Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
*Bersama banyak rekan saya mencoba menguraikan pandang mengenai sesosok manusia penuh cinta berlabel Ibu. Ya Ibu, sosok yang terlampau mudah dirindu. Sosok yang terlampau indah untuk dilewatkan tanpa cinta. Cerita Pendek diatas adalah salah satu dari sekian banyak pandang tentang Ibu dalam sayembara menulis cerita tentang Ibu oleh Penerbit Alif Gemilang Pressindo. Buku Antologi Cerpen dengan judul "Melukis Wajah Ibu" bisa mulai di order di sini ^_^
Jumat,
19 April 2013
![]() |
https://www.facebook.com/agpressindo |
Saya mencari sosokmu dalam rimbunnya
peziarah ditengah gerimis, berharap masih ada kesempatan menatapmu. Saya
mencarimu di tengah kanopi payung payung kelam itu, berharap ada kesempatan
bercengkrama lagi. Saya mencarimu dalam lorong gelap benak saya yang belum
yakin atas kepergianmu, berharap setelah membuka mata. Ini hanya mimpi buruk
semalam.
^O^
“Kenapa Nduk?” Tanyamu lembut
melihat saya sesegukan menahan tangis.
“Bapak nakal Yung.”
“Nakal pie Nduk?” Tanganmu membelai
lembut, merapikan helaian ekor kuda yang berantakan.
“Pokoknya bapak nakal. Masa Nanda
nda boleh ngaji di masjid bareng bareng sama temen temen Nanda.” Ucapku masih
dengan sisa sisa isak.
Kamu menghela nafas. Tersenyum lalu
memegang dagu saya, mengarahkannya untuk menatapmu.
“Kamu mau ngaji to Nduk?”
“Iya Biyung.” Teriring anggukan
semangat. “Nanda pengin ngaji kaya temen temen Nanda. Tapi ngajinya bukan sama
Romo, Nanda penginnya ngaji di Masjid.”
“Beneran?” tanyamu memastikan
kesungguhanku.
“Ciyuss!! Biyung!!” sorakku
semangat, tak terima niat sungguhan ini terragukan.
“Ya sudah, nanti biar Biyung yang
bilang ke bapakmu. Biar kamu dikasih ijin buat ikut ngaji di masjid.”
“Horeeeee” Seruku seraya berjingkrak
jingkrak ria. “Horee besok Nanda bisa belajar huruf huruf keriting itu.”
Saya ingat benar. Saat itu saya lima
tahun dan kamu memasuki usia senja dalam masa kepala lima mendekati enam. Lima
puluh empat tahun.
^O^
Langkahmu hampir memasuki langkah
seribu. Setengah berlarian menerjang gerimis yang mulai menyapa. Membiarkan
penutup ragamu basah menggigilkan raga. Demi menjemput saya dimasjid seusai
jemaat rutin di gereja. Menjadi saksi pertama atas hafalan shalat saya. Menjadi
penyimak pertama dan pendengar perdana atas kabar bahagia saya, meski ada melodi
yang harus kamu hafalkan guna paduan suara gereja.
Selalu ingat. Saat itu aku menginjak
diangka delapan tahun. Usia agak terlambat untuk melafalkan shalat namun
terpenuhi karena adanya semangat. Dan kamu lima puluh tujuh. Masih mendengar
namun menulikan diri atas gunjingan orang pada tindakmu mendampingi saya
mengeja keyakinan.
“Selama kita hidup dengan cinta
dijalan Tuhan, yakinlah Dia akan senantiasa mencintai kita meski kita
mewujudkan cinta dalam hal yang berbeda.” Ucapmu menegarkan. Meyakinkan saya
atas apa yang kita alami bersama. Meyakinkah saya atas keputusan yang telah
terikrar.
^O^
“Biyung, itu di kamar Nanda jilbabnya siapa?” Tanyaku heran atas
keberadaan jilbab asing di samping lipatan mukena.
“Bukannya itu punya Nanda ya?”
jawabmu setengah berteriak dari arah dapur. Meracik menu makan siang, sponsor
utama tenaga tengah hari.
“Nanda kan belum pakai jilbab Yung.”
Timpalku masih penuh tanya.
Suara ikan mendarat dipenggorengan
mengontaminasi rumah sederhana ini. Terhias pula oleh langkah dari arah dapur.
Kamu menghampiri saya. “Itu jilbab buat Nanda.” Ucapmu lembut. Melampirkan
helai hijab itu pada pundak saya. Menaikannya sedikit keatas, menutup geraian
rambut hitam yang hampir sebahu. “Nanda kan sekarang sudah besar. Sudah saatnya
menutup aurat. Menjaga apa yang seharusnya terjaga.” Jelasmu pelan.
Ada dinding bening terhias disana.
Di pelupuk mata yang masih tertunduk menatap kain bernama jilbab itu. Lalu
berlahan tatapan teralih pada sosok di samping saya. Sosok tambun dengan tinggi
tidak lebih dari sebahu saya. Biyung. Ibu dari Ayah yang seharusnya aku panggil
Nenek.
“Terima kasih Biyung. Nanda sayang
Biyung karena Allah.” Sedikit terbatas karena isak yang tak tertahan.
Membenamkan diri dalam pelukanmu yang beraroma kaldu ayam. Dan teringatlah pada
aroma ikan dalam kolam minyak itu. Sudah berganti warna dengan aroma gosong
ternyata.
Kita menghambur kedapur. Menyaksikan
korban dari keromantisan sesaat kita. Adegan tak terganti dalam album memori
berjudul “kita”.
Dan kamu tetap menjadi yang pertama
memujiku dalam balutan kerudung.
“Kamu manis Nduk.” Sapamu di hari
pertamaku berhijab.
“Hehe.” Cengirku tersipu malu.
Menghiasi pipi dengan semburat udang rebus. Merah merona.
“Kalau makan itu harus dihabiskan.
Kalau yakin pada keputusan juga harus kaffah.” Godamu mengingatkan saya pada
pijakan hijrah pertama sepuluh tahun silam. Dan kini saya memasuki gerbang remaja.
Lima belas tahun. Kamu genap enam puluh empat tahun.
^O^
Bibirmu kini selalu basah oleh
rapalan doa yang tertunda. Kalimat kalimat memuji Tuhan yang dulu sempat kamu
ajarkan meski kita menyebut Tuhan dengan cara yang berbeda.
“Biyung shalatnya ikut jama’ahan di
masjid aja kalau susah ngafalin bacaan shalat, nanti disana kan jadi ma’mum
gitu.” Saranku. Tak tega melihat kamu terpeleset peleset dalam mantra memohon
keselamatan bagi semuanya pada Yang Esa.
“Sudah, nda usah nduk. Biyung sudah
nda kuat jalan jauh jauh.”
“Laa ya pelan pelan, nanti Nanda
temenin deh.” Bujukku penuh kesungguhan.
“Nda usah Nduk. Biyung minta ajarin
kamu saja.”
“Iyaa Biyung, pasti Nanda ajarin
kok. Tapikan Nanda nda setiap hari disini Yung. Minggu Nanda udah harus
berangkat ke Solo. Terus nanti Biyung belajar ngaji sama siapa hayooo?”
“Penting, saiki kowe ki ngajari Biyung
sek Ndukk sayaang.” Katamu keukeuh. Antara semangat belajar dan gemas pada
cucunya yang ngeyel ini.
“Hehehe.” Merasa malu sekaligus mohon maaf. Ku benamkan
kepala dalam pelukan hangatmu. Pelukanmu adalah tempat dimana saya bisa
tertidur selamanya. Empuk dan hangat.
Sebuah papan whiteboard double side
saya pasang di dekat ranjangmu. Memajang goresan goresan doa guna memperbaiki
langkah. Memastikan kamu dapat membacanya, menjadikannya rambu rambumu
beribadah.
Tak akan lupa. Saat itu aku delapan
belas tahun. Masa melepas seragam putih abu abu, menyambut gerbang mahasiswi.
Semester pertama, dan kamu memberi saya hadiah terindah dengan syahadatmu itu.
Usiamu bukan lagi senja, hampir petang. Namun, semangat belajarmu sehangat
fajar dhuha. Enam puluh tujuh tahun.
^O^
Jumat, 20 April 2013.
Sederet pesan menghias layar N80
saya. Menyampaikan pesan pembawa tiket air mata. Menyematkan duka seluas sahara
di sanubari. Seminggu di opname mengantarkanmu pada kehidupan abadi. Alam
kelanggengan setiap insan. Ternyata Tuhan lebih mencintaimu.
Segera ku kayuh bebek mesin itu.
Menempuh jarak Solo-Kebumen. Tiga ratusan kilometer lebih dengan seratus
kilometer per jam. Memangkas waktu sebanyak saya bisa. Membendung duka,
melelehkan air kristal. “Tuhan, sempatkan saya menatapnya untuk terakhir kali.”
Bisik saya berkali kali. Tiga jam lebih empat puluh lima menit. Tiba saat adzan
dzuhur mengundang jemaah shalat jumat.
Rumah gadang itu rimbun oleh insan
insan terdekatmu. Riuh dengan doa doa penerang jalanmu bertemu Sang Pencipta.
Hujan air mata dari seluruh pasang mata yang mengenalmu. Berjuta kepala
tertunduk melepas kamu pergi. Wajah pagi hingga petang, berkali memuji
kronologismu menghembuskan nafas terakhir.
“Aku ngantuk. Aku mau tidur dulu.”
Begitu katanya. Lalu teriring syahadat dalam sepenggal nafasnya.
“Mudah dan berkah.” Batin saya.
Terbayang jasamu, terbayang jiwa
sederhana dan kerja kerasmu. Seorang perempuan senja yang berlari dari gereja
untuk menjemput saya di masjid. Mengantarkan payung berwarna ungu dengan motif
bunga. Perempuan yang saya cintai tak terperi. Perempuan yang mengejakan
langkah keyakinan pada saya. Perempuan pertama yang membukakan jendela dunia
pada saya. Perempuan pertama yang menitih saya melangkah pada jejak jejak
cakrawala mengenal diri dan sekitar.
Atap itu menjadi saksi setiap kisah
yang kita bangun bersama. Dari sekedar tangis pertama hingga celoteh pertama.
Dan atap itu pula, saksi bisu kita mengeja keyakinan yang berbeda dengan tetap
saling menjaga. Saling memeluk dengan lengan doa meski menyebut Tuhan dengan
nama yang berbeda. Saling ada meski dunia mencela. Dan atap itulah saksi
bagaimana kita saling terbata guna menjadi seorang perempuan muslimah sejati.
Yang mencintai Tuhannya tidak hanya dengan lathi*lisan namun juga
dengan hati. Menjadi perempuan muslimah sejati yang tidak hanya mengerti dan
peka namun juga bertindak penuh tulus dan ikhlas. Yang kelak akan membekali
adaptasi saya di masyarakat.
“Membaurlah tanpa pernah melebur,
karena kamu sudah punya jati diri.” Katamu selalu.
“Selamat jalan Biyung, terima kasih
untuk setiap perhatian yang kamu curahkan. Terima kasih untuk setiap cinta yang
kau suguhkan dalam kemasan warna warni. Sapaan valseto karena pulang terlambat,
bisik lembut karena kurang istirahat, atau sekedar nada datar penyedia telinga.
Namun setidaknya selalu ada dan pertama. Selamat jalan, dan tunggulah saya di
Surga.Nya J”
seulas senyum mengembang si bibir saya.
^O^
Kerumunan itu tak lagi serimbun enam
puluh menit lalu, hanya ada beberapa sanak saudara terdekat yang tersisa. Saya,
Ibu saya, Bu Lek, Dua Sepupu, Pakdhe, Bibi, dan juga Ayah yang baru tiba lima
menit lalu. Kami semua tidak lagi menitikkan air mata, bukan tak lagi sedih.
Hanya terlalu bahagia atas kepulanganmu pada Sang Khalik. Bahagia karena kini
kamu telah terjaga pada Dzat yang Maha Sempurna. Pastilah akan lebih baik dalam
menjagamu.
*Bersama banyak rekan saya mencoba menguraikan pandang mengenai sesosok manusia penuh cinta berlabel Ibu. Ya Ibu, sosok yang terlampau mudah dirindu. Sosok yang terlampau indah untuk dilewatkan tanpa cinta. Cerita Pendek diatas adalah salah satu dari sekian banyak pandang tentang Ibu dalam sayembara menulis cerita tentang Ibu oleh Penerbit Alif Gemilang Pressindo. Buku Antologi Cerpen dengan judul "Melukis Wajah Ibu" bisa mulai di order di sini ^_^
0 comments:
Post a Comment