Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Sabtu,
23 Nopember 2013
Tiba tiba saja alunan Edcoustic
dengan dendang Sebiru hari ini menjadi sangat sumbang, mengusik kenyamanan pagi
dengan dering berkali kali. Saya sedang mencuci baju, kenapa kamu begitu
mengganggu?!
Segera ku raih Nokia serie lama yang
menggantung di paku, dan nampaklah Ayah memanggil tertera dilayar.
“Seorang laki laki menangis tidak
akan kehilangan apa apa malah akan semakin lengkap sebagai manusia!” seru
seseorang pada saya jauh dari hari ini.
Benar, lelaki tak akan kehilangan
apa apa saat dia menangis, terlebih jika dia menangis dihadapan perempuannya.
Sekuat apapun lelaki itu, dia akan membutuhkan bahu sandaran saat ia merasa
runtuh.
Begitu saya tekan gambar telfon
warna hijau, tak banyak kata yang saya dengar namun banyak tangis yang mengucur
seketika. Lelaki tercinta saya, di ujung telfon dengan suara penuh isak
mengabarkan kedukaannya. Tuhan, dekap hatinya, ku mohon hangatkan dia disana.
Lapangkan hati dan fikirnya agar mampu mencerna semua hikmah. Aamiiin
Dia, dengan kesederhanaan cintanya
yang tak sesederhana ungkapan Sapardi rela membentangkan jarak hingga ke negeri
tetangga, Malaysia. Dia, dengan kesederhanaan cintanya yang tak sesederhana
ungkapan Sapardi legowo mengubur rindu dalam dalam hingga temu dengan jangka
tahunan. Dan lelaki saya itu, cinta pertama saya, hari ini menelfon saya dipagi
buta dengan iringan isak disela ceritanya.
Serupa perasaan terdzalimi alam.
Sebuah konspirasi yang membuat sekitar memandangnya ‘tak becus’. Rekayasa
Takdir yang membuatnya terpandang seolah ‘tak baik’. Arrggghhhhh!! Saya
membenci ini. Sungguh, saya tidak membenci apapun yang telah digariskan.Nya.
Saya sangat paham bahwa Dia selalu mencintai keluarga saya. Bahwa Dia
senantiasa membanjiri kami dengan kubangan hikmah. Meski Dia mengajarkan dengan
cara yang kurang menyenangkan, namun kami selalu berusaha memandangnya dalam
bingkai syukur. Hanya saja, kali ini. Sungguh, saya ingin memeluknya.
Menguatkannya. Mendekap Ayah. Memeluk Ibu. Dua manusia hebat yang sangat saya
cinta. Dua manusia sumber inspirasi saya. Meyakinkan mereka, bahwa seperti
apapun dunia memandang mereka, saya dan tiga ksatria selalu mengidolakan
kalian. Penggemar nomor satu didunia untuk Bunda Ayah tercinta.
“Ayah yang tenang, iya Risa pasti
pulang. Risa pulang naik kereta sore nanti. Ayah tenang, gag pappa. Insya allah
ada jalan. Insya Allah dimudahkan nantinya Yah. Risa percaya sama Ayah.” Yakin
saya menutup percakapan.
Tanpa pikir panjang, ku tekan angka
1. Speed dial untuk nomor rumah.
Diantara riuh tuuuuut tuuuuuut
tuuuuuut menanti terangkat panggilan saya, batin saya merapal harap. Semoga
kamu baik baik saja sayang. Semoga kamu masih setegar karang tebing. Semoga
kamu tak goyah. Sungguh saya mencintaimu sebab Allah Bu. Saya selalu percaya
kamu lebih dari suara sumbang sekitar.
“Bun, gimana?”
Dan fakta itu tercecer. Serupa
kotoran kambing yang menjijikan dipinggir jalan. Kecil namun hitam menusuk
pandang. Perkara perkara yang tak seharusnya diamalkan, namun dengan mudahnya
terencana. Jari jari mereka menuding nuding. Menerikan kata ‘salah,
dosa,nista,’ juga seluruh kosa kata mencela. Arrrgggghhh!!! Saya ingin marah,
saya ingin berteriak pada mereka. Hanya manusia yang tanpa dosa yang boleh
meneriakan kata ‘dosa’ pada sesamanya. Kuman diseberang lautan nampak, gajah
dipelupuk mata tak nampak. Dan akhirnya alih alih saya terbakar amarah lantas
meneriaki mereka, saya hanya mampu meredam isak dibalik bantal.
Dan muara dari segala petaka dipagi
buta ini, adalah doa yang diperpanjang masa rapalnya juga imbuhan harap
diselanya. Semoga kami, tetap menjadi keluarga yang tak lupa untuk bersyukur.
Semoga kami, kian menjadi keluarga penuh cinta yang saling menjaga dalam ciri
khasnya. Semoga kami tetap utuh dan lengkap dalam lingkar keluarga meski badai
kerap menyapa. Aaamiiiiiiiiiiin ya Rabb :”)
0 comments:
Post a Comment