Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Minggu, 03 Nopember 2013
![]() |
footage.shutterstock.com |
Tiba tiba nyanyian gerimis terdengar
sangat sumbang meski tanpa petir juga guntur. Ada mendung mengudara bebas
dilangit malam. Menutupi bintang yang telah sedia bersinar.
“Ra. Aku bete sama dia !” seruku
mengudara.
“Haha bete kenapa? Di cuekin lagi
pas kamu lagi kangen kangennya sama dia?”
“Ih aku kangen?!? ENGGAK NARA! AKU
enggak kangen sama sekali sama makhluk super duber nyebelin itu!”
“Hla terus kenape sewot gitu? Bukan harusnya bahagia ya? Udah
berhasil ngepoin dia pake modem aku. Terus udah pamerin hasil didikan sore tadi
kan?!”
“Nah itu Ra. Aku dibilang Lebay
malah! Aku kan bete. Dia enggak apresiatif banget sama karya aku! Bilang
makasih aja enggak. Padahal Ra, kalaupun dia ngetawain juga enggak papa. Bilang
kek hahaha wagu dek. Atau hahaha enggak mirip dek. Haha lucu dek. Atau apa gitu
kurang alus kek apa kek arrrrghhh!! Dia nyebelin!Titik !!”
“Haha yah gitu aja ngambek sih Ris.
Ayolah, kamu kan yang bilang sendiri kalau dia bukan tipe manusia yang mudah
menyatakan rasa. Mungkin melihat kamu yang sebegitu ekspresifnya jadi nampak
berlebihan. Hehe sebagai sesama cowok aku sih paham. Haha”
“Jadi kamu sepakat sama dia?! Kalau
aku berlebihan dan salah gitu?!”
“Bukan gitu Ris. Haduh ini kenapa
aku juga kena marah juga!” ucapnya menggaruk kepala yang tidak gatal, “Bukan
masalah benar atau salahnya Risa Sayang. Ini amm tentang cara mengungkapkan
rasa saja!”
“Tau ah! Saya sudah sangat terlanjur
sedih dan bad mood!”
“Gerimisnya cantik ya Ris!”
Saya merubah arah pandang. Menatap
gerimis yang membungkus udara sedari tadi. Gerimis yang terabaikan oleh bara
amarah. “Iya Ra. Cantik!” seruku.
“Subhanallah!” celetuknya.
“Eh Bentar? Kamu sedang berusaha
mengalihkan amarah ku ya?!” tanyaku dengan pandang tajam. “NGAKU RA!”
“hehehe!”
“Ihhhhh Nara! Aku tuh lagi marah!
Udah deh, jangan ikut ikutan menyulut emosi!”
“Kamu lagi PMS ta?”
“Enggak!”
“Kamu lagi bete ya?”
“Udah tau nanya lagi!”
“Kamu jelek tau kalau bete bete
gitu!”
“Biarin!”
“Manyun gitu!”
“Biarin!”
“Jelek!”
“Biarin!”
“Jelek!”
“Ihhh Nara, sanalah pergi. Kamu tuh
sama aja kaya dia. Bikin bete!”
“Haha tapi kayaknya tampan aku deh!”
“Ih kata siapa! Dia kemana mana
lagi!”
“Jadi? Dia tampan apa nyebelin? Apa
ngangenin?” Godanya dengan tampang tanpa dosa.
“Errrrhhh! Ih tuh kan! Kalian jangan
jangan sekongkol ya buat aku bete?!” Saya salah tingkah.
“Ris, sehat enggak sih!? Kamu kan
belum jadi ngenalin aku sama dia! Hmm.”
“Hmmm iya lupa. Tapi kalian itu
nyebelin.”
“Iya, kami adalah dua pria tampan
yang menyebalkan dimatamu kan?!”
“Dua pria menyebalkan yang tidak
tampan!”
“Haahha kamu lucu Ris!”
“Hmm aku bete!”
“Jadi inget pas SD dulu. Haha”
“Ih SD? Males banget!”
“Males ngapain?”
“Males nginget ngingetnya lah!”
“Haha padahal kamu itu dulu kalau
bete sama siapa gitu mesti terus corat coret enggak jelas dibuku. Terus kertas
yang udah dicorat coret kamu sobek, diremas trus lempar sama tersangkanya.
Haha”
“Haha dan seringnya kamu yang jadi
obyeknya. Haha kamu kan sering banget buat aku bete gara gara sering ngalahin
aku pas lomba lari.” Timpalku segera.
“Haha terus kamu juga kalau jam
istirahat kedua pasti jadi kaya orang setengah waras. Duduk dipojok paling
belakang, terus ketawa ketawa sendiri. Bolak balik baca kisahnya Bona, si Gajah
Berbelalai Panjang. Komik seri di Majalah Bobo gitu!”
“Hahaha iya, padahal kamu udah
ngantri mau pinjem juga kan? Mau baca kisahnya Oki sama Nirmala gitu!”
“Haahha iya. Terus inget kan kalau
pas kita disuruh bawa gelas ke sekolah. Buat Pembagian segelas susu dari
sekolah, kita mesti join satu gelas. Gelas besar yang dibawain Ibuku sama
seplastik coklat bubuk. Kita kan sama sama enggak suka susu putih!”
“Haha iya, kalau enggak susu campur
coklat bubuk. Kadang kita bawanya malah kopi.”
“Haha iya, biar enggak ngantuk
nantinya.”
“Haha terus kalau pulang sekolah dan
rumah kamu kosong pasti langsung kabur ke rumahku. Numpang makan gitu hahaha
mana makannya banyak lagi. Haha.”
“Ih biarin sih, orang budhe aja
seneng kok. Hweee! Teruskan abis itu kita manjat pohon mangga depan rumah kamu
yang pas itu kebetulan lagi buah. Haha!”
“Haha iya Ris, dan gara gara
kebiasaan manjat manjat pohon gitu kamu jadi ngasih nama aku Wanara gitu kan?!”
“Haha iya, Si Monyet!”
“Haha kelinci!”
“Haha iya. Kita cerdas ya Ra, dulu !”
“Katanya kamu enggak inget?!” tiba
tiba alisnya terpaut. Menaikannya tiga kali. Memasang wajah sangsi.
“EH?!” Deg! Saya tertangkap basah
masih mengenang masa merah putih itu. Masa yang terlampau indah untuk dilupa.
“Nah gitu. Udahan marahnya.”
“Hehe iya Ra makasih.”
“Iya sama sama Ris!”
“Risa sayang Nara!”
“Nara tapi enggak sayang Risa.
Haha!”
“Haha biarin!”
“Jadi seperti apa dia?” tanyanya
tiba tiba. Seolah paham bahwa membicarakan seorang yang dirindu akan sedikit
mengobati malarindu itu, terlebih jika yang dirindu tak pernah tahu.
“Dia itu kaya nasi goreng komplit
favorit aku Ra. Spesial pake telor gitu haha!”
“Hwah enak dong?”
“Kadang kepedesan gitu si. Dia juga
kaya secangkir cafein gitu.”
“Eh kok?”
“Iya, kalau inget dia lagi ikhtiar
gitu. Aku juga jadi betah melek. Enggak mau nyia nyian waktu buat sekedar tidur
siang. Hmm kalau inget dia juga lagi cape, kesana kesini entah job atau
komunitas. Aku juga enggak mau kalah, pokoknya aku itu refleksinya dia dalam
versi yang lebih imut. Hehe”
“Haha Dasar Penulis!”
“Haha Dasar Bukan Pujangga!”
“Kalau kamu refleksinya dia. Apa dia
juga sebawel kamu?”
“Errghh itu amm dia itu pendiem Ra.
Ya engga tau si kalau sama temen temennya, tapi pas sama aku dia masih banyak
diemnya. Hmm apa aku enggak nyambung ya ngobrol sama dia? Apa kenapa ya Ra?”
“Menurut aku si wajar Ris.
Intensitas kalian bertemu kan jarang ya, kalau ketemu masih diem karena nervous
si wajar aja. Kalau enggak nyambung mana mau sama kamu. Haha salah satu hal
penting ketika seorang lelaki memilih perempuan adalah nyambung diajak ngobrol.
Terus yang bisa meyakinkan bahwa mimpi mimpinya mampu terwujud, bukan
menghalangi sambil bilang enggak mungkin.Hehe itu sih menurutku Ris. Menurutku
hlo ya”
“Hmm kadang aku ngrasa aku enggak
nyambung gitu sama dia Ra. Apalagi kalau udah enggak ada kabar sama sekali. Apa
yang mesti aku bahas. Kabar? Basi banget kayaknya. Agenda dia? Juga kadaluarsa.
Makanya aku sok sokan belajar grafis yah paling enggak ada satu bidang yang aku
kuasai meski jauuuuuh banget dibawahnya dia.”
“Dia enggak nuntut kamu buat merubah
diri kamu kan?!”
“Enggak lah Ra. Dia itu pernah
bilang, sedang berusaha menerima karakter aku yang amm ya berlebihan gini.
Karakter aku yang masih labil katanya. Ya, dia sok dewasa gitu kadang.
Haha” Ada jeda hening, sesuatu itu
melintas seketika. “Ra?Kok Diem?!...”
“Hehe enggak papa kok. Kan udah jelas
Ris, dia sayang sama kamu, Cuma ya dia itu terlalu cerdas si nyimpennya. Haha
sabar aja si!”
“Hmm aku Cuma pengen jadi seorang
pertama yang tau kabarnya dia, bukan malah jadi orang kadaluarsa. Apa itu juga
berlebihan Ra?”
“Buat kamu mungkin wajar, tapi buat
dia?! kamu nyoba pake perspektifnya dia Ris.”
“Hmm iya, bakal enggak nyaman banget
si kalau dikit dikit lapor, tapi bukan yang tiap menit harus lapor gitu kok.
Lagian aku kan bukan satpam 24jamnya dia. Ya paling enggak berbagi hal hal yang
buat dia ngerasa itu beban. Eh bentar, jangan jangan ngabarin aku udah jadi beban
buat dia?!”
“Ris! Plis, dia Cuma lagi minta kamu
buat nunggu. Bukannya kamu cerita ya tanggal tujuh belas kalian ada janji?”
“Hmm iya Ra. Insya Allah si gitu.”
“Yaudah, simple kan?! Tunggu sampai
tanggal tujuh belas. Dan udah. Kalian punya waktu buat ngobrol banyak tanpa
jarak.”
“Hmm masih lama Ra itu. Dan itu juga
kalau keburu enggak ada agenda dia atau akunya.”
“Bentar kok, dua minggu lagi. Cuma
dua minggu! Dan kamu enggak boleh pesimis gitu dong! Ucapan sebagian dari doa
hlo yaa!”
“Hmmm iya Ra!”
“Nethinknya diilangin Ris. Dengan dia menyediakan sehari diantara
agenda agendanya yang padat merayap itu. Itulah bukti nyata kalau dia juga
sebenarnya rindu Haha Cuma ya itu, dia mengemasnya dengan lebih berwibawa
sedangkan kamu mengemasnya versi manja haha.”
“Hmmm terusin aja Ra. Aku enggak
marah kok!” kalemku pura pura.
“Hahha enggak ah aku kan cowok
tampan yang baik hati!”
“Haha malesin!”
“Eh martabaknya dimakan dong.
Dinginkan ini didiemin!” ucapnya mengalihkan pandang.
“Eh iya, ya ampun martabak kacang
coklat tersayang udah dingin deh!”
“Abisin tuh, udah dibawain juga!
Haha”
“Iyeee. Makasih ya Bang Nara!”
“Sama sama Dik Risa!”
^O^
Saya membenarkan letak kacamata yang
melorot sebab hidung tak pandai menahannya. Hmm potongan martabak kacang coklat
itu termamah bersama sugesti dari rekan tersayang disamping saya. Rekan
satu bangku semasa merah putih. Terima Kasih Bang :D
0 comments:
Post a Comment