Rss Feed
  1. Last Friday Ride Solo

    Wednesday 11 June 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Senin, 02 Mei 2014


    Foto By Risa Rii Leon


                Kebanyakan orang bilang kalau hidup itu seperti mengendarai sebuah perahu, life is like a boat kalau kata Rei Fu (ost Bleach) tapi berhubung saya belum pernah merasakan naik perahu ya mohon maaf jika saya belum sependapat :v Bagi saya yang masih demen naik sepeda, mengayuhnya lebih tepat. Saya melihat bahwa hidup lebih pada proses mengendarai sepeda onthel *benerin.kerah.baju.sambil.nglirikVio.
                Bersama Vio ada banyak kisah yang tumbuh seketika. Lebih dari sekedar berangkat siang pulang malam sampai sanggar, lebih dari berangkat siang pulang malam dari tempat adik les, lebih dari katarsis kegalauan dari himpitan deadline. Vio mengajak saya untuk lebih dekat melihat tanpa jarak.
                Tanpa halangan kaca mobil, tanpa halangan kaca helm, tanpa halangan kacamata hitam, Vio benar benar menyajikan fakta tentang ragam polah manusia. Tentang sesaknya asap polusi, tentang nanarnya tatap memelas lampu merah, tentang mirisnya isak kelaparan di emperan toko, tentang riuhnya aksi kontroversial massa berpartai ataupun berkelompok, juga banyak kenyataan lain yang sering kita lalai saat melihat dari balik kaca mobil atau helm motor. Tentang jalan pesepeda motor yang dijajah rumah dan toko tak tau diri misalnya -_-, tentang mobil mobil yang menyalip tanpa peduli tempat contohnya (bayar pajak mahal bukan berarti jadi seenaknya kan? Pajak mahal kan sebab polusi yang disebabkan itu lebih besar dari kendaraan lain :P ), pun tentang klakson klakson sepeda motor yang jauh dari fungsi semestinya. Memekakan telinga saja!
                Saat kebanyakan insan bangga dengan kendaraan roda empatnya, bagi saya bangga itu saat kita berkeliling kota tanpa menambah pencemaran udara dengan bersepeda. ^_^
                22 Desember 2012 adalah patokan waktu kebersamaan saya dengan Vio, dan Jumat  kemarin (30 Mei 2014) adalah pelunasan janji saya untuk mengajaknya berkeliling Solo bersama rekan roda dua tanpa mesin. Last Friday Ride menjadi wadah saya melunasi janji. Mengajak dua rekan spesial, Nia Disya (adik di Teater Peron) juga Ian aka Nyan (rekan jalan :D) kami membaur dalam kayuhan. Melihat ramainya jalan dengan kayuhan roda roda kami, Vio nampak begitu ceria. Senyum itu tak lepas mewarnai wajahnya. Ada sekawanan laki laki yang barangkali kelompok pertemanan di sebuah dusun, pasangan muda mudi, hingga seorang bapak paruh baya dengan sepeda kumbangnya serta dandanan a la jaman kompeni.
                Rombongan pesepeda itu mengayuh bebas, start di Stadion Manahan selepas Isya meluncur lewat Kota Barat hingga menyusur Slamet Riyadi, lurus ke timur hingga perempatan arah Wonogiri. Melaju melewati kemewahan The Park dan Hartono Mall, berlanjut kearah Grogol dan menembus Alun Alun Kidul. Meliuk diantara dinding renta Keraton Kasultanan. Membabat gelapnya Pasar Klewer sampai bertemu kembali dengan keramaian Slamet Riyadi, menyapa Patung Slamet Riyadi, melirik Bank Indonesia, dan disanalah rombongan mulai mengikuti pemberhentiannya masing masing, ada yang terus melaju hingga manahan, ada yang memilih singgah di Ngarsopuro, pun banyak yang berhenti di BI :D Saya sendiri bersama dua rekan saya itu kembali ke Manahan. Melingkarkan jejak, berawal dari Manahan berakhir pun di Manahan :D
                Dalam ketidakjelasan koordinasi Last Friday Ride, ( bahkan saya hanya ikut ikutan rombongan depan saya :D tak ada aba aba kapan berangkat secara resmi, saya benar benar menjadi kayu dalam arus sepeda malam itu) banyak sempat guna menggali keyakinan dalam dalam bahwa terkadang hidup sesederhana mengendarai sepeda onthel. Bahwa harus ada gerak maju untuk tetap hidup dan berdiri. Melaju dalam peningkatan mutu hidup yang Cuma satu. Mengayuh sekuat tenaga meski lutut kian mengeluhkan pegal pada tanjakan pertama, untuk kemudian berpasrah dalam turunan seusai tanjakan.
                Life is riding a biycle, to keep your balance you must keep moving. Hidup itu seperti mengendarai sepeda, untuk tetap menjaga keseimbangan, kita harus tetap bergerak maju. Udara, debu, air, juga semua unsur semesta diciptakan untuk terus bergerak. Udara melalui angin, air melalui ombak. Dan hidup ialah pergerakan yang seimbang. Keseimbangan yang tercipta atas keoptimalan berikhiar dan keikhlasan berpasrah. Tanjakan yang berwujud uji kesabaran meminta lutut untuk lebih giat mengayuh. Turunan yang mengajarkan makna kepasrahan pada gravitasi dalam pijak syukur. Nyaris semua orang mampu menjaga keseimbangan tersebut, namun ada beberapa hal yang membedakan setiap orang dalam mengendarai sepeda hidupnya. Ada yang ketika jatuh masih mampu mengayuh kembali sepedanya dengan sepenuh tenaga, terus mengayuhnya hingga mencapai garis finish tujuannya. Pun terkadang ada sering jatuh berkali namun masih tetap semangat, meyakini bahwa keberhasilan itu bukan tidak pernah gagal namun selalu berhasil bangun dari keterpurukan. Adapula yang mengisi laju pengendaraan sepedanya dengan sesekali terhenti untuk sekedar beristirahat atau mengelus pegalnya kaki mengayuh sepeda. Namun selama ada niat dan ikhtiar untuk bergerak dalam gerak keseimbangan, ada niat dan ikhtiar untuk menegakkan langkah perbaikan, ada niat dan ikhtiar untuk tetap mensyukuri tanjakan dan turunan jalan. Mari saling menumbuhkan harap akan hal itu dalam kayuhan sepeda. Yeah! #KeepPaddling ^_^


     

  2. 0 comments: