Rss Feed
  1. Titik Bahagia Stitch

    Sunday 19 February 2012


    Jumat, 10 Februari 2012

    “Gimana kamu bisa tau kalau aku bahagia atau enggak ?”, ucapmu menanggapi kekhawatiranku saat beberapa hari tak ada contact.
                Saya diam. Harus dengan apa saya menjawab. Saya pikir tanyamu itu bukan jenis pertanyaan yang harus di jawab dengan penjelasan, tanyamu itu butuh jawaban yang hanya dirasakan. Saya ingin menyampaikan hal tersebut, tapi kamu sudah membuat pernyataan bahwa saya tak kan menjawab.
    “Diam. Pasti di diemin. Ditinggal. Apa sih susahnya ngomong? Kalaupun ngomong ntar ujungnya pakai istilah yang cuma kamu tahu sendiri istilahnya. Aku capek. Aku tulus sayang sama kamu. Heh nyatanya kamu cuma bisa mainin perasaanku. Kamu tuh mesti belajar buat ngertiin perasaan orang lain. Jangan cuma mentingin diri sendiri. Belajar liat gimana lingkunganmu. Kita udahan aja.”
                Saya membuka situs pertemanan. Jejaring sosial tempat kita saling mencari tahu kabar masing masing dari kita. Mengganti kata ‘apa yang anda pikirkan ?’ dengan pertanyaanmu.
                “Bagaimana kita bisa tahu kalo orang yang disayang itu bahagia dengan atau tanpa kita ? Apa indikasinya ?”
                Kamu juga mungkin melakukan hal yang sama. Membuka situs pertemanan, dan kamu membaca itu dalam beranda web.mu. Satu pesan kamu kirimkan untukku.
                “O..diam. Terus ditinggal FB.an? aku emang yah selalu dinomorduain. Kamu selalu asik dengan duniamu. Kamu asik baca buku baru yang kamu dapet sampe lupa hubungin aku. Kamu asik berorganisasi sampe lupa kalo aku butuh kamu. Kamu asik nulis ampe kamu gag sadar kalo aku ingin kamu. Bukan sekedar tulisan yang akan kau upload dalam catatan profilmu, lantas menandai aku dalam catatanmu itu. Aku ingin kamu ngerti gimana aku tuh sayang sama kamu. Tulus. Ikhlas. Tapi nyatanya ? kamu selalu menomor duakan aku. Makasih.”
                Harus jawab apa saya? Iyah sama sama? Begitukah? Sungguh hanya akan memperkeruh suasana.
                Bisa jadi kamu hanya akan bertambah marah atau membenihkan sebel, tapi ini yang bisa saya lakukan sekarang. Mengutarakan sesuatu yang tak terkatakan. Biarlah huruf huruf bermakna ini yang kan menuntunmu mengerti apa yang saya fikirkan. Maaf jika matamu akan lelah membacanya.
                Berawal dari pertanyaanmu semalam. Saya tak bisa menjawabnya dengan gamblang. Karena bahagia itu tak nampak, bukan hal kasat mata seperti gumpalan awan di langit. Jika saya menjawab “Dengan melihatmu tertawa dan tersenyum” dapat menjadi indikasi kamu bahagia. Lantas bagaimana jika tawa dan senyummu itu ternyata bukan karena bahagia? Berati jawabanku itu salah bukan?!
                Saya sadar akan hal itu. Karena sering kali apa yang kita lihat itu bukan hal yang sebenarnya. Seperti halnya air mata. Kamu kadang menanyakan kenapa di mataku selalu ada air saat bersamamu. Saya bukan bersedih, hanya terlalu bahagia. Hingga tanpa sadar mataku berair. Terlalu sempit jika berfikir air mata itu identik dengan sesuatu yang meyedihkan. Jadi saat kelima indra tak mampu mengartikan apa yang ada. Mata tak mampu melihat yang nyata. Telinga enggan mendengar fakta. Hidung tak mampu mencium kebenaran. Lidah kebal oleh aneka rasa. Dan kulit menjadi keras untuk menerima kelembutan. Gunakanlah indra keenam manusia. Yahh semua orang pasti memilikinya, tinggal seberapa sadar manusia akan adanya indra tersebut. Sesuatu yang nyata namun tak nampak. Ada dan tak terlihat. Hati. Naluri.
                Bahagia adalah lakon dari hati. Mata bisa salah melihat. Telinga bisa salah mendengar. Lidah bisa salah mengecap rasa. Hidung bisa salah membaui. Dan kulit bisa salah meraba. Hatilah yang dapat mengerti semua itu.
                Ketika kamu bahagia. Ada kenyamanan yang tak mampu kamu ingkari. Dan jika mata ini jeli, akan nampaklha senyum dan tawa lepas tanpa beban teriring titik embun dalam pelupuk permatamu. Bukan hanya tawa dan senyum pendusta mata. Dan saya tak perlu cemas akan keadaanmu. Saya dapat turut merasakan apa yang kamu rasa. Kenapa?
                “Kamu takkan mampu menghangatkan orang lain jika kamu tak punya bara dalam dirimu”
    Begitu dahsyatnya sebuah kebahagiaan. Ketika ia ada dalam diri seseorang, alampun akan turut merasakan. Dan begitu pula sebaliknya. Semua yang berlakon hati akan turut terasakan oleh alam. Akan menguap dan menciptakan atmosfernya sendiri. Entah riang atau kelam. Relatif, sesuai apa yang hati rasakan.
                Kamu selalu membuat pernyataan betapa tulus kamu sayang pada saya. Ikhlas dan tulus, katamu. Saya bertanya sejak kapan kata tulus dan ikhlas begitu mudah terucap tanpa iringan tindak ketulusan. Saya takkan mempermasalahkan istilahmu itu. Karena saya tahu. Kamu hanya cemburu. Kamu cemburu pada kemesraanku dengan huruf. Kamu cemburu pada kegiatan yang menyita waktuku. Kamu cemburu pada buku yang membawaku larut, terbang ke negeri antah brantah bernama imajinasi. Cemburu bukan satu hal yang perlu di permasalahkan. Kamu hanya ingin menyatakan kamu menyayangiku. Menginginkanku 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Selalu dan setiap saat bersamamu. Hadirku yang kamu inginkan. Meski hanya terdiam di sisimu. Setidaknya saat kamu menoleh ada aku di sisimu. Kamu rindu. Kamu cemburu. Kamu sayang. Dan kamu berfikir saya tak merasa demikian padamu. Kamu berfikir rasamu padaku bertepuk sebelah tangan. Kamu merasa terus berlari mengejarku, sedang aku tak sekalipun menoleh padamu. Mengelap peluh yang membanjiri ragamu. Sungguh itu hanya anganmu.
                Kamu tak perlu berlari untuk mengejar. Karena saya ada di belakangmu, untuk menopangmu agar kamu tak pernah terjatuh. Saya ada di sampingmu, agar kamu tak perlu menoleh ke belakang untuk melihatku. Saya hanya berada sejengkal di depanmu, siap memelukmu jika kamu butuh tempat bersandar. Saya telah terikat kontrak denganmu. Kontrak naluri, tak mampu pergi barang semeterpun.
                Kamu memintaku untuk belajar mengerti lingkunganku. Mengerti kamu yang sayang dan butuh saya. Saya berusaha melakukan hal tersebut, selalu. Mengkondisikan diri, menempatkan diri dimana saya berguna dan bermanfaat bagi lingkungan.
                “Sebaik baiknya manusia ialah manusia yang bermanfaat untuk orang lain”
                Itu cara yang sedang saya usahakan. Membagi waktu yang hanya dua puluh empat jam sehari dengan luasnya lingkungan yang saya miliki.
                Sungguh, saya mengerti bahwa kamu menyayangiku. Mengerti dan mewujudkannya dengan caraku. Ragaku memang tak 24 jam sehari bersamamu, tapi jika kamu butuh saya akan ada.
                Jarak nyata terbentang. Bukan bualan saat aku bilang ‘aku ada untukmu’. Bukankah, sekarang jarak itu bisa di samarkan dengan hadirnya teknologi. Kamu bahkan sudah hafal di luar kepala angka berapa saja yang kamu butuhkan untuk menghubungiku. Silahkan kamu bercerita tentang apa saja padaku, meminta pendapat, atau hanya sebuah ungkapan rindu. Saya akan membalasnya. Atau jika ternyata kamu menginginkan saya menghubungimu. Saya siap. Saya berusaha mengingatkan aktivitas yang kadang terabaikan olehmu. Kamu sering telat makan, sekalinya makan kamu memilih makanan yang salah. Berakibat sistem pencernaanmu yang terganggu. Kamu sakit saat jarak nyata ada. Saya mencemaskanmu tentu saja. Kamu sering mengabaikan nakalnya angin sekarang. Pergi menabrak angin dalam jarak relatif jauh tanpa jaket atau kain hangat lainnya. Lantas kamu mengeluh kedinginan hingga masuk angin. Saat itu saya tak mampu mengoleskan minyak angin atau sekedar menghangatkanmu. Padahal sungguh saya ingin melakukannya untukmu.
                “Kamu takkan mampu menghangatkan orang lain jika tak ada bara dalam dirimu, Stitch :’)”


  2. 0 comments: