Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
munggaranti.wordpress.com |
Dengan tiga roda penopang beban dan
bantuan kayuhan lemah kendaraan itu melaju dengan payah. Kuyu lelah berkeliling
tanpa ada imbalan berupa service mesin yang telah tua hampir sekarat. Seorang
paruh baya terus mengayuhnya dengan niagara peluh di tubuhnya. Dalam hati hanya
mampu bertanya kemana gerangan para penumpang, tak taukah ada becak tanpa
penumpang disini? Tak tahukan ada supir yang berpeluh memburu penumpang? Tak
tahukan ada dompet yang butuh terisi lembaran rupiah? Lupakah pada keluarga
dirumah yang menunggu supir tanpa penumpang ini penuh harap? Sepertinya manusia
memang sudah melupakan satu sama lain. Sepertinya memang manusia lupa untuk
saling menyediakan bahu saat yang lain jatuh terbawa gravitasi hidup. Membunuh
nadi peduli, menggantikannya dengan nadi kepentingan. Memang tepat jika ada
ungkapan “Tak ada pertemanan yang abadi, yang ada ialah kepentingan abadi.
Ada deritan lega dari becak merah
tua itu ketika kayuhan si bapak paruh baya berhenti di depan gubuk sederhana.
Rumah tanpa jendela tepatnya. Tanpa cerobong asap yang mengabarkan kehangatan
lingkaran keluarga menghadap api unggun di santainya proses menikmati hidup.
Atau proses dimanjakan hidup layaknya Tuan dan Nyonya tetangga yang rumahnya
berpagar tinggi dan berjendela banyak dengan lantai yang tidak cukup dua
tingkat. Rumah beratap rumbia dan penyekat ruang triplek berlantai gumpalan
tanah liat itu berisikan enam orang manusia. Bapak, Ibu, Tante, Nenek, Putri
dan Putra. Gubuk sederhana yang terbangun oleh rajutan cinta jaman sma. Kenang
kenangan dari era Galih dan Ratna tahun tujuh puluhan. Gubuk sederhana
pembungkus cinta yang telah kadaluarsa. Cinta yang termakan ngengat jaman,
terkikis oleh kebutuhan insani, juga terkontaminasi pengingkaran janji. Yah,
cinta telah bermetamorfosa terlalu jauh, hingga lupa wujud murni cinta itu
sendiri. Miris meski berawal manis.
^O^
^Ibu.
Salahkah jika saya hendak menanyakan
kemana perginya janji yang dulu sempat kamu ucapkan? Janji yang kamu tawarkan
dengan penuh madu tanpa belengu. Janji menjauhkan saya dari kenistaan,
menyelimuti saya dengan kemewahan kasat mata. Tak ada hasrat saya untuk
mengingkari semua nikmat, saya hanya menanyakan mana pertanggungjawabanmu atas
janji yang kamu ucap dulu?! Limosin, Emas, Permata, Rumah dengan penyejuk
ruangan bermerek seperti iklan di teve teve. Hingga janji janji itu punah oleh
waktu, melupakan seorang yang menantinya.
Nyatanya bahkan kamu tidak peduli
pada kain penutup aurat yang kian turun nilai ekonomisnya. Gembel dan rombeng,
siap memasuki masa pensiun menjadi lap dapur. Boro boro emas yang melingkar di
leher, lengan, ataupun jari manis. Boro boro permata yang menempel manja di
telinga. Semua tempat yang seharusnya terhias oleh emas dan permata, hanya ada
gores merah, luka yang mengering, memar yang belum sempat terobati. Tuhan,
betapa ringan tangan yang Engkau anugrahkan kepadanya?! Kamu hanya terus
mengayuh roda tiga itu tanpa peduli pada saya, tak peduli pada saya menanti
hasil.
Sungguh tak ada titis benci dalam
diri saya, setetespun tak pernah terbayang. Namun cinta jika sering terabaikan
dan terdustai oleh janji maka menguaplah cinta itu. Menghilang bersama buih
kehidupan yang sering mengecewakan. Tapi sejatinya cinta masa putih abu abu itu
masih tersimpan rapi dan utuh untukmu, hanya saja terlalu naif untuk
diverbalkan, terlalu ingkar pada hati yang sejatinya hanya merindu terlalu
lama. Tentu terlalu malu malu untuk mengakui pada dunia bahwa lelaki yang dulu
saya banggakan dan berjanji membuatkan kastil kini hanya lelaki berpeluh sebab
mengayuh becak dan memberi tempat berteduh tanpa cerobong api unggun ahh bahkan
jendela saja tak ada.
^Bapak
Saya lelah, haus. Saya juga lapar.
Sehari penuh saya mengayuh roda tiga itu. Mengayuh demi beberapa lembar kapitan
patimura untuk beberapa meter. Jangankan pati mura, koin bunga melati saja tak
saya peroleh. Sial betul saya hari ini, sehingga terpaksa pulang dengan hasil
keringat kian membanjir ini. Berharap akan menemukan senyum tulang rusuk yang
sebenarnya obat penenang segala keluh. Menatap kamu itu menyejukan bagiku.
Nyata terlihat, saya sampai dan disambut oleh kemuramdurjaanmu. Lagi lagi kamu
menuntut janji yang saya ucapkan dulu. Lagi lagi kamu menampakkan runcingnya
taring Dewi Durga, pupuslah harap saya menerima sapaan lembut belahan jiwa.
Yah dulu....dulu saat mencari
pekerjaan tak sesulit mencari jarum di padang sahara, dulu saat ijasah SMA
masih berlaku menjadi mandor pabrik, dulu saat membeli sembako lengkap cukup
dengan selembar danau tiga warna, dulu saat uang masih mengalir lancar ke
dompet saya. Dengan sangat percaya diri saya berkata akan mampu menutup tubuhmu
dengan lilitan sutra, bersanding bersamamu dengan limosin, memenuhi tiap ruas
tubuhmu dengan intan permata.
Yah, saya percaya saya mampu hingga
ijasah SMA sepadan dengan lulusan Taman Kanak Kanak. Persaingan yang begitu
ketat dengan mereka yang berijasah Strata satu, sembako tak cukup dengan kertas
merah muda gedung DPR MPR. Hingga bukan limosin yang mampu saya persembahkan
padamu. Hanya kendaraan beroda tiga dengan mesin bernama manusia itulah satu
satunya penyambung hidup kita sekarang. Tak ada sedikitpun titis dusta dalam
nurani saya. Jujur saya pun selalu ingin memenuhi tiap inginmu, namun
mengertilah saya sudah tak mampu. Mengertilah, saya tetap membutuhkanmu untuk
mendukung saya. BERHENTILAH MENUNTUT SAYA!! Luka yang saya berikan memang
nampak menyakitkan di mata, namun tak sadarkah luka yang kamu torehkan begitu
menyiksa rasa?! Kamu membuat saya merasa gagal. Merasa tidak layak untuk
menyunting bidadari seindah kau. Merasa gagal melunasi janji bahagia pada
langkah pertama dalam bahtera kita. Sejatinya saya selalu berusaha untuk
melengkapi semuanya, hanya saja takdir belum berpihak pada kita sayang, ku
mohon mengertilah dan pahamilah. Toh sayapun tak beranjak kemana mana. Saya
masih disisimu dengan cinta yang utuh namun malu muncul dipermukaan.
^Tante.
Dia hanya korban kecerdasan lelaki
busuk pengayuh becak itu! Adik saya yang malang. Gadis manis yang terkurung
dalam sangkar pernikahan dengan bingkai rumah tanpa jendela, dan asap dapur
yang bahkan nyaris tak pernah nampak. Lelaki busuk yang hanya mampu mendaratkan
tangannya di pipi mulusnya. Dia hanya gadis lugu yang ingin janji untuknya
terpenuhi. Adik saya yang malang. Lelaki biasa saja yang terlalu menjanjikan
hal luar biasa indah pada adik saya. Ah lelaki yang tak akan pernah masuk dalam
jangka pasaran saya. Terlalu rendah untuk diperjuangkan dan terlalu tak
bernilai untuk diperdebatkan. Tinggalkan dan lupakan saja.
^Putra
dan Putri.
Dia ibu kami. Perempuan yang
melahirkan kami, mengapa kamu hanya mampu menyiksanya?! Memberinya hadiah
berupa tamparan dan misuhan!! Kamulah seharusnya yang selalu melindunginya,
menyayanginya, menjaganya. Dialah tulang rusukmu, bukalah matamu wahai bapak.
Kami tak meminta banyak dari kamu, kami tak meminta setiap akhir pekan berlibur
ke Disneyland, kami tak meminta mainan remote
control seperti teman teman yang lain, kami hanya meminta sedikit cinta
darimu yang belum sempat kami cicipi. Beri kami sedikit tawa dalam masa dini
kami. Sapalah kami dengan cinta seperti yang seharusnya. Biarkan kami merasa
sebagai insan yang utuh karena adanya kehangatan keluarga. Kami tak apa dengan
atap bocor saat musim hujan. Kelembutan bunda dan kehalusan akhlakmu telah
cukup menghangatkan kami. Panasnya matahari dibalik atap seng akan terasa sejuk
jika kamu mampu mengendalikan emosi dan amarahmu. Jangan biarkan mereka
menguasaimu Pak! Tak inginkah kamu melukiskan indahnya keluarga pada kami,
wahai Tuan Pemimpin Keluarga?
^Nenek.
Putri kecil yang telah
bermetamorfosa menjadi seorang istri sekaligus ibu dari dua orang bocah. Putri
kecil yang telah naik tahta menjadi seorang permaisuri di kerajaan keluarga
dengan istana tanpa jendela ini. Putri kecil, buanglah murammu, hapuskan janji
manis itu jika itu hanya membuatmu lupa pada janji suka duka diarungi bersama
pangeranmu kini. Bijaklah pada situasi yang sering tak sepadan dengan harap,
kamu telah dianugrahi dua buah hati yang manis dan mencintaimu tentunya,
seorang suami yang masih sehat bugar berada disisimu. Syukuri lah kehadiran
mereka J.
Kekarnya lenganmu bukan untuk
mendaratkan kepalan padanya. Kamulah sandaran atas keluh kesahnya. Ijinkan dia
bertopang pada bahumu itu..karena dia tulang rusuk sekaligus ibu dari anak
anakmu..cintailah dia dengan hati J ringankan
tanganmu untuk membantunya mengarungi hidup..berjalanlah beriringan menuju
ridho Gusti Allah J Kayuhlah terus roda tiga itu penuh
ikhlas demi keluarga yang menanti kepulanganmu dengan cinta J
^O^
Dan roda tiga itu masih diam dipojok
halaman depan, memakan area seratus lima puluh kali seratus centimeter halaman
rumah yang tidak luas. Menjadi saksi keresahan penghuni rumah atas absennya
asap dapur yang biasanya mengepul memberi aroma masakan. Menjadi saksi atas
perut putra dan putri yang kian buncit menahan lapar dan kenyang oleh air.
Menjadi saksi atas luka Ibu yang hampir kering namun kembali basah oleh air
mata penyesalan. Menjadi saksi atas gincu Tante yang makin menor guna menarik
lelaki hidng belang yang lewat depan rumah. Menjadi saksi atas tangan Nenek
yang mengelus dadanya tanda memperpanjang waktu kesabaran. Tentu ia pun masih
setia dengan Bapak. Menemani Bapak yang kian berpeluh dan kiat pekat terbakar
sinar UV penghitam alami. Menemani
setiap kecewa pada takdir yang termakan kayuhan hidup. Becakpun tetap menjadi
saksi kegigihan Bapak menghidupkan dapur rumah. Kegigihan Bapak untuk bisa ikhlas menerima rangkaian cerita atas
keadilah Tuhan. Ya selalu ada si kaya dan si miskin bukan? Selalu ada yang puas
dan ada yang kecewa bukan? Dan Bapak tetap setia untuk dapat menepati janjinya.
Janji yang sederhana untuk ada dan membahagiakan keluarga. Secercah bijak yang
menerangi lorong gelap arus kehidupan, menuntunnya pada kata ‘semoga’. Semoga
roda tiga itu mampu terus berputar membawa penumpangnya yang enggan terinjak
oleh cepatnya langkah perkembangan zaman.
Kamis,
04 Oktober 2012
Risa
Rii Leon
**Kisah
ini pernah dipentaskan oleh Anggota Baru Kelompok Peron Surakarta Mahasiswa
Pekerja Teater FKIP UNS dalam Perform Art Penerimaan Anggota Baru 2012 di depan
Gedung E FKIP UNS pada tanggal 04 Oktober 2012 dengan judul kekerasan dalam
rumah tangga yang disutradarai Muriningsih (Mahasiswi Program Studi Bahasa
Inggris FKIP UNS Angkatan 2012)
0 comments:
Post a Comment