Tak terasa gelap pun jatuh
Diujung malam menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik cantiknya
Lalu mataku merasa malu
Semakin dalam ia melukai ini
Kadang juga ia takut
Tatkala harus berpapasan ditengah pelariannya
Di malam hari
Menuju pagi
Sedikit cemas, banyak rindunya
By Bang Is Payung Teduh
.:::::::.
Saya memanggilnya Perempuan Malam, lebih tiga per empat
malam tepatnya. Tatkala banyak kubu berdiri menentukan perihal dimana letak sepertiga
malam, ia adalah yang paling lama menjamahi malam. Selaras pada masa yang terus
berdetak menuju kerentaan malam. Ia, resmi di peluk malam.
Menghayati setiap laku dalam buai sujud panjang. Melunasi
masa menuju pagi yang kian berkabut. Tanda bahwa ada dingin yang siap menyambut
di dininya hari, tapi cukup diselimuti beberapa bintang untuknya. Membiarkan
sedikit hangat untuknya bercumbu denga syukur atas nikmat hidup yang tak
terhitung.
Cantik. Sungguhan. Asli. Tanpa buatan.
Setiap ritual itu ia tegakkan, cahaya itu bertambah.
Benar! Tak perlu banyak bintang untuk melalui hari ini, sebab dia adalah satu
yang paling terang.
Dalam rengkuhang selimut beludru, saya meresapi tetes –
tetes doanya. Terkadang dengan tidak tahu dirinya, berharap ia akan segera
mengajakku serta menegakkan sepertiga malam itu. Ahhh laki – laki memang tak
pernah rela untuk beranjak dewasa, bahkan perkara vertikal semacam ini masih
minta diingatkan.
Tidak juga sebenarnya, saya hanya enggan melewatkan
prosesi cantiknya dalam balut kesahajaan doa. Air mata kekuatan dan pengarapan
yang belum tentu dengan jujur ia hadapkan padaku. Khawatir membebaniku katanya,
entahlah. Tapi sekalipun itu berbagi beban, selama itu dengan perempuan ini,
saya tak pernah ragu menerimanya.
Tak hanya itu, saya juga enggan melewatkan panggilan
lembutnya. Mengusap sisi kanan kepalaku
penuh cinta, mengingatkan untuk tak lena pada mimpi dan lupa pada langkah
perbaikan. Tuhan, apakah langit tidak kehilangan satu bidadari surgaMu? Atau
memang sengaja Engkau mengutus perempuan ini untuk membersamaiku menujuMu? Ahh
ya, ijinkan saya menjaganya.
“Sayaang.. bangun yuk. Shalat dulu.!” Bisiknya seusai
dengan ritual.
Maka dengan nistanya, saya akan berpura – pura baru
tersadar dari mimpi. Menegakkan punggung lantas mengecup kening itu, memastikan
tak ada kerut ketakutan singgah di sana.
Sebenarnya, tak sekalipun ketakutan itu nyata tersurat.
Sepertiga malam selalu memberikan obat penenang untuknya. Pelarian terbaik dan
ternyaman tempat ia rela terkurung selamanya.
Meski agak mengerikan, kerap saya takut kehilangan dia
tanpa aba – aba. Kecemasannya pada saya, tidak pernah lebih besar dari rindunya
pada surga. Saya takut, ia diambil Tuhan terlalu cepat. Sekarang saya paham,
betapa brengsek sekaligus pengayomnya Jaka Tarub. Brengsek sebab tidak
membiarkan bidadarinya pulang, pengayom betapa ia berupaya keras menjaga
Nawangsari.
0 comments:
Post a Comment