Rss Feed
  1. Diorama Hujan

    Friday 8 November 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Jumat, 08 Nopember 2013


    Diorama Mereka


                “Sa, ke eNHa yuk!” ajaknya penuh antusias.
                “Eh? Haha ayok. Aku tak ambil mukena dulu!”
                “Ok!”
                Air masih jatuh cinta dengan tanah saat kami melenggang menuju bangunan megah dekat gedung ormawa fakultas kami. Dan kami masih terlalu bahagia untuk tidak menerjang bersama. Dengan tas putih kumalnya, kami melenggang dalam percik air. Ya, ada adegan yang saya sebut ‘so sweet’. Gerimis menjadi kian manis saja, celetukku.
                “Memasuki mall!” selorohnya tiba tiba.
                “Haha iya!” balasku setuju.
                Gedung ini terlampau mewah untuk sebuah tempat ibadah, ya itu kesan pertama saya pada bangunan megah ini. Indah, mewah, megah. Dan kami menyusuri lorongnya bersama, meski dengan ibadah yang berbeda. Saya membasuh suci, dia berganti busana.
    ^O^
                “Aku enggak kuat untuk tidak berbaring!haha” ucapnya seraya membaringkan raga. Menatap langit langit masjid yang halus berhias pijar lampu. Sementara saya masih asik menatap proses jatuhnya air langit itu. Saya memeluk lutut, dia mendekap kenangan.
                Jadilah kami dua anak manusia yang membuat dinding cengkrama dipojok temaram masjid. Biarlah mereka memandang apa, biarlah mereka bersuara, biarlah kita tetap dalam cengkrama, begitu katanya.
                “Mana cerita yang aku minta!” tagihnya untuk sebuah kisah manis tentang cinta rasa vanila.
                “Haha kan udah aku upload di blog!”
                “Aku wis enggak gagas blog ki haha.”
                “Haha salahmu nuw!”
                Benar! Dia adalah si angka satu itu. Seorang yang menyebut Tuhan dengan nama berbeda. (Ku yakin ada masanya untuk sama, :”) ) Matanya telah berbinar kembali, menampakkan bias bias manis yang membuatnya seolah par panggung.
                Saya ingat benar. Hari kamis seusai latihan. Dia menuturkan kepatahatiannya, mengisahkan penghianatan tanpa tanda yang datang terlampau cepat dan penuh tiba tiba, mengabarkan langkah merelakannya dengan sesekali air membanjir pipi, lalu mengutarakan kekuatan yang telah terbangun dalam penguapan isak semalam saja.
    ^O^
                Petrichor memang tak sampai pada indra cium kami, namun aroma kenangan menguap dari balik dinding bening itu. Menempelkan diorama diorama bernama “mereka” yang menjadi “kita” bagi gadis ini.
                Si Angka Nol, Perijinan, Dan Ada.
                Seminggu sebelum hari H program kerja regenerasi, waktu yang terlampau mepet untuk mengurus perijinan. Panitia lain yang tak meluangkan waktunya menuju calon TKP, dia yang rela membolos, meluncurlan mereka mendatangi pintu pintu rumah dan banguan untuk segores tinta bernama tanda tangan. Bukan perkara perijinannya, namun perjalanan kesananyalah yang memukau hati. Menyentuh hati menyusupkan kasih. Sederhana saja, cinta hadir berawal dari ‘ada’. Angka Nol ‘ada’ saat Angka Satu membutuhkannya. Menemaninya nyaris dua puluh empat jam. Sarapan, makan siang, makan malam, dan belum lagi masa masa bermain menyusuri jalanan kota.
                Si Angka Nol, rumah, masa lalu.
                Sakit adalah salah satu cara Tuhan menyadarkan kita tetang kesehatan juga tentang banyak perhatian dari insan tersayang. Angka Sepuluh sakit, tidak enak badan katanya. Dan kamu tahu Obat paling mujarab tanpa label generik untuk si sakit? Semata dan hanya perhatian, ketulusan, dan kehadiran insan tersayang. Angka Satu hadir, mengetuk pintu rumah berbekal seplastik buah juga sayang yang melimpah.
                “Masa Lalunya nda pernah gitu lo mba sama Angka Nol.” Ucap Ibu Angka Sepuluh menyambut kedatangan Angka Satu.
                “Hehe.” Cengiran kuda poni membantunya meredam salah tingkah.
                Dan rumah itu menjadi kian hangat. Terisi perhatian dan harap dari dua anak manusia. Harap dan ikhtiar untuk dimampukan menjadi rumah untuk masing masing dari mereka. Tak Cuma persinggahan dalam pernjalanan menjadi ‘utuh’.
                Si Angka Nol, SPJ, Atap.
                “Aku pusing banget!” seru Angka Satu melirik SPJ yang juga terselesaikan, sementara si Penggarap hampir menyerah.
                “Ayo main!” Ajak Angka Nol dengan alis naik tiga kali.
                Dengan atap atap gedung yang menyebar sejauh pandang, berkas berkas SPJ yang bertumpukan tanpa kerapihan, dan Angka Nol yang sebuk menyita kenangan dalam file jpg. Menggunakan lensa kamera mengabadikan masa.
                Kedai makan dipinggir jalan resmi menjadi bagian dari kisah mereka. Memberi seklumit manis pada keduanya.
                Malam, Beda, dan Spasi.
                Saya masih di Tawangmangu, mengikuti kepelatihan karakter sebagai delegasi. Terbangun pukul dua pagi sebab sebuah pesan masuk tanpa permisi. Pesan dengan derai emoticon berair mata. Angka sepuluh itu terpisah spasi bernama beda. Bukankah tak seharusnya ada spasi diantara keduanya? Bukankah seusai kata ‘antar’ tak ada spasi, apalagi ini hubungan antarhati. Malam itu angka sepuluh resmi terpisah. Dipisah tepatnya.
                Media Social, Angka Nol, dan Move On.
                “Dpnya udah ganti Sa!Haha.” Ucapnya dengan tawa menggema.
                “Secepat itu?”
                “Iyaa haha.”
                “Hwah ayo Move On!” Ajakku segera.
                “Proses kak!”
                Begitulah, secepat embun menghilang dalam pagi, secepat itu Angka Nol mendapat pengganti, dan sejauh ini sudah lebih dari tiga kali. Aih miris nian, semudah itukah berganti hati?! Atau itu bentuk kebohongan diri? Entahlah. Yang saya tahu, tugas saya ialah tetap membuat Angka Satu berdiri dalam duri harinya. Meniti langkah tertatih dalam kepatahatian.
                Berbeda dengan hujan sore yang bertanda, berkode melalui angin kencang dan guguran daun jati, ia pergi tanpa permisi, tanpa aba aba meski rasa Angka Satu masih penuh bunga.
                Menangisinya sepanjang masa tak akan mengembalikan masa berbunga. Mengejarnyapun hanya memupus asa. Dan disinilah ia kini, bersama saya memandangnya dengan merdeka dalam diorama rasa. Rekaan adegan yang terabadikan dalam hujan sore. Diorama hujan yang membuatnya belajar untuk tepat memilih di kemudian. :”)
    ^O^
                “Ka, perkara menyembuhkan dan melupakan luka itu perkara waktu, dan itu sangat berbeda dengan menggantinya dengan yang baru. Waktu dan ikhlas adalah kolaborasi hebat untuk move on. Mengganti dengan yang baru itu perkara sudah siap membangun rumah kembali :”) diatas banyak luka yang sempat singgah.” Seulas kata yang terwakili dalam langkah bersama kami menuruni anak anak tangga masjid kampus. :”) empat puluh menit menjelang shalat magrib. :”)
               "Dan jika masih melakukan dengan cara yang salah, maka kamupun akan bertemu dengan orang yang salah lagi." begitu kira kira.
               




  2. 0 comments: