Rss Feed
  1. #TolakPPG ?

    Wednesday 11 June 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
    Selasa, 10 Juni 2014





                Gedung itu memanas bukan sebab tentara merah, namun hitam putih yang dirundung emosi. Larut hingga melebur sebab kebijakan yang katanya tidak bijak. Sebab keadilan yang katanya tidak adil, hingga mereka sepakat berkata “TIDAK!” penuh penolakan. Saya? Saya di sana, duduk bersama mereka, mendengarkan juga menikmati acara. Sayangnya saya tidak lagi sekata. “Audiensi PPG bersama Dekanat FKIP UNS” begitu judulnya, dengan dua kalimat sponsor “Hadirilah!” dan “Untuk yang mau tahu cari kejelasan disini.” Saya berangkat sebab merasa diundang serta merasa butuh tahu. Ditutup dengan senyum manis, saya menggunduh banyak tanya untuk mereka.
                Membuka beranda dan seketika mendapati menjamurnya hastag #TolakPPG. Hmm helaan nafas yang semoga memperpanjang sabar. Biar bagaimanapun mereka adalah rekan seperjuangan, yang mengerjakan tugas bersama, yang mengaminkan perjuangan bersama, sepertinya ada yang perlu diluruskan mengenai perjuangan nyaris empat tahun ini.
                PPG atau Pendidikan Profesi Guru adalah rumpun dari program sertifikasi pra jabatan. Jika dulu kita akrab dengan program PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) yang dilaksanakan 10 hari. PLPG sendiri merupakan program pelatihan bagi para guru yang bertujuan meningkatkan profesionalitas dan penghargaan atas profesi yang mereka geluti. Hukum yang mendasari lahirnya program tersebut adalah Permendiknas No. 18 tahun 2007 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan. Peraturan menteri tersebut sedikit menyiratkan bahwa syarat sertifikasi guru cukup dengan mengumpulkan portofolio dan mengikuti PLPG. Sayangnya, keberjalanan PLPG jauh dari apa yang diimpikan Pemerintah. Hingga saat ini meski telah banyak Guru yang mendapat sertifikasi dari rahim PLPG nyatanya belum ada peningkatan mutu pendidikan yang signifikan. (Peningkatan kesejahteraan Guru malah yang signifikan -_-) Jika ditilik dalam proses PLPG wajar saja jika demikian. Asrama selalu penuh dengan lembaran kertas RPP, ragam media, juga ramainya deringan telefon teman teman sehunian, pun dengan intensnya mereka menghadap laptop dibanding saat saat kuliah. Fenomena alami yang pasti terjadi saat musim PLPG, musim “ngjob” katanya. Membuatkan RPP dengan materi ini, media ini, dikumpulkan jam segini dengan harga segini, bahkan ada seorang kakak tingkat yang membeli motor dari dana ngjob PLPG :D Saya sendiri pernah ikut “ngejob”, membuka jasa mengetikan saja tanpa membuatkan atau memanjakan mereka yang lekas mendapat gelar profesional. See? Jiwa belajar itu menguap seiring berjalannya usia, hilang sebab iming iming tunjangan :v.
                Berdasarkan hal demikian, Pemerintah kemudian membuka jalur PPG. Pendidikan Profesi Guru ialah perkuliahan dalam bentuk workshop dan praktek lapangan selama satu semester (dik) dua semester (nondik) di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) dalam rangka meningkatkan keprofesionalan guru. Peserta yang lulus PPG akan diberikan sertifikat pendidik sebagai peserta yang lulus sertifikasi guru melalui penilaian portofolio (PF), Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), atau Pemberian Sertifikat Pendidikan Secara Langsung (PSPL) serta mendapat dua huruf tambahan sebagai gelarnya, sehingga menjadi S.Pd Gr.
                Kembali pada Sertifikasi guru yang merupakan proses dari pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, meningkatkan kesejahteraan guru, meningkatkan martabat guru; dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Sertifikasi guru pun diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru. Bentuk peningkatan kesejahteraan tersebut berupa pemberian tunjangan profesi bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik.
                Sejauh pembahasan ini, masih ada kerutan di dahi?
                Sederhananya, dengan adanya program PPG akan ada beberapa point yang jelas berdampak pada dunia pendidikan.
    1.      Program PPG adalah program pendidikan yang terbuka untuk peserta dengan basic dik (Sarjana Pendidikan) serta peserta dengan basic nondik (Sarjana Ilmu Murni dkk), semacam jembatan umum untuk menjadi Guru.
    2.      Mulai wisuda periode Juni 2014 lulusan FKIP tidak akan memperoleh sertifikat akta 4 (sertifikat ijin mengajar). Untuk mendapatkannya harus melalui jalur PPG bersama dengan para sarjana NonPendidikan yang banting setir menjadi guru.
    3.      Kelak akan ada Guru di kelas yang basicnya bukan dari pendidikan.
    4.      Persaingan menjadi Guru (Profesional) semakin ketat.
    5.      Peserta yang lulus PPG akan mendapat tunjangan sertifikasi.
    6.      Penyelenggara PPG adalah LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) bersyarat. (Salah satunya berasrama).

                Lebih jelas lagi lihat permendiknas nomor 8 tahun 2009. (Iya, ini program yang telah lama diwacanakan, dan baru akan dilaksanakan insya Allah tahun 2015 kelak, tahun kelulusan saya. aamiin)
                Namun, ada kekecewaan bahwa PPG hanyalah jalur instan menjadi guru yang katanya profesional. Yang menjadi perhatian dari kalangan akademisi adalah bolehnya sarjana Nonkependidikan untuk mengikuti program PPG.
    Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, Dekan FKIP UNS yang sekaligus ketua FORKOM FKIP Negri se-Indonesia itu mengungkapkan bahwa guru haruslah dididik secara Konkeren. Artinya diharapkan guru harus sesuai dengan disiplin ilmunya. Pak Furqon menambahkan bahwa guru haruslah dibina secara bertahap dan memiliki jiwa ingin mengajar sejak awal.
    (website BEM FKIP UNS)
                Ketika meragukan keprofesionalitasan pihak nondik (mahasiswa ilmu murni), lantas dianggap apa ajakan Pak Anies Baswedan dalam raungan Indonesia Mengajarnya itu? Dianggap apa aksi relawan turun tangan? Aahh bahkan program SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan,Terluar dan Tertinggal) masih kalah umur dengan IM itu? :”) Misalpun hasil dari relawan turun tangan itu masih jauh dari kategori membawa peningkatan mutu yang signifikan, saya kira pihak civitas akademika harus malu saat angkatan pertama IM tidak ada yang dari latar belakang pendidikan. :”)
                Dan sebaiknya memang guru itu harus dididik secara konkeren, mengajar sesuai disiplin ilmunya, pun dengan adanya pembinaan bertahap serta memiliki jiwa mengajar sejak awal. Bermula dari kepemilikan jiwa mengajar sejak awal sehingga niat dan naluri mengajarpun bertumbuh subur. Dan faktanya, benarkah sejak awal, sejak masa kelulusan putih abu abu dulu itu kita benar benar meniatkan diri menjadi seorang pendidik? Hayoo coba saya tanya, pada pilihan keberapa program studi kependidikan itu kita letakkan? Pertama? Kedua? Ketiga? Wallahu’alam :”)
                Jika mengingat awal masuk kuliah dulu (iya, tiga tahun lalu) masih terngiang ditelinga, hangatnya pernyataan “salah jurusan!”, “nyasar di keguruan” daaan ya raut raut penyesalan lainnya. Pun dengan alasan mengapa ingin menjadi guru,
                “Jadi guru saja Le/Nduk, sesuk gen enthuk pensiunan!”
                “Jadi guru saja Le/Nduk, sesuk uripe terjamin.”
                “Jadi guru saja Le/Nduk, sesuk ......(intinya ada jaminan kenyamanan hidup di masa senja).
                Jujur saja, bahkan saya sendiri hingga kelas dua SMA tidak membayangkan kuliah di Solo tepatnya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Proposal yang saya ajukan kepada Ayah saya adalah Proposal kuliah Psikologi di UGM untuk kelak menggantikan Kak Seto. :v Sebab Ayah menolak Yogya, saya pun beralih ke Solo. Setelah konsultasi ke beberapa pihak terpercaya, saya pun memutuskan memilih dua program pendidikan di fakultas keguruan ini tanpa meninggalkan minat saya semula (Psikologi Anak :v). Dalam konsultasi sayapun, saya mendapat banyak masukan mengenai gambaran untuk masa depan saya, dari mulai profesi apa yang akan saya sandang begitu mendapat gelar kesarjanaan hingga kenyamanan tunjangan masa pensiun. Point point pertimbangan yang jauh dari kata Pengabdian dan Kebermanfaatannya Manusia.
                Naluri pengabdian itu tumbuh dari benih keinginan saya menjadi Psikolog. Melihat kondisi masyarakat sekarang ini sepertinya ilmu Psikis itu sangat membantu untuk saling paham. Bukankah kebanyakan sakit sekarang ini adalah sakit yang tak berdarah? Yang tak bernanah? Yang tak nampak namun sangat berdampak? Iya, sejenis stress dan depresi. -_- Dan menjadi seorang Psikolog membuat saya merasa lebih berguna dalam mengabdikan diri. Dan dari sana pula keinginan untuk mencerdaskan anak bangsa saya kandung baik baik. Bukan! Bukan cerdas dalam hal matematis semata, namun cerdas yang menyelaraskan bakat dan minat, passion dan vision. Menjadi guru adalah jembatan saya untuk lebih dekat dengan impian saya itu.
                Enggan membatasi kata profesional dalam pengakuan selembar kertas ataupun embel embel Gr. Tanpa menafikan bahwa saya membutuhkan dana untuk hidup, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk survive tanpa meninggalkan basic kependidikan ini. Ingat? Dalam setiap kelas kuliah seringkali dosen dosen mengajak mahasiswanya untuk bertindak kreatif, lebih sekedar membuat media namun juga dalam rangka menciptakan sebuah karya seni tangan. Kreativitas yang tidak berbatas pada proses belajar mengajar, kreativitas yang tidak berbatas pada kelas. Gelar S.Pd bukan batasan kita untuk menjadi apa saja. Jika pesimis kalah saing dengan peserta nondik, ya tidak usah memaksakan ikut PPG :v Toh banyak pengusaha yang lahir dari fakultas keguruan (searching saja ^_^). Toh ada motivator yang lahir dari fakultas keguruan. Toh tak jarang seniman ataupun budayawan yag lahir dari fakultas keguruan. Juga ragam profesi lain yang lahir dari fakultas tersebut, dan semoga tetap terjaga dari profesi pengangguran bergelar sarjana pendidikan sebab fokus PPG tapi tak lulus lulus :v aamiiin.
                Tidak mengikuti PPG bukan berati kita lepas dan bebas tugas dari mendidik, pun konstribusi mencerdaskan anak bangsa. Dua hal itu bukan semata dilakukan oleh mereka yang disebut Guru / Guru (Profesional) namun sebuah sinergisitas kerjasama dan peran serta seluruh lapisan masyarakat untuk membenahi pendidikan bangsa yang notabene menjadi salah satu pilar kemajuan bangsa. ^_^ Bagi saya Indonesia lebih baik dari Jepang atau bahkan sejajar dengan Finlandia dalam ruang pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Program PPG bahkan tidak memangkas ilmu kependidikan kita selama 4 tahun mendera diri di FKIP. Ilmu ilmu itu tetap bisa disalurkan dalam kelas kelas sekolah swasta, kelas kelas bimbingan belajar, kelas kelas privat, juga dalam lingkup mini semisal keluarga kita :v. Ya daripada mubasir kan? Masa empat tahun sekolah ilmunya dibiarkan nganggur tanpa tutur tinular?
                Jika dibilang sok bijak, ya saya aamiinkan saja, semoga saya bukan sok bijak, tapi benar dimampukan menjadi pribadi yang bijak ^_^ aamiiin. Saya hanya mencoba menerima dan berbaik sangka pada tujuan baik dari program pemerintah ini. Mengenai kebelumjelasan dana PPG memang cukup merisaukan, namun alangkah manisnya jika program tersebut gratis adanya. ^_^ Dibiayai pemerintah. Kalau hendak bercermin pada Finlandia pasal ketatnya persaingan menjadi guru, ya jangan tanggung tanggung dong, sekalian saja program peningkatan kualitas gurunya digratiskan.
                Jadi ada tujuh point kebijakan bidang pendidikan pemerintah Finlandia hingga menduduki peringkat pertama kualitas pendidikan terbaik.
    1.      Tidak adanya sistem rangking dalam kelas.
    2.      Meminimalisir pengadaan ujian.
    3.      Penggunaan kurikulum yang konsisten.
    4.      Pembiayan pendidikan ditanggung pemerintah.
    5.      Penggalakan Program PAUD.
    6.      Seleksi Ketat menjadi seorang Guru.
    7.      Tingginya gaji guru sebagai bentuk apresiasi.
    (jika ada yang kurang tepat mohon diralat ^_^)

    Point enam akan segera terlaksana ( insya Allah), point selanjutnya ya menyusul dong ya, kan bertahap :v. Point keempat, sepertinya bisa menjadi alternatif tepat. Seimpaslah sama ketatnya seleksi itu. Kemudian penggunaaan kurikulumnya yang stabil dan disusul point lainnya. Pengoptimalan tujuan kurikulumnya saja yang perlu diperbaharui ^_^ bukan harus merubah semua seakar akarnya tiap ganti menteri (idealnya ganti kurikulum kan 10 tahun). Tilik saja kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif aka Catat Buku Sampai Abis) dari jaman Bunda saya masih ABG sampai kurikulum 2006 (KTSP_Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) jaman Bunda saya sudah punya ABG yang katanya memiliki tujuan mengaktifkan siswanya dalam banyak hal. Hingga sekarang siswa memang aktif, aktif menulis di buku -_-, iya catat buku sampai habis telah berfusi kebanyak nama kurikulum hingga muncul kurikulum 2013 ini. *Ups sepertinya ini OOT :v
    Mengingat bahwa PPG dilaksanakan oleh PLTK dan menjamurnya Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta yang membuka Fakultas Keguruan. Sehingga LPTK memiliki andil yang sangat penting salam menyiapkan guru profesional maka sebaikanya ijin mendirikan LPTK pun benar benar selektif berdasarkan pembuktian krebelitas pengajar dan ketersediaan sarana prasarananya.
                Jadi, mari berbaik sangka dengan setiap tujuan baik yang dikabarkan pemerintah, menyikapi persaingan ketat itu dengan menjadikannya sebagai stimulus cerdas meningkatkan mutu diri. Salam Akademia ^_^

     

  2. 0 comments: