Soe
Hok Gie dilahirkan pada tanggal
17 Desember 1942. Dia adalah sosok aktifis yang sangat aktif pada masanya.
Sebuah karya catatan hariannya yang berjudul Soe
Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman oleh LP3ES diterbitkan pada tahun 1983. Soe Hok Gie
tercatat sebagai mahasiswa Universitas Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan
Sejarah tahun 1962–1969 dan juga merupakan salah satu pendiri Mapala UI yang salah satu kegiatan terpenting dalam
organisasi pecinta alam tersebut adalah mendaki gunung. Gie juga tercatat
menjadi pemimpin Mapala UI untuk misi pendakian Gunung Slamet, 3.442m.
Tanggal 16 Desember 1969, Gie bersama Mapala UI berencana melakukan misi pendakian ke Gunung Mahameru (Semeru) yang mempunyai ketinggian 3.676m. Banyak sekali rekan-rekannya yang menanyakan kenapa ingin melakukan misi tersebut. Gie pun menjelaskan kepada rekan-rekannya tesebut :
Tanggal 16 Desember 1969, Gie bersama Mapala UI berencana melakukan misi pendakian ke Gunung Mahameru (Semeru) yang mempunyai ketinggian 3.676m. Banyak sekali rekan-rekannya yang menanyakan kenapa ingin melakukan misi tersebut. Gie pun menjelaskan kepada rekan-rekannya tesebut :
“Kami jelaskan apa
sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang
tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan
slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia
mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan
mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat
dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami
naik gunung.”
Sebelum
berangkat, Gie sepertinya mempunyai firasat tentang dirinya dan karena itu dia
menuliskan catatannya :
“Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya.
Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu.
Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin
mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin
membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas
kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Soe
Hok Gie sempat menimba ilmu di SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah
dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok
Gie sendir berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.
Ia
merupakan anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan
rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya
kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Soe Hok Gie
adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam
Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas
Kristen Satya Wacana yang juga dikenal sebagai vokal dan sekarang berdomisili
di Australia.
Hok
Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas,
Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35
karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang
waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman
Peralihan (Bentang, 1995). Catatan Seorang Demonstran. Skripsi sarjana mudanya
perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan
judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal
pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai
bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf
redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh
mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi
yang ada, termasuk buku harian Gie yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang
Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), berikut beberapa kisah yang mewarnai tragedi
tersebut yang saya kutip dari Intisari :
Suasana
sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G.
Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru
(puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang
awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh
pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk
hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya
khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di
tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.
Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.
Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.
MANDALAWANGI – PANGRANGO
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat
dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti
Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang
tanda tanya “tanpa kita mengerti,
tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah
‘terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang
membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta
19-7-1966
====================================================
“Disana, di
Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan
isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang
tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang…” – Soe Hok Gie
SEBUAH TANYA
“akhirnya semua
akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun
turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau
masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu
berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam
mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang
basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau
masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi
malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku
akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Selasa,
1 April 1969
====================================================
PESAN
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Harian
Sinar Harapan 18 Agustus 1973
====================================================
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke
mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan
lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”
(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November
1969)
Akhir perjalanan
Soe:
15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.
15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.
0 comments:
Post a Comment