Rss Feed
  1. BECAK (Roda Tiga Pemutar Roda Kehidupan)

    Monday, 11 November 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    munggaranti.wordpress.com



                Dengan tiga roda penopang beban dan bantuan kayuhan lemah kendaraan itu melaju dengan payah. Kuyu lelah berkeliling tanpa ada imbalan berupa service mesin yang telah tua hampir sekarat. Seorang paruh baya terus mengayuhnya dengan niagara peluh di tubuhnya. Dalam hati hanya mampu bertanya kemana gerangan para penumpang, tak taukah ada becak tanpa penumpang disini? Tak tahukan ada supir yang berpeluh memburu penumpang? Tak tahukan ada dompet yang butuh terisi lembaran rupiah? Lupakah pada keluarga dirumah yang menunggu supir tanpa penumpang ini penuh harap? Sepertinya manusia memang sudah melupakan satu sama lain. Sepertinya memang manusia lupa untuk saling menyediakan bahu saat yang lain jatuh terbawa gravitasi hidup. Membunuh nadi peduli, menggantikannya dengan nadi kepentingan. Memang tepat jika ada ungkapan “Tak ada pertemanan yang abadi, yang ada ialah kepentingan abadi.
                Ada deritan lega dari becak merah tua itu ketika kayuhan si bapak paruh baya berhenti di depan gubuk sederhana. Rumah tanpa jendela tepatnya. Tanpa cerobong asap yang mengabarkan kehangatan lingkaran keluarga menghadap api unggun di santainya proses menikmati hidup. Atau proses dimanjakan hidup layaknya Tuan dan Nyonya tetangga yang rumahnya berpagar tinggi dan berjendela banyak dengan lantai yang tidak cukup dua tingkat. Rumah beratap rumbia dan penyekat ruang triplek berlantai gumpalan tanah liat itu berisikan enam orang manusia. Bapak, Ibu, Tante, Nenek, Putri dan Putra. Gubuk sederhana yang terbangun oleh rajutan cinta jaman sma. Kenang kenangan dari era Galih dan Ratna tahun tujuh puluhan. Gubuk sederhana pembungkus cinta yang telah kadaluarsa. Cinta yang termakan ngengat jaman, terkikis oleh kebutuhan insani, juga terkontaminasi pengingkaran janji. Yah, cinta telah bermetamorfosa terlalu jauh, hingga lupa wujud murni cinta itu sendiri. Miris meski berawal manis.
    ^O^
                ^Ibu.
                Salahkah jika saya hendak menanyakan kemana perginya janji yang dulu sempat kamu ucapkan? Janji yang kamu tawarkan dengan penuh madu tanpa belengu. Janji menjauhkan saya dari kenistaan, menyelimuti saya dengan kemewahan kasat mata. Tak ada hasrat saya untuk mengingkari semua nikmat, saya hanya menanyakan mana pertanggungjawabanmu atas janji yang kamu ucap dulu?! Limosin, Emas, Permata, Rumah dengan penyejuk ruangan bermerek seperti iklan di teve teve. Hingga janji janji itu punah oleh waktu, melupakan seorang yang menantinya.
                Nyatanya bahkan kamu tidak peduli pada kain penutup aurat yang kian turun nilai ekonomisnya. Gembel dan rombeng, siap memasuki masa pensiun menjadi lap dapur. Boro boro emas yang melingkar di leher, lengan, ataupun jari manis. Boro boro permata yang menempel manja di telinga. Semua tempat yang seharusnya terhias oleh emas dan permata, hanya ada gores merah, luka yang mengering, memar yang belum sempat terobati. Tuhan, betapa ringan tangan yang Engkau anugrahkan kepadanya?! Kamu hanya terus mengayuh roda tiga itu tanpa peduli pada saya, tak peduli pada saya menanti hasil.
                Sungguh tak ada titis benci dalam diri saya, setetespun tak pernah terbayang. Namun cinta jika sering terabaikan dan terdustai oleh janji maka menguaplah cinta itu. Menghilang bersama buih kehidupan yang sering mengecewakan. Tapi sejatinya cinta masa putih abu abu itu masih tersimpan rapi dan utuh untukmu, hanya saja terlalu naif untuk diverbalkan, terlalu ingkar pada hati yang sejatinya hanya merindu terlalu lama. Tentu terlalu malu malu untuk mengakui pada dunia bahwa lelaki yang dulu saya banggakan dan berjanji membuatkan kastil kini hanya lelaki berpeluh sebab mengayuh becak dan memberi tempat berteduh tanpa cerobong api unggun ahh bahkan jendela saja tak ada.
    ^Bapak
                Saya lelah, haus. Saya juga lapar. Sehari penuh saya mengayuh roda tiga itu. Mengayuh demi beberapa lembar kapitan patimura untuk beberapa meter. Jangankan pati mura, koin bunga melati saja tak saya peroleh. Sial betul saya hari ini, sehingga terpaksa pulang dengan hasil keringat kian membanjir ini. Berharap akan menemukan senyum tulang rusuk yang sebenarnya obat penenang segala keluh. Menatap kamu itu menyejukan bagiku. Nyata terlihat, saya sampai dan disambut oleh kemuramdurjaanmu. Lagi lagi kamu menuntut janji yang saya ucapkan dulu. Lagi lagi kamu menampakkan runcingnya taring Dewi Durga, pupuslah harap saya menerima sapaan lembut belahan jiwa.
                Yah dulu....dulu saat mencari pekerjaan tak sesulit mencari jarum di padang sahara, dulu saat ijasah SMA masih berlaku menjadi mandor pabrik, dulu saat membeli sembako lengkap cukup dengan selembar danau tiga warna, dulu saat uang masih mengalir lancar ke dompet saya. Dengan sangat percaya diri saya berkata akan mampu menutup tubuhmu dengan lilitan sutra, bersanding bersamamu dengan limosin, memenuhi tiap ruas tubuhmu dengan intan permata.
                Yah, saya percaya saya mampu hingga ijasah SMA sepadan dengan lulusan Taman Kanak Kanak. Persaingan yang begitu ketat dengan mereka yang berijasah Strata satu, sembako tak cukup dengan kertas merah muda gedung DPR MPR. Hingga bukan limosin yang mampu saya persembahkan padamu. Hanya kendaraan beroda tiga dengan mesin bernama manusia itulah satu satunya penyambung hidup kita sekarang. Tak ada sedikitpun titis dusta dalam nurani saya. Jujur saya pun selalu ingin memenuhi tiap inginmu, namun mengertilah saya sudah tak mampu. Mengertilah, saya tetap membutuhkanmu untuk mendukung saya. BERHENTILAH MENUNTUT SAYA!! Luka yang saya berikan memang nampak menyakitkan di mata, namun tak sadarkah luka yang kamu torehkan begitu menyiksa rasa?! Kamu membuat saya merasa gagal. Merasa tidak layak untuk menyunting bidadari seindah kau. Merasa gagal melunasi janji bahagia pada langkah pertama dalam bahtera kita. Sejatinya saya selalu berusaha untuk melengkapi semuanya, hanya saja takdir belum berpihak pada kita sayang, ku mohon mengertilah dan pahamilah. Toh sayapun tak beranjak kemana mana. Saya masih disisimu dengan cinta yang utuh namun malu muncul dipermukaan.
    ^Tante.
                Dia hanya korban kecerdasan lelaki busuk pengayuh becak itu! Adik saya yang malang. Gadis manis yang terkurung dalam sangkar pernikahan dengan bingkai rumah tanpa jendela, dan asap dapur yang bahkan nyaris tak pernah nampak. Lelaki busuk yang hanya mampu mendaratkan tangannya di pipi mulusnya. Dia hanya gadis lugu yang ingin janji untuknya terpenuhi. Adik saya yang malang. Lelaki biasa saja yang terlalu menjanjikan hal luar biasa indah pada adik saya. Ah lelaki yang tak akan pernah masuk dalam jangka pasaran saya. Terlalu rendah untuk diperjuangkan dan terlalu tak bernilai untuk diperdebatkan. Tinggalkan dan lupakan saja.
    ^Putra dan Putri.
                Dia ibu kami. Perempuan yang melahirkan kami, mengapa kamu hanya mampu menyiksanya?! Memberinya hadiah berupa tamparan dan misuhan!! Kamulah seharusnya yang selalu melindunginya, menyayanginya, menjaganya. Dialah tulang rusukmu, bukalah matamu wahai bapak. Kami tak meminta banyak dari kamu, kami tak meminta setiap akhir pekan berlibur ke Disneyland, kami tak meminta mainan remote control seperti teman teman yang lain, kami hanya meminta sedikit cinta darimu yang belum sempat kami cicipi. Beri kami sedikit tawa dalam masa dini kami. Sapalah kami dengan cinta seperti yang seharusnya. Biarkan kami merasa sebagai insan yang utuh karena adanya kehangatan keluarga. Kami tak apa dengan atap bocor saat musim hujan. Kelembutan bunda dan kehalusan akhlakmu telah cukup menghangatkan kami. Panasnya matahari dibalik atap seng akan terasa sejuk jika kamu mampu mengendalikan emosi dan amarahmu. Jangan biarkan mereka menguasaimu Pak! Tak inginkah kamu melukiskan indahnya keluarga pada kami, wahai Tuan Pemimpin Keluarga?
    ^Nenek.
                Putri kecil yang telah bermetamorfosa menjadi seorang istri sekaligus ibu dari dua orang bocah. Putri kecil yang telah naik tahta menjadi seorang permaisuri di kerajaan keluarga dengan istana tanpa jendela ini. Putri kecil, buanglah murammu, hapuskan janji manis itu jika itu hanya membuatmu lupa pada janji suka duka diarungi bersama pangeranmu kini. Bijaklah pada situasi yang sering tak sepadan dengan harap, kamu telah dianugrahi dua buah hati yang manis dan mencintaimu tentunya, seorang suami yang masih sehat bugar berada disisimu. Syukuri lah kehadiran mereka J.
                Kekarnya lenganmu bukan untuk mendaratkan kepalan padanya. Kamulah sandaran atas keluh kesahnya. Ijinkan dia bertopang pada bahumu itu..karena dia tulang rusuk sekaligus ibu dari anak anakmu..cintailah dia dengan hati J ringankan tanganmu untuk membantunya mengarungi hidup..berjalanlah beriringan menuju ridho Gusti Allah J Kayuhlah terus roda tiga itu penuh ikhlas demi keluarga  yang  menanti kepulanganmu dengan cinta J
    ^O^
                Dan roda tiga itu masih diam dipojok halaman depan, memakan area seratus lima puluh kali seratus centimeter halaman rumah yang tidak luas. Menjadi saksi keresahan penghuni rumah atas absennya asap dapur yang biasanya mengepul memberi aroma masakan. Menjadi saksi atas perut putra dan putri yang kian buncit menahan lapar dan kenyang oleh air. Menjadi saksi atas luka Ibu yang hampir kering namun kembali basah oleh air mata penyesalan. Menjadi saksi atas gincu Tante yang makin menor guna menarik lelaki hidng belang yang lewat depan rumah. Menjadi saksi atas tangan Nenek yang mengelus dadanya tanda memperpanjang waktu kesabaran. Tentu ia pun masih setia dengan Bapak. Menemani Bapak yang kian berpeluh dan kiat pekat terbakar sinar UV penghitam alami. Menemani setiap kecewa pada takdir yang termakan kayuhan hidup. Becakpun tetap menjadi saksi kegigihan Bapak menghidupkan dapur rumah. Kegigihan Bapak untuk  bisa ikhlas menerima rangkaian cerita atas keadilah Tuhan. Ya selalu ada si kaya dan si miskin bukan? Selalu ada yang puas dan ada yang kecewa bukan? Dan Bapak tetap setia untuk dapat menepati janjinya. Janji yang sederhana untuk ada dan membahagiakan keluarga. Secercah bijak yang menerangi lorong gelap arus kehidupan, menuntunnya pada kata ‘semoga’. Semoga roda tiga itu mampu terus berputar membawa penumpangnya yang enggan terinjak oleh cepatnya langkah perkembangan zaman.

    Kamis, 04 Oktober 2012
    Risa Rii Leon
    **Kisah ini pernah dipentaskan oleh Anggota Baru Kelompok Peron Surakarta Mahasiswa Pekerja Teater FKIP UNS dalam Perform Art Penerimaan Anggota Baru 2012 di depan Gedung E FKIP UNS pada tanggal 04 Oktober 2012 dengan judul kekerasan dalam rumah tangga yang disutradarai Muriningsih (Mahasiswi Program Studi Bahasa Inggris FKIP UNS Angkatan 2012)
     

  2. 0 comments: