Rss Feed
  1. Menanti Dibatas Waktu

    Monday, 11 November 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    blackphp.wordpress.com


                Kata orang untuk merasakan cinta harus ada luka yang menyapa terlebih dahulu. Mungkin benar, terluka hingga berdarah darah untuk dapat merasakan dicintai dengan sungguh.
                Aku pernah mencintai tiga lelaki. Tidak sekaligus tentunya, hatiku tak cukup luas untuk menampung banyak orang disana. Disana, ada interval waktu dalam setiap jalinan kasih.
                Yang pertama, menghilang tanpa jejak. Kisah kami membaur terbawa angin. Tak tersisa kata pisah atau janji untuk kembali. Serupa dua Romeo dan Juliet yang kehilangan Shakespheare sebelum mereka sempat berucap cinta. Kandas tanpa bekas, namun luka tetap merembes penuh nanah.
                Cinta yang kedua, pergi untuk selamanya. Meski sejatinya kami tak ingin berpisah, namun apa daya. Skenario kehidupannya telah tamat tertabrak kereta api malam. Babak akhir panggung hidupnya terpentaskan bersama terkuburnya jasad yang kini berbaur tanah. Kenyataan yang menyesatkanku dalam labirin kehampaan untuk sekian tahun. Menyisakan lubang hati yang kosong termakan ngengat kenangan.
                Lelaki ketiga yang datang seperti komah. Menghilang sesaat lalu kembali, bersama cinta yang lain. Pahit. Menyakitkan. Dan mengkambinghitamkan cinta atas segala perih dan lebamnya hati, itu bukan solusi. Mungkin memang harus sendiri. Mungkin jodohku tak disini. Jodohku tidak dilangit yang sama denganku. Barangkali.
                Tepatnya aku enggan jatuh cinta lagi. Enggan terluka dan terkhianati lagi. Enggan bermimpi mengenai cinta Romeo. Enggan meratap hingga menjadi majenun. Enggan menjadi Sumila dalam balada cintanya. Biarlah menjadi stupa dalam kawah accapela hati. Menjadi peran utama dalam drama sebuah penantian.
                Roda terus berputar, daun beringinpun kian meranggas. Dan semua terjadi. Begitu saja. Sebuah pencabutan ikrar yang tak terelakkan lagi. Ketika satu akar menjulur diatas kepalanya yang terhias peci, aku mulai membuka hati.
                Mei musim lalu, ia bertandang ke rumah dengan sebuah wajah baru. Seorang yang lama bermukim di ruang memori cadangan. Seorang yang menetap dalam bumi kenangan. Lelaki beringin dengan tatapan super teduh. Hadir bukan untuk menjeratku, bukan untuk menatapku, namun menuntunku. Kemana? Lebih dari sekedar menerbangkan harapan menuju ketidakpastian sebab sebagian diri salah mengartikan perhatian. Tapi Dia hanya menawarkan penjagaan atas sebongkah hati yang telah mencurinya sejak jaman putih abu – abu.
                “Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).” Sebuah bisikkan yang menjembatani bekerjanya nalarku. Betapa jodoh itu sangat dekat. Melekat dalam diri tanpa harus mencari. Ya, kamu hanya perlu menjadi untuk bertemu dengannya. Menjadilah baik maka kamu akan bertemu dengan jodoh yang baik. Bukankah Tuhan sangat demokratis? :”)
                Dan ternyata jodoh itu kita yang menentukan, Tuhan semata hanya memilihkan. Ya, jodoh adalah pilihan kita yang disetujui Tuhan. Memilihkan yang tepat dan terbaik sebagai cerminan atas diri kita. Sejenis kaca yang membiaskan bayangan diri. Sayangnya manusia seringkali lupa memilih jalan yang tepat untuk menentukkan jodoh. Lupa bahwa jodoh tidak serupa dengan ikatan yang menjerat hingga lupa hakekat sebuah cinta. Sebuah ikatan yang terserang syahwat semata. Sebab jodoh tidak serupa dengan hubungan menahun yang terbangun sebab kebiasaan bersama. Menjanjikan kesetiaan abadi kepada makhluk selain Yang Maha Setia. Sebab jodoh tidak melulu soal bersama, bertemu, dan saling mencinta tanpa pernah menyeru pada Dia yang mencipta cinta. Dia, sumber dari segala sumber cinta. Dan terluka karena cinta itu sebenarnya tidak ada, hanya saja manusia yang lupa mendasari pemilihan cinta dengan Sang Maha Cinta. Itu saja. Sebab cinta senantiasa membawa kebaikan.
                Insan dalam memori cadangan itu kini bersimpuh dalam ruang utama. Lelaki teduh dengan bibir basah oleh ayat.Nya. Lelaki teduh yang tak pernah berkata cinta kala berdua, tak pernah meneriakkan cinta didepan khalayak ramai, dia hanya menyertakan mahar dihadapan keluarga besar. Tak menjanjikanku emas dan sutera, hanya menuntunku menuju surga.Nya. Tanpa ikatan yang menjerat sebagai perantaranya. Tanpa status tak jelas sebelumnya. Tanpa bumbu pacaran tentunya. :”)
                Hari ini, dalam dekap Bunda aku membenahi semua luka yang pernah singgah, cinta yang pernah datang meski sesaat. Juga nanah yang mengalir tanpa jera. Melumuri semuanya dengan cinta tunggal seperti seharusnya. Disana, seorang lelaki teduh telah menjabat tangan Ayah untuk sebuah ritual serah terima amanah. Seorang lelaki teduh yang dengan lantang menyuarakan cinta di masjid agung kota. Melalui sound system masjid, suaranya menggema hingga beranda rumah, tempat saya menunggu dalam doa. Dalam ikrarnya aku mendengar suara surga,
                “Saya terima nikah dan kawinnya Annisa Kurnia Ardanvi Binti Yanuardi Nugraha dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai!”
                Ikrar penjemputan atas sebuah penantianku selama ini. :’) Menantinya dibatas waktu.

    Minggu, 04 Agustus 2013
    Risa Rii Leon
     

  2. 0 comments: