Rss Feed
  1. Sekeping Mozaik Gitsha

    Wednesday 22 February 2012

    Rabu, 25 Januari 2012

    Saya menyayangi kamu dengan apapun yang ada padamu.

    Saya takut kamu pergi, saya tidak mau kamu meninggalkan saya.

    Malam ini, di bawah ribuan bias bintang. Kamu rengkuh tubuh saya. Erat. 

    Desah nafasmu di telinga, serasa berkata ‘jangan pernah pergi dari saya ya’ lalu saya balas dekapmu dengan mengurangi jarak kita. Setebal kain yang 
    kita kenakanlah jarak kita kini. Ragaku menghangat.

    Saya ingin menangis. Dosakah ?? Sucikah ?? Nistakah ?? 

    Saya berharap dapat menekan tombol pause dalam dimensi waktu. 

    Berharap adegan ini kan berlangsung tanpa batas. Menikmati tiap detik dalam 
    dekapmu.

    Tempat dimana saya dapat tidur lelap selamanya. Memejamkan mata dengan damai.

    Kamu melonggarkan dekapmu. Membiarkan udara masuk dalam jarak kita. Kamu melirik jam yang bertengger terbalik di tangan kirimu.



    21.15 wib. ‘aku harus pulang!’ katamu mengagetkanku.
    Yahh, kamu harus pulang. Saya merutuk si pencipta benda bernama jam dan satuan dimensi bernama waktu. Mereka tak bersahabat denganku..
    Kamu membelai poniku. Poni yang baru berumur beberapa jam. ‘kamu baik baik yahh,, aku harus pulang. Inget, gag boleh nakal’ itu ucapmu melalui bahasa tubuh yang mampu ku cerna. Kamu memang bukan lelaki yang banyak kata dan rayuan. Kamu hanya bocah pantai lugu dan mencintai saya dengan segala milikmu.

    Kalau boleh jujur, saya ingin kamu tetap tinggal. Jangan pergi!!
    ‘ iyahh, kamu ati ati ya..lampu depan di nyalain jangan lupa. Nanti kalo udah sampai sms ya’

    Saya mendengar seseorang berkata demikian padamu. Sungguh, bukan saya. Entah siapa yang menggerakkan bibir ini sehingga pita suara dan lidah mampu mengucapkan kalimat dusta seperti barusan.
    Entah otak entah hati. Telinga hanya ingin mendengar kalimat yang menahanmu pergi, tetaplah di sini. Menemaniku. Menikmati ribuan bintang di kolong langit ini.

    Mendengar kalimat dusta itu, kamu hanya tersenyum. Menatapku dan memegang gemas pipiku yang kau bilang mirip bakpao. Aku memasang wajah cemberut, berpura pura sebel dengan tindakanmu. Nyatanya saya senang.

    Kamu mengenakan pecimu, menutupi poni yang sudah semakin rindang. Mesin kuda ponimu telah kamu hidupkan, siap kamu pacu dengan kecepatan 40km/jam atau bahkan lebih.
    Ibupun turut mengantar kepulanganmu, namun langsung masuk begitu kamu menampakkan punggungmu yang kian menjauh.

    Saya??

    Saya masih mematung di tempatku. Tak bergeser sedikitpun. Menatap punggungmu dan memandang gemerlap langit yang menjadi saksi setiap sense dalam drama berkasih dengan sutradara bernama cinta.
    Entah berasal dari mana mata air ini. Wajah becek oleh air mata. Berkuah tanpa bumbu dan penyedap rasa.
    Aku menangis tanpa alasan. Absurb namun sangat terasa. Diantara sayang dan takut kehilangan. Ingin berlari namun enggan beranjak dari koordinat ini.  

    21.42 wib                                                                                                                                       

    Nokia 5030 dalam genggaman bergetar. Satu pesan diterima, begitu tertera di layar.

    Buka.

    ‘Aku sudah sampai. Kamu lekas masuk, udara di luar dingin. Istirahatlah, esok kamu akan menempuh perjalanan panjang. Siapkan tenagamu, aku besok datang untuk mengantarmu. Seperti biasa. Selamat malam, mentariku. Lelapkan ragamu dalam buai malam ‘
    Benda itu memburam dalam pandanganku. Ada dinding cair dalam pelupuk mata yang menghalangi kejelasan mengeja huruf huruf itu.

    Kutekan ‘options’ ‘replay’.

    ‘Iyahh, amm sayang kamu simetri lingkaran C: ‘ send
    Hanya itu yang mampu ku utarakan dengan loncatan jempol dalam papan handphone.

    ‘Aku mencintaimu, seperti bumi yang tak bernyawa jika tanpa mentari ‘

    Hmmmmmmm arrrhhggg.

    Saya menghela nafas, menyadari semua adegan tadi bukanlah mimpi ataupun drama dalam panggung hiburan.
    Dengan kaki telanjang, saya meniti kerikil menuju teras. Membuka pintu, bersiap untuk menutup hari. Berbalik sebentar, menatap ribuan bintang yang semakin lebat.

    Saya bergidik. Merinding.
    Yahh, malam yang cerah sekaligus menggigil. Cukup untuk membekukan agar agar yang ku buat untuk bekal esok.


    Malam titip dirinya. Ijinkan saya menatapnya esok. Ijinkan saya mencium aroma pantai dari tubuhnya, dan ijinkan kami bersama melewati ribuan malam yang kelak menjadi milik kami. Semoga, mampu menjalani semua proses ini dengan baik. Peran baru dalam pementasan akbar perjalanan manusia menggapai cita dan cinta. Berproduser iman, dengan sutradara semangat dan pemain figuran namun signifikan bernama kepercayaan.

  2. 0 comments: