Rss Feed
  1. Kapan kamu pulang?

    Wednesday, 8 July 2015

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Jumat, 03 Juli 2015

    rumahmu

                Tepat pukul 1.23 WIB, saya terbangun, as always as. Dengan mata berkaca memeluk bantal. Mengingatmu yang entah sedang berada di belahan bumi mana. Di hari biasa, hanya ada satu obat menemuimu, menegakkan sepertiga malam lantas mengumandangkan percakapan dengan Tuhan. Melegakan segala kekhawatiran pada mu yang sedang sibuk mencipta perjalanan. Tapi kali ini, tidak bisa. Sebagai perempuan akan ada masanya, merindukan sujud – sujud panjang sementara sang bulan belum juga beranjak dari tanggal. Maka ijinkan saya menuliskan ini. Tidak! Kamu tidak harus menjawabnya sekarang, namun kelak, saat kamu selesai membaca ini. Maukah engkau segera pulang?
                Kamu benar. Saya terbangun dalam ketakutan. Lebih dari ketakutan saya pada sosok badut dan sirine ambulance. Saya takut, kalau kamu lupa pulang, lupa jalan ke rumah, atau lebih parah. Kamu lupa pada rumahmu. Saya takut kamu melupakan kaitan dua kelingking dalam pamit perjalananmu di semesta ini.
                “Saya akan segera pulang!” lirihmu dalam genggam meyakinkan saya.
                “Semoga.” Setetes harap yang nyata mengaburkan pandang saya pada langkahmu menempuh perjalanan.
    ^O^
                Tak apa, kamu tidak salah! Saya memang penakut. Ketakutan yang katamu tak layak di ungkapkan? Ketakutan yang seharusnya untuk usia saya sudah tak lagi jadi soal? Arrrghhh! Bukankah ketakutan memang selalu menemani hidup? Saya dan kamu tak akan pernah bisa lari darinya, sekalipun kamu selalu menampakkan keberanian. Tilik hatimu, tanya nuranimu. Tidak adakah setitik ketakutan ada di sana?
                Dalam berbagai wujud, ketakutan selalu menghantui manusia, sahabat setia dari gua garba hingga liang lahat. Adakah bagian dari perjalalanan hidup ini yang terlepas dari ketakutan? Lihatlah! Semua tindakan yang dilakukan semua manusia pada hakikatnya adalah demi membebaskan diri dari semua rasa takut. Orang bekerja keras, berkeluarga, membesarkan anak, melakukan investasi, membeli asuransi, semua itu demi sejumput rasa aman bukan?
                Lantas, apa motif perjalananmu sejauh ini, Bolang? Perpindahanmu dari satu titik ke titik lain. Perjumpaanmu dengan satu insan ke insan lain. Perdamaianmu dari satu kondisi dengan kondisi lain. Penerimaanmu dengan satu kearifan lokal setiap tempat. Juga pandangmu pada satu lokasi dengan lokasi lain. Pun pada siklus ketakutan kenyamanan ke siklus ketakutan kenyamanan lain.
                Tepat! Perjalanan mampu menjadi pelarian dari rasa takut ataupun untuk menemukan cara membunuh rasa takut. Kita sesama Bolang, bocah petualang atau bocah hilang yang sedang menciptakan alasan untuk menghabiskan waktu. Membuat perjalanan sejauh atau senikmat mungkin. Sejauh pandang mata, senikmat langkah hati. Keduanya sama – sama membuat ingat tentang rumah menjadi sedikit.
                Jika perjalananmu untuk mencari sejumput rasa aman dan nyaman, bisakah saya memintamu pulang? Sesegera mungkin tanpa melupakan kehati – hatian? Sungguh! Saya mulai khawatir kamu lupa pada jalan pulang, lupa pada rumahmu. Sebab saya yakin, dalam perjalanan yang kamu ciptakan banyak jalan yang membingungkan, kelak – kelok yang memusingkan dan merujuk pada sesat. Sebab saya tidak ragu, dalam perjalanan yang kamu ciptakan telah kamu temukan rumah yang lebih indah dan mewah dari rumah cemara kita.
                Saya paham, kamu hanya ingin melakukan perjalanan itu saja. Bukan perkara koordinat mana yang kamu tuju. Seolah membiarkan dirimu tersesat, padahal kamu tahu dengan pasti kemana langkahmu membawa. Lantas dalam banyak cabang, kamu mencari dan memilih yang tepat. Tapi, bukankah sebaik – baik perjalanan adalah yang membuatmu tahu kapan waktu untuk pulang? Saya fikir, sudah saatnya kamu pulang. :”)
                Sebab, lebih dari sekedar perpindahan yang kamu tempuh. Perjalanan hidup adalah sinema. Bahkan lebih mengerikan. Darah adalah darah, dan tangis adalah tangis. Tak ada pemeran pengganti yang akan menanggung sakitmu. Dan sebagai rumah, saya tidak mau peranmu digantikan siapapun yang mengajak singgah.
                Dan pulang adalah tentang saya, kamu serta kita.

                Saya dan kamu yang masih mencari jalan pulang bernaung kita. Membangun rumah kebersamaan fi sabilillah. Memasrahkan langkah pada Ia yang Esa. Merapalkan bait bait doa, semoga aku dan kamu mampu menjadi rumah untuk kita kelak. Rumah utuh yang jauh dari rapuh. Rumah indah namun bukan tempat singgah. Mari pulang :”) 

  2. 0 comments: