Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
blackphp.wordpress.com |
Kata orang untuk merasakan cinta
harus ada luka yang menyapa terlebih dahulu. Mungkin benar, terluka hingga
berdarah darah untuk dapat merasakan dicintai dengan sungguh.
Aku pernah mencintai tiga lelaki.
Tidak sekaligus tentunya, hatiku tak cukup luas untuk menampung banyak orang
disana. Disana, ada interval waktu dalam setiap jalinan kasih.
Yang pertama, menghilang tanpa
jejak. Kisah kami membaur terbawa angin. Tak tersisa kata pisah atau janji
untuk kembali. Serupa dua Romeo dan Juliet yang kehilangan Shakespheare sebelum
mereka sempat berucap cinta. Kandas tanpa bekas, namun luka tetap merembes
penuh nanah.
Cinta yang kedua, pergi untuk
selamanya. Meski sejatinya kami tak ingin berpisah, namun apa daya. Skenario
kehidupannya telah tamat tertabrak kereta api malam. Babak akhir panggung
hidupnya terpentaskan bersama terkuburnya jasad yang kini berbaur tanah.
Kenyataan yang menyesatkanku dalam labirin kehampaan untuk sekian tahun.
Menyisakan lubang hati yang kosong termakan ngengat kenangan.
Lelaki ketiga yang datang seperti
komah. Menghilang sesaat lalu kembali, bersama cinta yang lain. Pahit.
Menyakitkan. Dan mengkambinghitamkan cinta atas segala perih dan lebamnya hati,
itu bukan solusi. Mungkin memang harus sendiri. Mungkin jodohku tak disini.
Jodohku tidak dilangit yang sama denganku. Barangkali.
Tepatnya aku enggan jatuh cinta
lagi. Enggan terluka dan terkhianati lagi. Enggan bermimpi mengenai cinta
Romeo. Enggan meratap hingga menjadi majenun. Enggan menjadi Sumila dalam
balada cintanya. Biarlah menjadi stupa dalam kawah accapela hati. Menjadi peran
utama dalam drama sebuah penantian.
Roda terus berputar, daun
beringinpun kian meranggas. Dan semua terjadi. Begitu saja. Sebuah pencabutan
ikrar yang tak terelakkan lagi. Ketika satu akar menjulur diatas kepalanya yang
terhias peci, aku mulai membuka hati.
Mei musim lalu, ia bertandang ke rumah
dengan sebuah wajah baru. Seorang yang lama bermukim di ruang memori cadangan. Seorang
yang menetap dalam bumi kenangan. Lelaki beringin dengan tatapan super teduh. Hadir
bukan untuk menjeratku, bukan untuk menatapku, namun menuntunku. Kemana? Lebih
dari sekedar menerbangkan harapan menuju ketidakpastian sebab sebagian diri
salah mengartikan perhatian. Tapi Dia hanya menawarkan penjagaan atas sebongkah
hati yang telah mencurinya sejak jaman putih abu – abu.
“Perempuan-perempuan yang keji
adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk
perempuan-perempuan yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk perempuan-perempuan
yang baik (pula).” Sebuah bisikkan yang menjembatani bekerjanya nalarku. Betapa
jodoh itu sangat dekat. Melekat dalam diri tanpa harus mencari. Ya, kamu hanya
perlu menjadi untuk bertemu dengannya. Menjadilah baik maka kamu akan bertemu
dengan jodoh yang baik. Bukankah Tuhan sangat demokratis? :”)
Dan ternyata jodoh itu kita yang
menentukan, Tuhan semata hanya memilihkan. Ya, jodoh adalah pilihan kita yang
disetujui Tuhan. Memilihkan yang tepat dan terbaik sebagai cerminan atas diri
kita. Sejenis kaca yang membiaskan bayangan diri. Sayangnya manusia seringkali
lupa memilih jalan yang tepat untuk menentukkan jodoh. Lupa bahwa jodoh tidak
serupa dengan ikatan yang menjerat hingga lupa hakekat sebuah cinta. Sebuah ikatan
yang terserang syahwat semata. Sebab jodoh tidak serupa dengan hubungan menahun
yang terbangun sebab kebiasaan bersama. Menjanjikan kesetiaan abadi kepada
makhluk selain Yang Maha Setia. Sebab jodoh tidak melulu soal bersama, bertemu,
dan saling mencinta tanpa pernah menyeru pada Dia yang mencipta cinta. Dia,
sumber dari segala sumber cinta. Dan terluka karena cinta itu sebenarnya tidak
ada, hanya saja manusia yang lupa mendasari pemilihan cinta dengan Sang Maha
Cinta. Itu saja. Sebab cinta senantiasa membawa kebaikan.
Insan dalam memori cadangan itu kini
bersimpuh dalam ruang utama. Lelaki teduh dengan bibir basah oleh ayat.Nya.
Lelaki teduh yang tak pernah berkata cinta kala berdua, tak pernah meneriakkan
cinta didepan khalayak ramai, dia hanya menyertakan mahar dihadapan keluarga
besar. Tak menjanjikanku emas dan sutera, hanya menuntunku menuju surga.Nya.
Tanpa ikatan yang menjerat sebagai perantaranya. Tanpa status tak jelas
sebelumnya. Tanpa bumbu pacaran tentunya. :”)
Hari ini, dalam dekap Bunda aku
membenahi semua luka yang pernah singgah, cinta yang pernah datang meski
sesaat. Juga nanah yang mengalir tanpa jera. Melumuri semuanya dengan cinta
tunggal seperti seharusnya. Disana, seorang lelaki teduh telah menjabat tangan
Ayah untuk sebuah ritual serah terima amanah. Seorang lelaki teduh yang dengan
lantang menyuarakan cinta di masjid agung kota. Melalui sound system masjid, suaranya menggema hingga beranda rumah, tempat
saya menunggu dalam doa. Dalam ikrarnya aku mendengar suara surga,
“Saya terima nikah dan kawinnya Annisa
Kurnia Ardanvi Binti Yanuardi Nugraha dengan mas kawin seperangkat alat shalat
dibayar tunai!”
Ikrar penjemputan atas sebuah
penantianku selama ini. :’) Menantinya dibatas waktu.
Minggu,
04 Agustus 2013
Risa
Rii Leon
0 comments:
Post a Comment