Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Jumat, 03
Juli 2015
rumahmu |
Tepat pukul 1.23 WIB, saya
terbangun, as always as. Dengan mata berkaca memeluk bantal. Mengingatmu yang
entah sedang berada di belahan bumi mana. Di hari biasa, hanya ada satu obat
menemuimu, menegakkan sepertiga malam lantas mengumandangkan percakapan dengan
Tuhan. Melegakan segala kekhawatiran pada mu yang sedang sibuk mencipta
perjalanan. Tapi kali ini, tidak bisa. Sebagai perempuan akan ada masanya,
merindukan sujud – sujud panjang sementara sang bulan belum juga beranjak dari
tanggal. Maka ijinkan saya menuliskan ini. Tidak! Kamu tidak harus menjawabnya
sekarang, namun kelak, saat kamu selesai membaca ini. Maukah engkau segera
pulang?
Kamu benar. Saya terbangun dalam
ketakutan. Lebih dari ketakutan saya pada sosok badut dan sirine ambulance.
Saya takut, kalau kamu lupa pulang, lupa jalan ke rumah, atau lebih parah. Kamu
lupa pada rumahmu. Saya takut kamu melupakan kaitan dua kelingking dalam pamit
perjalananmu di semesta ini.
“Saya akan segera pulang!” lirihmu
dalam genggam meyakinkan saya.
“Semoga.” Setetes harap yang nyata
mengaburkan pandang saya pada langkahmu menempuh perjalanan.
^O^
Tak apa, kamu tidak salah! Saya
memang penakut. Ketakutan yang katamu tak layak di ungkapkan? Ketakutan yang
seharusnya untuk usia saya sudah tak lagi jadi soal? Arrrghhh! Bukankah
ketakutan memang selalu menemani hidup? Saya dan kamu tak akan pernah bisa lari
darinya, sekalipun kamu selalu menampakkan keberanian. Tilik hatimu, tanya
nuranimu. Tidak adakah setitik ketakutan ada di sana?
Dalam berbagai wujud, ketakutan
selalu menghantui manusia, sahabat setia dari gua garba hingga liang lahat.
Adakah bagian dari perjalalanan hidup ini yang terlepas dari ketakutan?
Lihatlah! Semua tindakan yang dilakukan semua manusia pada hakikatnya adalah
demi membebaskan diri dari semua rasa takut. Orang bekerja keras, berkeluarga,
membesarkan anak, melakukan investasi, membeli asuransi, semua itu demi
sejumput rasa aman bukan?
Lantas, apa motif perjalananmu
sejauh ini, Bolang? Perpindahanmu dari satu titik ke titik lain. Perjumpaanmu
dengan satu insan ke insan lain. Perdamaianmu dari satu kondisi dengan kondisi
lain. Penerimaanmu dengan satu kearifan lokal setiap tempat. Juga pandangmu
pada satu lokasi dengan lokasi lain. Pun pada siklus ketakutan kenyamanan ke siklus
ketakutan kenyamanan lain.
Tepat! Perjalanan mampu menjadi
pelarian dari rasa takut ataupun untuk menemukan cara membunuh rasa takut. Kita
sesama Bolang, bocah petualang atau bocah hilang yang sedang menciptakan alasan
untuk menghabiskan waktu. Membuat perjalanan sejauh atau senikmat mungkin.
Sejauh pandang mata, senikmat langkah hati. Keduanya sama – sama membuat ingat
tentang rumah menjadi sedikit.
Jika perjalananmu untuk mencari
sejumput rasa aman dan nyaman, bisakah saya memintamu pulang? Sesegera mungkin
tanpa melupakan kehati – hatian? Sungguh! Saya mulai khawatir kamu lupa pada
jalan pulang, lupa pada rumahmu. Sebab saya yakin, dalam perjalanan yang kamu
ciptakan banyak jalan yang membingungkan, kelak – kelok yang memusingkan dan
merujuk pada sesat. Sebab saya tidak ragu, dalam perjalanan yang kamu ciptakan
telah kamu temukan rumah yang lebih indah dan mewah dari rumah cemara kita.
Saya paham, kamu hanya ingin
melakukan perjalanan itu saja. Bukan perkara koordinat mana yang kamu tuju.
Seolah membiarkan dirimu tersesat, padahal kamu tahu dengan pasti kemana
langkahmu membawa. Lantas dalam banyak cabang, kamu mencari dan memilih yang
tepat. Tapi, bukankah sebaik – baik perjalanan adalah yang membuatmu tahu kapan
waktu untuk pulang? Saya fikir, sudah saatnya kamu pulang. :”)
Sebab, lebih dari sekedar
perpindahan yang kamu tempuh. Perjalanan hidup adalah sinema. Bahkan lebih
mengerikan. Darah adalah darah, dan tangis adalah tangis. Tak ada pemeran
pengganti yang akan menanggung sakitmu. Dan sebagai rumah, saya tidak mau
peranmu digantikan siapapun yang mengajak singgah.
Dan pulang adalah tentang saya, kamu
serta kita.
Saya dan kamu yang masih mencari
jalan pulang bernaung kita. Membangun rumah kebersamaan fi sabilillah. Memasrahkan
langkah pada Ia yang Esa. Merapalkan bait bait doa, semoga aku dan kamu mampu
menjadi rumah untuk kita kelak. Rumah utuh yang jauh dari rapuh. Rumah indah
namun bukan tempat singgah. Mari pulang :”)
0 comments:
Post a Comment