Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Selasa, 10 Juni 2014
Gedung
itu memanas bukan sebab tentara merah, namun hitam putih yang dirundung emosi.
Larut hingga melebur sebab kebijakan yang katanya tidak bijak. Sebab keadilan
yang katanya tidak adil, hingga mereka sepakat berkata “TIDAK!” penuh
penolakan. Saya? Saya di sana, duduk bersama mereka, mendengarkan juga
menikmati acara. Sayangnya saya tidak lagi sekata. “Audiensi PPG bersama
Dekanat FKIP UNS” begitu judulnya, dengan dua kalimat sponsor “Hadirilah!” dan
“Untuk yang mau tahu cari kejelasan disini.” Saya berangkat sebab merasa
diundang serta merasa butuh tahu. Ditutup dengan senyum manis, saya menggunduh
banyak tanya untuk mereka.
Membuka
beranda dan seketika mendapati menjamurnya hastag #TolakPPG. Hmm helaan nafas
yang semoga memperpanjang sabar. Biar bagaimanapun mereka adalah rekan
seperjuangan, yang mengerjakan tugas bersama, yang mengaminkan perjuangan
bersama, sepertinya ada yang perlu diluruskan mengenai perjuangan nyaris empat
tahun ini.
PPG
atau Pendidikan Profesi Guru adalah rumpun dari program sertifikasi pra
jabatan. Jika dulu kita akrab dengan program PLPG (Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru) yang dilaksanakan 10 hari. PLPG sendiri merupakan program
pelatihan bagi para guru yang bertujuan meningkatkan profesionalitas dan
penghargaan atas profesi yang mereka geluti. Hukum yang mendasari lahirnya
program tersebut adalah Permendiknas No. 18 tahun 2007 tentang sertifikasi bagi
guru dalam jabatan. Peraturan menteri tersebut sedikit menyiratkan bahwa syarat
sertifikasi guru cukup dengan mengumpulkan portofolio dan mengikuti PLPG.
Sayangnya, keberjalanan PLPG jauh dari apa yang diimpikan Pemerintah. Hingga
saat ini meski telah banyak Guru yang mendapat sertifikasi dari rahim PLPG
nyatanya belum ada peningkatan mutu pendidikan yang signifikan. (Peningkatan
kesejahteraan Guru malah yang signifikan -_-) Jika ditilik dalam proses PLPG
wajar saja jika demikian. Asrama selalu penuh dengan lembaran kertas RPP, ragam
media, juga ramainya deringan telefon teman teman sehunian, pun dengan
intensnya mereka menghadap laptop dibanding saat saat kuliah. Fenomena alami
yang pasti terjadi saat musim PLPG, musim “ngjob” katanya. Membuatkan RPP
dengan materi ini, media ini, dikumpulkan jam segini dengan harga segini,
bahkan ada seorang kakak tingkat yang membeli motor dari dana ngjob PLPG :D
Saya sendiri pernah ikut “ngejob”, membuka jasa mengetikan saja tanpa
membuatkan atau memanjakan mereka yang lekas mendapat gelar profesional. See?
Jiwa belajar itu menguap seiring berjalannya usia, hilang sebab iming iming
tunjangan :v.
Berdasarkan hal demikian, Pemerintah
kemudian membuka jalur PPG. Pendidikan Profesi Guru ialah perkuliahan dalam
bentuk workshop dan praktek lapangan selama satu semester (dik) dua semester
(nondik) di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) dalam rangka
meningkatkan keprofesionalan guru. Peserta yang lulus PPG akan diberikan
sertifikat pendidik sebagai peserta yang lulus sertifikasi guru melalui
penilaian portofolio (PF), Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), atau
Pemberian Sertifikat Pendidikan Secara Langsung (PSPL) serta mendapat dua huruf
tambahan sebagai gelarnya, sehingga menjadi S.Pd Gr.
Kembali pada Sertifikasi guru yang
merupakan proses dari pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah
memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan kelayakan
guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, meningkatkan proses
dan hasil pembelajaran, meningkatkan kesejahteraan guru, meningkatkan martabat
guru; dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Sertifikasi
guru pun diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru. Bentuk peningkatan
kesejahteraan tersebut berupa pemberian tunjangan profesi bagi guru yang
memiliki sertifikat pendidik.
Sejauh pembahasan ini, masih ada
kerutan di dahi?
Sederhananya, dengan adanya program
PPG akan ada beberapa point yang jelas berdampak pada dunia pendidikan.
1. Program
PPG adalah program pendidikan yang terbuka untuk peserta dengan basic dik
(Sarjana Pendidikan) serta peserta dengan basic nondik (Sarjana Ilmu Murni dkk),
semacam jembatan umum untuk menjadi Guru.
2. Mulai
wisuda periode Juni 2014 lulusan FKIP tidak akan memperoleh sertifikat akta 4
(sertifikat ijin mengajar). Untuk mendapatkannya harus melalui jalur PPG
bersama dengan para sarjana NonPendidikan yang banting setir menjadi guru.
3. Kelak
akan ada Guru di kelas yang basicnya bukan dari pendidikan.
4. Persaingan
menjadi Guru (Profesional) semakin ketat.
5. Peserta
yang lulus PPG akan mendapat tunjangan sertifikasi.
6. Penyelenggara
PPG adalah LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) bersyarat. (Salah
satunya berasrama).
Lebih jelas lagi lihat permendiknas
nomor 8 tahun 2009. (Iya, ini program yang telah lama diwacanakan, dan baru
akan dilaksanakan insya Allah tahun 2015 kelak, tahun kelulusan saya. aamiin)
Namun, ada kekecewaan bahwa PPG
hanyalah jalur instan menjadi guru yang katanya profesional. Yang menjadi
perhatian dari kalangan akademisi adalah bolehnya sarjana Nonkependidikan untuk
mengikuti program PPG.
Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, Dekan FKIP UNS yang sekaligus ketua FORKOM FKIP Negri se-Indonesia itu mengungkapkan bahwa guru haruslah dididik secara Konkeren. Artinya diharapkan guru harus sesuai dengan disiplin ilmunya. Pak Furqon menambahkan bahwa guru haruslah dibina secara bertahap dan memiliki jiwa ingin mengajar sejak awal. (website BEM FKIP UNS)
Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, Dekan FKIP UNS yang sekaligus ketua FORKOM FKIP Negri se-Indonesia itu mengungkapkan bahwa guru haruslah dididik secara Konkeren. Artinya diharapkan guru harus sesuai dengan disiplin ilmunya. Pak Furqon menambahkan bahwa guru haruslah dibina secara bertahap dan memiliki jiwa ingin mengajar sejak awal. (website BEM FKIP UNS)
Ketika meragukan keprofesionalitasan
pihak nondik (mahasiswa ilmu murni), lantas dianggap apa ajakan Pak Anies
Baswedan dalam raungan Indonesia Mengajarnya itu? Dianggap apa aksi relawan
turun tangan? Aahh bahkan program SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan,Terluar
dan Tertinggal) masih kalah umur dengan IM itu? :”) Misalpun hasil dari relawan
turun tangan itu masih jauh dari kategori membawa peningkatan mutu yang
signifikan, saya kira pihak civitas akademika harus malu saat angkatan pertama
IM tidak ada yang dari latar belakang pendidikan. :”)
Dan sebaiknya memang guru itu harus
dididik secara konkeren, mengajar sesuai disiplin ilmunya, pun dengan adanya
pembinaan bertahap serta memiliki jiwa mengajar sejak awal. Bermula dari
kepemilikan jiwa mengajar sejak awal sehingga niat dan naluri mengajarpun
bertumbuh subur. Dan faktanya, benarkah sejak awal, sejak masa kelulusan putih
abu abu dulu itu kita benar benar meniatkan diri menjadi seorang pendidik?
Hayoo coba saya tanya, pada pilihan keberapa program studi kependidikan itu
kita letakkan? Pertama? Kedua? Ketiga? Wallahu’alam :”)
Jika mengingat awal masuk kuliah
dulu (iya, tiga tahun lalu) masih terngiang ditelinga, hangatnya pernyataan
“salah jurusan!”, “nyasar di keguruan” daaan ya raut raut penyesalan lainnya.
Pun dengan alasan mengapa ingin menjadi guru,
“Jadi guru saja Le/Nduk, sesuk gen
enthuk pensiunan!”
“Jadi guru saja Le/Nduk, sesuk uripe
terjamin.”
“Jadi guru saja Le/Nduk, sesuk
......(intinya ada jaminan kenyamanan hidup di masa senja).
Jujur saja, bahkan saya sendiri
hingga kelas dua SMA tidak membayangkan kuliah di Solo tepatnya di Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Proposal yang saya ajukan kepada Ayah saya adalah
Proposal kuliah Psikologi di UGM untuk kelak menggantikan Kak Seto. :v Sebab
Ayah menolak Yogya, saya pun beralih ke Solo. Setelah konsultasi ke beberapa
pihak terpercaya, saya pun memutuskan memilih dua program pendidikan di
fakultas keguruan ini tanpa meninggalkan minat saya semula (Psikologi Anak :v).
Dalam konsultasi sayapun, saya mendapat banyak masukan mengenai gambaran untuk
masa depan saya, dari mulai profesi apa yang akan saya sandang begitu mendapat
gelar kesarjanaan hingga kenyamanan tunjangan masa pensiun. Point point
pertimbangan yang jauh dari kata Pengabdian dan Kebermanfaatannya Manusia.
Naluri pengabdian itu tumbuh dari
benih keinginan saya menjadi Psikolog. Melihat kondisi masyarakat sekarang ini
sepertinya ilmu Psikis itu sangat membantu untuk saling paham. Bukankah
kebanyakan sakit sekarang ini adalah sakit yang tak berdarah? Yang tak
bernanah? Yang tak nampak namun sangat berdampak? Iya, sejenis stress dan
depresi. -_- Dan menjadi seorang Psikolog membuat saya merasa lebih berguna
dalam mengabdikan diri. Dan dari sana pula keinginan untuk mencerdaskan anak
bangsa saya kandung baik baik. Bukan! Bukan cerdas dalam hal matematis semata,
namun cerdas yang menyelaraskan bakat dan minat, passion dan vision. Menjadi
guru adalah jembatan saya untuk lebih dekat dengan impian saya itu.
Enggan
membatasi kata profesional dalam pengakuan selembar kertas ataupun embel embel
Gr. Tanpa menafikan bahwa saya membutuhkan dana untuk hidup, ada banyak cara yang
bisa dilakukan untuk survive tanpa
meninggalkan basic kependidikan ini. Ingat? Dalam setiap kelas kuliah
seringkali dosen dosen mengajak mahasiswanya untuk bertindak kreatif, lebih
sekedar membuat media namun juga dalam rangka menciptakan sebuah karya seni
tangan. Kreativitas yang tidak berbatas pada proses belajar mengajar,
kreativitas yang tidak berbatas pada kelas. Gelar S.Pd bukan batasan kita untuk
menjadi apa saja. Jika pesimis kalah saing dengan peserta nondik, ya tidak usah
memaksakan ikut PPG :v Toh banyak pengusaha yang lahir dari fakultas keguruan
(searching saja ^_^). Toh ada motivator yang lahir dari fakultas keguruan. Toh
tak jarang seniman ataupun budayawan yag lahir dari fakultas keguruan. Juga
ragam profesi lain yang lahir dari fakultas tersebut, dan semoga tetap terjaga
dari profesi pengangguran bergelar sarjana pendidikan sebab fokus PPG tapi tak
lulus lulus :v aamiiin.
Tidak
mengikuti PPG bukan berati kita lepas dan bebas tugas dari mendidik, pun
konstribusi mencerdaskan anak bangsa. Dua hal itu bukan semata dilakukan oleh
mereka yang disebut Guru / Guru (Profesional) namun sebuah sinergisitas
kerjasama dan peran serta seluruh lapisan masyarakat untuk membenahi pendidikan
bangsa yang notabene menjadi salah satu pilar kemajuan bangsa. ^_^ Bagi saya
Indonesia lebih baik dari Jepang atau bahkan sejajar dengan Finlandia dalam
ruang pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Program PPG bahkan tidak memangkas
ilmu kependidikan kita selama 4 tahun mendera diri di FKIP. Ilmu ilmu itu tetap
bisa disalurkan dalam kelas kelas sekolah swasta, kelas kelas bimbingan
belajar, kelas kelas privat, juga dalam lingkup mini semisal keluarga kita :v.
Ya daripada mubasir kan? Masa empat tahun sekolah ilmunya dibiarkan nganggur
tanpa tutur tinular?
Jika
dibilang sok bijak, ya saya aamiinkan saja, semoga saya bukan sok bijak, tapi
benar dimampukan menjadi pribadi yang bijak ^_^ aamiiin. Saya hanya mencoba
menerima dan berbaik sangka pada tujuan baik dari program pemerintah ini.
Mengenai kebelumjelasan dana PPG memang cukup merisaukan, namun alangkah
manisnya jika program tersebut gratis adanya. ^_^ Dibiayai pemerintah. Kalau
hendak bercermin pada Finlandia pasal ketatnya persaingan menjadi guru, ya
jangan tanggung tanggung dong, sekalian saja program peningkatan kualitas
gurunya digratiskan.
Jadi
ada tujuh point kebijakan bidang pendidikan pemerintah Finlandia hingga
menduduki peringkat pertama kualitas pendidikan terbaik.
1.
Tidak
adanya sistem rangking dalam kelas.
2.
Meminimalisir
pengadaan ujian.
3.
Penggunaan
kurikulum yang konsisten.
4.
Pembiayan
pendidikan ditanggung pemerintah.
5.
Penggalakan
Program PAUD.
6.
Seleksi
Ketat menjadi seorang Guru.
7.
Tingginya
gaji guru sebagai bentuk apresiasi.
(jika
ada yang kurang tepat mohon diralat ^_^)
Point enam akan segera terlaksana (
insya Allah), point selanjutnya ya menyusul dong ya, kan bertahap :v. Point
keempat, sepertinya bisa menjadi alternatif tepat. Seimpaslah sama ketatnya
seleksi itu. Kemudian penggunaaan kurikulumnya yang stabil dan disusul point
lainnya. Pengoptimalan tujuan kurikulumnya saja yang perlu diperbaharui ^_^
bukan harus merubah semua seakar akarnya tiap ganti menteri (idealnya ganti
kurikulum kan 10 tahun). Tilik saja kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif
aka Catat Buku Sampai Abis) dari jaman Bunda saya masih ABG sampai kurikulum
2006 (KTSP_Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) jaman Bunda saya sudah punya
ABG yang katanya memiliki tujuan mengaktifkan siswanya dalam banyak hal. Hingga
sekarang siswa memang aktif, aktif menulis di buku -_-, iya catat buku sampai
habis telah berfusi kebanyak nama kurikulum hingga muncul kurikulum 2013 ini. *Ups
sepertinya ini OOT :v
Mengingat bahwa PPG dilaksanakan oleh
PLTK dan menjamurnya Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta yang membuka
Fakultas Keguruan. Sehingga LPTK memiliki andil yang sangat penting salam
menyiapkan guru profesional maka sebaikanya ijin mendirikan LPTK pun benar
benar selektif berdasarkan pembuktian krebelitas pengajar dan ketersediaan
sarana prasarananya.
Jadi,
mari berbaik sangka dengan setiap tujuan baik yang dikabarkan pemerintah, menyikapi
persaingan ketat itu dengan menjadikannya sebagai stimulus cerdas meningkatkan
mutu diri. Salam Akademia ^_^
0 comments:
Post a Comment