaah malam.
^O^
“Selamat menikmati buncahan rindu
bersama mushaf yang menghangatkan kak.” Pamitku seusai melipat mukena. Menuruni
anak anak tangga dan menuai syukur tak terhingga.
Bahwa sejatinya, ketika manusia penuh sandaran itu tiada,
Allah telah menyediakan alas untuk bersujud. :”) Bahwa jarak penat dan lapang
itu sebatas kening dan sajadah. :”) Bahwa Allah selalu menitipkan limpahan
hikmah dalam musibah. :”)
Saya selalu percaya kamu kuat Kak :”) dan kuat bukan
berati tidak butuh orang lain. Insya Allah saya akan berusaha ada :”)
0 comments:
Post a Comment