Jumat, 10 Februari
2012
“Gimana kamu bisa tau kalau aku
bahagia atau enggak ?”, ucapmu menanggapi kekhawatiranku saat beberapa hari tak
ada contact.
Saya
diam. Harus dengan apa saya menjawab. Saya pikir tanyamu itu bukan jenis
pertanyaan yang harus di jawab dengan penjelasan, tanyamu itu butuh jawaban
yang hanya dirasakan. Saya ingin menyampaikan hal tersebut, tapi kamu sudah
membuat pernyataan bahwa saya tak kan menjawab.
“Diam. Pasti di diemin.
Ditinggal. Apa sih susahnya ngomong? Kalaupun ngomong ntar ujungnya pakai
istilah yang cuma kamu tahu sendiri istilahnya. Aku capek. Aku tulus sayang
sama kamu. Heh nyatanya kamu cuma bisa mainin perasaanku. Kamu tuh mesti
belajar buat ngertiin perasaan orang lain. Jangan cuma mentingin diri sendiri.
Belajar liat gimana lingkunganmu. Kita udahan aja.”
Saya
membuka situs pertemanan. Jejaring sosial tempat kita saling mencari tahu kabar
masing masing dari kita. Mengganti kata ‘apa yang anda pikirkan ?’ dengan
pertanyaanmu.
“Bagaimana
kita bisa tahu kalo orang yang disayang itu bahagia dengan atau tanpa kita ? Apa
indikasinya ?”
Kamu
juga mungkin melakukan hal yang sama. Membuka situs pertemanan, dan kamu
membaca itu dalam beranda web.mu. Satu pesan kamu kirimkan untukku.
“O..diam.
Terus ditinggal FB.an? aku emang yah selalu dinomorduain. Kamu selalu asik
dengan duniamu. Kamu asik baca buku baru yang kamu dapet sampe lupa hubungin
aku. Kamu asik berorganisasi sampe lupa kalo aku butuh kamu. Kamu asik nulis
ampe kamu gag sadar kalo aku ingin kamu. Bukan sekedar tulisan yang akan kau
upload dalam catatan profilmu, lantas menandai aku dalam catatanmu itu. Aku
ingin kamu ngerti gimana aku tuh sayang sama kamu. Tulus. Ikhlas. Tapi nyatanya
? kamu selalu menomor duakan aku. Makasih.”
Harus
jawab apa saya? Iyah sama sama? Begitukah? Sungguh hanya akan memperkeruh
suasana.
Bisa
jadi kamu hanya akan bertambah marah atau membenihkan sebel, tapi ini yang bisa
saya lakukan sekarang. Mengutarakan sesuatu yang tak terkatakan. Biarlah huruf
huruf bermakna ini yang kan menuntunmu mengerti apa yang saya fikirkan. Maaf jika
matamu akan lelah membacanya.
Berawal
dari pertanyaanmu semalam. Saya tak bisa menjawabnya dengan gamblang. Karena
bahagia itu tak nampak, bukan hal kasat mata seperti gumpalan awan di langit.
Jika saya menjawab “Dengan melihatmu tertawa dan tersenyum” dapat menjadi
indikasi kamu bahagia. Lantas bagaimana jika tawa dan senyummu itu ternyata
bukan karena bahagia? Berati jawabanku itu salah bukan?!
Saya
sadar akan hal itu. Karena sering kali apa yang kita lihat itu bukan hal yang
sebenarnya. Seperti halnya air mata. Kamu kadang menanyakan kenapa di mataku
selalu ada air saat bersamamu. Saya bukan bersedih, hanya terlalu bahagia.
Hingga tanpa sadar mataku berair. Terlalu sempit jika berfikir air mata itu
identik dengan sesuatu yang meyedihkan. Jadi saat kelima indra tak mampu
mengartikan apa yang ada. Mata tak mampu melihat yang nyata. Telinga enggan
mendengar fakta. Hidung tak mampu mencium kebenaran. Lidah kebal oleh aneka
rasa. Dan kulit menjadi keras untuk menerima kelembutan. Gunakanlah indra keenam
manusia. Yahh semua orang pasti memilikinya, tinggal seberapa sadar manusia
akan adanya indra tersebut. Sesuatu yang nyata namun tak nampak. Ada dan tak
terlihat. Hati. Naluri.
Bahagia
adalah lakon dari hati. Mata bisa salah melihat. Telinga bisa salah mendengar.
Lidah bisa salah mengecap rasa. Hidung bisa salah membaui. Dan kulit bisa salah
meraba. Hatilah yang dapat mengerti semua itu.
Ketika
kamu bahagia. Ada kenyamanan yang tak mampu kamu ingkari. Dan jika mata ini
jeli, akan nampaklha senyum dan tawa lepas tanpa beban teriring titik embun
dalam pelupuk permatamu. Bukan hanya tawa dan senyum pendusta mata. Dan saya
tak perlu cemas akan keadaanmu. Saya dapat turut merasakan apa yang kamu rasa.
Kenapa?
“Kamu
takkan mampu menghangatkan orang lain jika kamu tak punya bara dalam dirimu”
Begitu dahsyatnya sebuah
kebahagiaan. Ketika ia ada dalam diri seseorang, alampun akan turut merasakan.
Dan begitu pula sebaliknya. Semua yang berlakon hati akan turut terasakan oleh
alam. Akan menguap dan menciptakan atmosfernya sendiri. Entah riang atau kelam.
Relatif, sesuai apa yang hati rasakan.
Kamu
selalu membuat pernyataan betapa tulus kamu sayang pada saya. Ikhlas dan tulus,
katamu. Saya bertanya sejak kapan kata tulus dan ikhlas begitu mudah terucap
tanpa iringan tindak ketulusan. Saya takkan mempermasalahkan istilahmu itu.
Karena saya tahu. Kamu hanya cemburu. Kamu cemburu pada kemesraanku dengan
huruf. Kamu cemburu pada kegiatan yang menyita waktuku. Kamu cemburu pada buku
yang membawaku larut, terbang ke negeri antah brantah bernama imajinasi.
Cemburu bukan satu hal yang perlu di permasalahkan. Kamu hanya ingin menyatakan
kamu menyayangiku. Menginginkanku 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Selalu
dan setiap saat bersamamu. Hadirku yang kamu inginkan. Meski hanya terdiam di
sisimu. Setidaknya saat kamu menoleh ada aku di sisimu. Kamu rindu. Kamu
cemburu. Kamu sayang. Dan kamu berfikir saya tak merasa demikian padamu. Kamu
berfikir rasamu padaku bertepuk sebelah tangan. Kamu merasa terus berlari
mengejarku, sedang aku tak sekalipun menoleh padamu. Mengelap peluh yang
membanjiri ragamu. Sungguh itu hanya anganmu.
Kamu
tak perlu berlari untuk mengejar. Karena saya ada di belakangmu, untuk
menopangmu agar kamu tak pernah terjatuh. Saya ada di sampingmu, agar kamu tak
perlu menoleh ke belakang untuk melihatku. Saya hanya berada sejengkal di
depanmu, siap memelukmu jika kamu butuh tempat bersandar. Saya telah terikat
kontrak denganmu. Kontrak naluri, tak mampu pergi barang semeterpun.
Kamu
memintaku untuk belajar mengerti lingkunganku. Mengerti kamu yang sayang dan
butuh saya. Saya berusaha melakukan hal tersebut, selalu. Mengkondisikan diri,
menempatkan diri dimana saya berguna dan bermanfaat bagi lingkungan.
“Sebaik
baiknya manusia ialah manusia yang bermanfaat untuk orang lain”
Itu
cara yang sedang saya usahakan. Membagi waktu yang hanya dua puluh empat jam
sehari dengan luasnya lingkungan yang saya miliki.
Sungguh,
saya mengerti bahwa kamu menyayangiku. Mengerti dan mewujudkannya dengan
caraku. Ragaku memang tak 24 jam sehari bersamamu, tapi jika kamu butuh saya
akan ada.
Jarak
nyata terbentang. Bukan bualan saat aku bilang ‘aku ada untukmu’. Bukankah,
sekarang jarak itu bisa di samarkan dengan hadirnya teknologi. Kamu bahkan
sudah hafal di luar kepala angka berapa saja yang kamu butuhkan untuk
menghubungiku. Silahkan kamu bercerita tentang apa saja padaku, meminta
pendapat, atau hanya sebuah ungkapan rindu. Saya akan membalasnya. Atau jika
ternyata kamu menginginkan saya menghubungimu. Saya siap. Saya berusaha
mengingatkan aktivitas yang kadang terabaikan olehmu. Kamu sering telat makan,
sekalinya makan kamu memilih makanan yang salah. Berakibat sistem pencernaanmu
yang terganggu. Kamu sakit saat jarak nyata ada. Saya mencemaskanmu tentu saja.
Kamu sering mengabaikan nakalnya angin sekarang. Pergi menabrak angin dalam
jarak relatif jauh tanpa jaket atau kain hangat lainnya. Lantas kamu mengeluh
kedinginan hingga masuk angin. Saat itu saya tak mampu mengoleskan minyak angin
atau sekedar menghangatkanmu. Padahal sungguh saya ingin melakukannya untukmu.
“Kamu
takkan mampu menghangatkan orang lain jika tak ada bara dalam dirimu, Stitch :’)”
0 comments:
Post a Comment