Rss Feed
  1. Untuk Perempuan dalam Pelukan

    Tuesday, 14 July 2015



                Tak terasa gelap pun jatuh
                Diujung malam menuju pagi yang dingin
                Hanya ada sedikit bintang malam ini
                Mungkin karena kau sedang cantik cantiknya

                Lalu mataku merasa malu
                Semakin dalam ia melukai ini
                Kadang juga ia takut
                Tatkala harus berpapasan ditengah pelariannya
                Di malam hari
                Menuju pagi
                Sedikit cemas, banyak rindunya
                
                By Bang Is Payung Teduh
    .:::::::.
                Saya memanggilnya Perempuan Malam, lebih tiga per empat malam tepatnya. Tatkala banyak kubu berdiri menentukan perihal dimana letak sepertiga malam, ia adalah yang paling lama menjamahi malam. Selaras pada masa yang terus berdetak menuju kerentaan malam. Ia, resmi di peluk malam.
                Menghayati setiap laku dalam buai sujud panjang. Melunasi masa menuju pagi yang kian berkabut. Tanda bahwa ada dingin yang siap menyambut di dininya hari, tapi cukup diselimuti beberapa bintang untuknya. Membiarkan sedikit hangat untuknya bercumbu denga syukur atas nikmat hidup yang tak terhitung.
                Cantik. Sungguhan. Asli. Tanpa buatan.
                Setiap ritual itu ia tegakkan, cahaya itu bertambah. Benar! Tak perlu banyak bintang untuk melalui hari ini, sebab dia adalah satu yang paling terang.
                Dalam rengkuhang selimut beludru, saya meresapi tetes – tetes doanya. Terkadang dengan tidak tahu dirinya, berharap ia akan segera mengajakku serta menegakkan sepertiga malam itu. Ahhh laki – laki memang tak pernah rela untuk beranjak dewasa, bahkan perkara vertikal semacam ini masih minta diingatkan.
                Tidak juga sebenarnya, saya hanya enggan melewatkan prosesi cantiknya dalam balut kesahajaan doa. Air mata kekuatan dan pengarapan yang belum tentu dengan jujur ia hadapkan padaku. Khawatir membebaniku katanya, entahlah. Tapi sekalipun itu berbagi beban, selama itu dengan perempuan ini, saya tak pernah ragu menerimanya.
                Tak hanya itu, saya juga enggan melewatkan panggilan lembutnya.  Mengusap sisi kanan kepalaku penuh cinta, mengingatkan untuk tak lena pada mimpi dan lupa pada langkah perbaikan. Tuhan, apakah langit tidak kehilangan satu bidadari surgaMu? Atau memang sengaja Engkau mengutus perempuan ini untuk membersamaiku menujuMu? Ahh ya, ijinkan saya menjaganya.
                “Sayaang.. bangun yuk. Shalat dulu.!” Bisiknya seusai dengan ritual.
                Maka dengan nistanya, saya akan berpura – pura baru tersadar dari mimpi. Menegakkan punggung lantas mengecup kening itu, memastikan tak ada kerut ketakutan singgah di sana.
                Sebenarnya, tak sekalipun ketakutan itu nyata tersurat. Sepertiga malam selalu memberikan obat penenang untuknya. Pelarian terbaik dan ternyaman tempat ia rela terkurung selamanya.

                Meski agak mengerikan, kerap saya takut kehilangan dia tanpa aba – aba. Kecemasannya pada saya, tidak pernah lebih besar dari rindunya pada surga. Saya takut, ia diambil Tuhan terlalu cepat. Sekarang saya paham, betapa brengsek sekaligus pengayomnya Jaka Tarub. Brengsek sebab tidak membiarkan bidadarinya pulang, pengayom betapa ia berupaya keras menjaga Nawangsari.

  2. 0 comments: