Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Jumat,
14 Februari 2014, membawa Eropa di depan mata,berjarak lima langkah dari pintu
depan asrama. Bersama nafas yang kian sesak, saya melangkah, menginjak tumpukan
abu vulkanik yang merata sebumi jawa. Di sebelah timur sana, di Kota Malang,
gudang ragam keripik buah itu, Sang Kelud bererupsi. Sungguh, bukan sebab ia
emosi pada manusia, dia hanya sedang beradaptasi, menyeimbangkan diri
barangkali.
Pukul 23.04 WIB, kaca kaca asrama bergetar, dinding pun ikut bergetar, juga
pepohonan sekelilinya, ya alam bergetar setelah sebuah gemuruh mengisi ruang
dengar manusia yang masih terjaga. Ada apa? Batinku. Erupsikah? Ombak
Pantaikah? Ya, Rabb, lindungi kami. Ketersediaan media komunikasipun menjadi
tepat guna, ketika sebuah kabar dari kota sebelah langsung terupdate dalam hitungan detik. Timeline sosial media memberitakan
banyak hal tentang gemuruh dan getaran tadi. Asap Erupsi Kelud Mencapai 3000
meter. La haula wala quwwata illa billah.
Seorang pelajar tidak akan mungkin duduk di sebuah kelas, melainkan dengan
pertolongan.Nya. Seorang guru tidak mungkin dapat mengajarkan ilmu yang
bermanfaat, melainkan dengan pertolongan.Nya. Seorang medic tidak akan mungkin
menyembuhkan pasiennya, melainkan dengan pertolongan.Nya. Termasuk, seorang
‘anda’ tidak mungkin mampu membaca postingan ini, melainkan sebab pertolongan.Nya.
Sederhananya, melalui erupsi eksplosif setinggi tiga ribu meter dari Gunung
Kelud, Allah sedang menyapa kita, mengingatkan kita akan ketakberdayaan kita,
maka apa yang perlu disombongkan dari kita?
Keindahan fisik? Bukankah seiring pertambahan usia, ia akan menguap begitu
saja? Bahkan lipatan lipatan di kulit tidak akan terbohongi oleh krim
penghilang tujuh tanda penuaan dini. Gelimangan harta? Akankah hartamu mampu
menyuap Izrail untuk membiarkanmu hidup lebih lama? Kedudukan tinggi?
Mungkinkah janji janji manis yang biasa dilontarkan sebelum resmi menjabat itu
berlaku untuk merayu Ridwan membukakan pintu yang ia jaga untukmu?
Bukankah Tuhan masih menegur
dengan cukup sopan?
Melalui
gemuruh tengah malam dari liang bumi di seberang kota.
Sebab
manusia itu tanpa daya, dan Tuhan itu Maha Daya.
Bukankah Tuhan masih menegurmu dengan cukup sopan?
Melalui langkah langkah kecil dari mereka yang terevakuasi.
Sebab manusia memang harus mulai beradaptasi.
Dari
sekian banyak dampak negatif dari aktivitas vulkanisme (keluarnya magma dari
perut bumi/dapur magma) dari Gunung Kelud (13/02/2014) , juga aktivitas
tektonisme (perubahan atau gerakan lapisan bumi secara horisontal dan vertikal,
baik berupa patahan atau lipatan) di barat daya Kebumen (25/01/2014), bukankah
masih ada banyak dampak positif yang membersamainya?
Mungkin memang banyak kerusakan lahan, bangunan kotor oleh abu hingga roboh
sebab gempa, tapi dengan peristiwa erupsi eksplosif Allah memberikan pupuk alam
yang merata sepanjang Jawa bahkan hingga Bali. Manusia mana yang mampu memberi
pupuk gratis dan merata untuk semua warga Jawa Bali? Bahkan Allah menyertakan
barang tambang yang bisa menunjang pembangunan yang lebih baik, menyertakan air
langit untuk membersikan udara dari kawanan debu yang beterbangan. Subhanallah.
:”)
Mungkin memang banyak warga yang mengungsi dan mengeluhkan keadaan, bertanya
mengapa harus kami, namun dalam kesesakan itu mereka akan meneteskan air mata
haru. Mengingat ladang mereka yang kelak akan subur, mengingat kebersamaan
dalam camp pengungsian, mengingat uluran tulus dari rekan relawan, juga
mengingat keberuntungan mereka sebab oksigen masih gratis hingga saat ini.
Allahu Akbar :”)
“Semua bencana alam yang terjadi di Indonesia saat ini, dari mulai banjir,
gempa, gunung meletus,
kebakaran
hutan, lumpur lapindo, dan yang lainnya, itu adalah aktivitas penyeimbangan
alam. Bahwa alam sedang menuju titik stabilitas.” Ujar seorang rekan dalam
sebuah obrolan.
Hmmm, saya sependapat.
Memasang cermin, dan memandang bayangan di depan mata itu, sebuah refleksi tentang
diri manusia. Manusia sekarang yang kian tak ramah pada alam. Mengambil barang
alam tanpa mengindahkan pelestariannya. Menggunakan bahan alam tanpa
mengindahkan analisis dampak lingkungan. Menebang pohon tanpa menggantinya
dengan bibit baru. Menanami tanah tanpa melakukan rotasi tanaman hingga
menghabiskan unsur hara tanah. Mengeruk pasir hingga batas permiable, lupa
bahwa tak hanya manusia yang butuh pasir untuk membangun peradaban, biota
airpun membutuhkan pasir untuk menjaga mereka dari kepunahan.
Bersama kuatnya arus banjir, alam hendak membersihkan sampah sampah yang
menyumbat laju irigasi sebab aktivitas manusia yang lupa diri (membuang sampah
tidak pada tempatnya, menutup lahan serap air dengan gedung bertingkat).
Bersama letusan gunung berapi, alam sedang menyuburkan diri sebab manusia yang
tak lagi peduli pada kesuburan tanah tempat para tanaman tumbuh. Bersama
aktivitas tektoniknya, alam sedang menyediakan lahan baru untuk mereka yang
membutuhkan (epirogenetik negatif/ turunnya daratan, misalnya) juga ragam
gejala alam lainnya.
Ingat sebuah dialog langit yang termaktub dalam QS Al – Baqarah ayat 30 ?
“Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Firman.Nya
pada penghuni langit.
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu manusia yang akan
membuat kerusakan dan menumpahkan darah? Padahal kami senantiasa bertasbis
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” tanya malaikat. Membayangkan (jika
mereka beralis) alis mereka bertaut, dan menggumpalkan ragam heran juga rasa
ingin tahu yang tak tertutupi.
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Ujar Allah tak
terbantahkan lagi. Sebab sesungguhnya apa yang diketahui Allah tidak akan
diketahui oleh makhluk ciptaan.Nya kecuali dengan seizin.Nya.
Allah menciptakan manusia dengan akal pikiran yang lebih baik dibandingkan
makhluk lainnya. Sebab dengan nikmat akal, Allah ingin agar manusia menjadi
khalifah/pemimpin di bumi. Bukan untuk saling beradu demi kuasa atau harta
semata, namun banyak berfikir dan banyak bertindak membangun peradaban manusia
yang senantiasa memperbaiki diri, mendekatkan diri pada.Nya. Dan kembali pada
gejala alam yang menyapa di depan mata, Allah mengajak kita untuk bersikap
lebih bijak pada amanah seorang khalifah, sebuah makhluk yang dibekali
kecerdasan akal dan kelengkapan anggota badan.
Bukankah Nabi Adam dan Bunda Hawa telah memberi teladan bagaimana memanfaatkan
nikmat akal ini? Nabi Adam as mengajarkan berkebun pada Qabil, juga mengajarkan
Habil ilmu beternak. Mengajarkan anak anaknya untuk senantiasa melafalkan
syukur kepada.Nya dengan berbagi hasil kucuran keringat mereka kepada makhluk
lain. Memanfaatkan alam dengan cukup tanpa berlebihan, semata mata untuk
kelangsungan hidup sekarang hingga masa depan, sadar penuh bahwa semua adalah
titipan.Nya. Kalau kata orang sekarang, “Kekayaan alam Indonesia adalah milik
para penerus bangsa, kita hanya meminjam dari mereka.” Lantas, haruskah manusia
terus menyita kekayaan alam tanpa tindakan pelestarian? Tak menyisakan
semilimeterpun untuk hidup aman para planton? Atau udara bersih untuk para
pipit?
Atap atap rumah kompleks asrama, atap atap gedung perkuliahan, serta jalan raya
kian memutih. Menebarkan ragam material vulkanik di udara, memotong jarak
pandang menjadi beberapa meter saja,,,dan Tuhan, kian dekat dengan manusia!
Menyapa tiap hari, melebihi detakan nadi :”)
sumber foto: beranda facebook
yang dipenuhi postingan hujan abu.
0 comments:
Post a Comment