Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Selasa,
29 Oktober 2013
Sebuah surat delegasi menjadi tiket
resmi saya menyelami danau itu. Danau kenangan yang terisi riak masa lalu,
tentangmu, tentang kita, tentang hujan, tentang ayunan, tentang masa seragam
berenda itu. :”) Tentang semua yang pernah kita jamah.
^O^
Bus berlabel “Rukun Sayur” tiba di
TKP tepat pukul 08.27 WIB (kira kira sih). Lima puluh enam peserta Pendidikan
Karakter tumpah dipelataran Pondok Sari I. Merajai jalan diantara bus bus yang
saling bersenggama ditrotoar jalan. Dan di sana, arah jam dua dari gerbang
masuk, sebuah benda anakan dari Bandul Sederhana cetusan Galileo Galilei, benda
berayun dengan tempan duduk yang turut berayun didasarnya. Ya sebut saja
Ayunan. :D Saya berlari ke arahnya. Serupa besi yang tersengat ujung magnet,
tanpa peduli tatapan “iiieuuuhh!” atau “Ih apa apan sih?” juga “Anak Kecil!”
haha kupangkas pandang itu bersama kecuekan luar biasa. :D
Dan diantara kepasrahan benda
berbahan besi itu, diantara terjangan udara yang mengayun, dengan tatap
sembarang, saya menangkap seorang. Seorang dengan rupa sama denganmu. Seorang
dengan dua taring yang muncul disela senyuman. Seorang yang beberapa kedepan
nanti sepertinya menyita perhatian. Ya, sepertinya demikian.
^O^
Nyata memang. Ruang pandang saya
sesekali tertarik pada sosoknya. Di sela riuhnya permainan dari moderator. Si
sela hujan makna dari pembicara. Di sela bahana tepuk tangan di udara, saya
mencuri sempat menatapnya. Sial, saya terbohongi. Sebab dia bukan kamu, tapi
saya tetap menatapnya. Hmm bodoh ternyata!
Tapi diantara kebodohan kebodohan
saya sabtu – minggu lalu, sungguh saya merasa sangat dekat denganmu, rekan satu
debat semasa biru putih. Dan nyata saya berharap itu kamu, seorang yang
menatapku masih dengan malu malu. Dentingan sendok garpu yang bergesek dengan
piring, air yang tumpah di gelas, meja diseberang resmi membuat saya berdebar
sebab alasan tak jelas. Haha semoga bukan asmara!
^O^
Dalam sebuah sesi permaian saya kami
saling tukar nama, dan sekarang saya tahu siapa nama manusia dengan dua gigi
taring dipermukaan itu. Saya memanggilnya “Lurus”. Mungkin ada harap orang tua
agar ia tumbuh sebagai manusia yang memiliki jalan lurus (tanpa neko neko yang
bikin nelongso ) serupa jalan bagi orang orang yang dirahmati.Nya. :”)
Dalam sesi permaianpun, dimana ia
menjadi obyek hukuman terindah , sungguh membuncahkan kagum saya. Melalui
segelas udara yang ia tangkap dalam ruang kaca lalu dijatuhkan dengan tempo
tepat dipapan kayu kemudian lisan yang mendendangkan melodi bersyair, dia dan
kelompoknya memukau kami para penonton. Accapela dan perkusi yang indah.
Terlampau sayang jika dibiarkan menguap tanpa tepuk tangan dan decak kagum.
^O^
Dan Tuhan entah dengan maksud apa
mengijinkan saya memberi kesempatan untuk satu koordinat sejajar di meja saji.
Memberinya sebuah piring, garpu dan sendok, lalu berjalan berseberangan tanpa
sepatah katapun. Sepertinya ada kesibukan meredam sesuatu yang takut muncul
dipermukaan. Kami mengambil menu sarapan tanpa saling sapa, juga tanpa saling tatap
(padahal sebelumnya saling curi tatap haha Sifat!). Makanpun tak satu meja.
Namun saya ingat benar, meski secara tidak langsung dia menjadi salah satu dari
beberapa rekan yang menanyakan sebab
saya tidak mengikuti permainan selanjutnya setelah perang perangan.
“Kamu sakit to?” tanyanya dengan
(basa basi) seusai mencuci kaki.
“Hehe enggak kok, Cuma mimisan
biasa!” jawabku sekenanya.
“Iya? Amm kalau gitu aku duluan ya!”
“Hehe iya!” ucapku sembari mengganti
tisu bernoda merah.
^O^
Ini hanya sebuah tulisan tentang
simpati yang kadang hadir secara berlebihan. Menggenang dipermukaan sebab
memang demikian. Haha suatu hal yang berlebihan memang sangat wajar untuk
dibagikan bukan?! Simpati yang mudah hadir untuk siapa saja, misalnya. :P
0 comments:
Post a Comment