Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Senin,
02 Mei 2014
Kebanyakan orang bilang kalau hidup
itu seperti mengendarai sebuah perahu, life is like a boat kalau kata Rei Fu
(ost Bleach) tapi berhubung saya belum pernah merasakan naik perahu ya mohon
maaf jika saya belum sependapat :v Bagi saya yang masih demen naik sepeda,
mengayuhnya lebih tepat. Saya melihat bahwa hidup lebih pada proses mengendarai
sepeda onthel *benerin.kerah.baju.sambil.nglirikVio.
Bersama Vio ada banyak kisah yang
tumbuh seketika. Lebih dari sekedar berangkat siang pulang malam sampai
sanggar, lebih dari berangkat siang pulang malam dari tempat adik les, lebih
dari katarsis kegalauan dari himpitan deadline. Vio mengajak saya untuk lebih
dekat melihat tanpa jarak.
Tanpa halangan kaca mobil, tanpa
halangan kaca helm, tanpa halangan kacamata hitam, Vio benar benar menyajikan
fakta tentang ragam polah manusia. Tentang sesaknya asap polusi, tentang
nanarnya tatap memelas lampu merah, tentang mirisnya isak kelaparan di emperan
toko, tentang riuhnya aksi kontroversial massa berpartai ataupun berkelompok,
juga banyak kenyataan lain yang sering kita lalai saat melihat dari balik kaca
mobil atau helm motor. Tentang jalan pesepeda motor yang dijajah rumah dan toko
tak tau diri misalnya -_-, tentang mobil mobil yang menyalip tanpa peduli
tempat contohnya (bayar pajak mahal bukan berarti jadi seenaknya kan? Pajak
mahal kan sebab polusi yang disebabkan itu lebih besar dari kendaraan lain :P ),
pun tentang klakson klakson sepeda motor yang jauh dari fungsi semestinya.
Memekakan telinga saja!
Saat kebanyakan insan bangga dengan
kendaraan roda empatnya, bagi saya bangga itu saat kita berkeliling kota tanpa
menambah pencemaran udara dengan bersepeda. ^_^
22 Desember 2012 adalah patokan
waktu kebersamaan saya dengan Vio, dan Jumat
kemarin (30 Mei 2014) adalah pelunasan janji saya untuk mengajaknya
berkeliling Solo bersama rekan roda dua tanpa mesin. Last Friday Ride menjadi
wadah saya melunasi janji. Mengajak dua rekan spesial, Nia Disya (adik di
Teater Peron) juga Ian aka Nyan (rekan jalan :D) kami membaur dalam kayuhan.
Melihat ramainya jalan dengan kayuhan roda roda kami, Vio nampak begitu ceria.
Senyum itu tak lepas mewarnai wajahnya. Ada sekawanan laki laki yang barangkali
kelompok pertemanan di sebuah dusun, pasangan muda mudi, hingga seorang bapak
paruh baya dengan sepeda kumbangnya serta dandanan a la jaman kompeni.
Rombongan pesepeda itu mengayuh
bebas, start di Stadion Manahan selepas Isya meluncur lewat Kota Barat hingga
menyusur Slamet Riyadi, lurus ke timur hingga perempatan arah Wonogiri. Melaju
melewati kemewahan The Park dan Hartono Mall, berlanjut kearah Grogol dan
menembus Alun Alun Kidul. Meliuk diantara dinding renta Keraton Kasultanan.
Membabat gelapnya Pasar Klewer sampai bertemu kembali dengan keramaian Slamet
Riyadi, menyapa Patung Slamet Riyadi, melirik Bank Indonesia, dan disanalah
rombongan mulai mengikuti pemberhentiannya masing masing, ada yang terus melaju
hingga manahan, ada yang memilih singgah di Ngarsopuro, pun banyak yang
berhenti di BI :D Saya sendiri bersama dua rekan saya itu kembali ke Manahan.
Melingkarkan jejak, berawal dari Manahan berakhir pun di Manahan :D
Dalam ketidakjelasan koordinasi Last
Friday Ride, ( bahkan saya hanya ikut ikutan rombongan depan saya :D tak ada
aba aba kapan berangkat secara resmi, saya benar benar menjadi kayu dalam arus
sepeda malam itu) banyak sempat guna menggali keyakinan dalam dalam bahwa
terkadang hidup sesederhana mengendarai sepeda onthel. Bahwa harus ada gerak
maju untuk tetap hidup dan berdiri. Melaju dalam peningkatan mutu hidup yang
Cuma satu. Mengayuh sekuat tenaga meski lutut kian mengeluhkan pegal pada
tanjakan pertama, untuk kemudian berpasrah dalam turunan seusai tanjakan.
Life
is riding a biycle, to keep your balance you must keep moving. Hidup itu
seperti mengendarai sepeda, untuk tetap menjaga keseimbangan, kita harus tetap
bergerak maju. Udara, debu, air, juga semua unsur semesta diciptakan untuk
terus bergerak. Udara melalui angin, air melalui ombak. Dan hidup ialah
pergerakan yang seimbang. Keseimbangan yang tercipta atas keoptimalan berikhiar
dan keikhlasan berpasrah. Tanjakan yang berwujud uji kesabaran meminta lutut
untuk lebih giat mengayuh. Turunan yang mengajarkan makna kepasrahan pada
gravitasi dalam pijak syukur. Nyaris semua orang mampu menjaga keseimbangan
tersebut, namun ada beberapa hal yang membedakan setiap orang dalam mengendarai
sepeda hidupnya. Ada yang ketika jatuh masih mampu mengayuh kembali sepedanya
dengan sepenuh tenaga, terus mengayuhnya hingga mencapai garis finish
tujuannya. Pun terkadang ada sering jatuh berkali namun masih tetap semangat,
meyakini bahwa keberhasilan itu bukan tidak pernah gagal namun selalu berhasil
bangun dari keterpurukan. Adapula yang mengisi laju pengendaraan sepedanya
dengan sesekali terhenti untuk sekedar beristirahat atau mengelus pegalnya kaki
mengayuh sepeda. Namun selama ada niat dan ikhtiar untuk bergerak dalam gerak
keseimbangan, ada niat dan ikhtiar untuk menegakkan langkah perbaikan, ada niat
dan ikhtiar untuk tetap mensyukuri tanjakan dan turunan jalan. Mari saling
menumbuhkan harap akan hal itu dalam kayuhan sepeda. Yeah! #KeepPaddling ^_^
0 comments:
Post a Comment