Rss Feed
  1. Soe Hok Gie

    Monday 27 February 2012


          Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dia adalah sosok aktifis yang sangat aktif pada masanya. Sebuah karya catatan hariannya yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman oleh LP3ES diterbitkan pada tahun 1983. Soe Hok Gie tercatat sebagai mahasiswa Universitas Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969 dan juga merupakan salah satu pendiri Mapala UI yang salah satu kegiatan terpenting dalam organisasi pecinta alam tersebut adalah mendaki gunung. Gie juga tercatat menjadi pemimpin Mapala UI untuk misi pendakian Gunung Slamet, 3.442m.    

    Tanggal 16 Desember 1969, Gie bersama Mapala UI berencana melakukan misi pendakian ke Gunung Mahameru (Semeru) yang mempunyai ketinggian 3.676m. Banyak sekali rekan-rekannya yang menanyakan kenapa ingin melakukan misi tersebut. Gie pun menjelaskan kepada rekan-rekannya tesebut :
    “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
    Sebelum berangkat, Gie sepertinya mempunyai firasat tentang dirinya dan karena itu dia menuliskan catatannya :
    “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
    Soe Hok Gie sempat menimba ilmu di SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendir berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.
    Ia merupakan anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
    Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal sebagai vokal dan sekarang berdomisili di Australia.
    Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Catatan Seorang Demonstran. Skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
    Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
    Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Gie yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), berikut beberapa kisah yang mewarnai tragedi tersebut yang saya kutip dari Intisari :
              Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.
              Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
              Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.          
    Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.         
              Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.
    Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil. 
    “Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.     
              Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.
    MANDALAWANGI – PANGRANGO
    Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
    aku datang kembali
    kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
    walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
    aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
    dan aku terima kau dalam keberadaanmu
    seperti kau terima daku
    aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
    sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
    hutanmu adalah misteri segala
    cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
    malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
    Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
    “hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
    ‘terimalah dan hadapilah
    dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
    aku terima ini semua
    melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
    aku cinta padamu Pangrango
    karena aku cinta pada keberanian hidup
    Jakarta 19-7-1966
    ====================================================
    “Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang…” – Soe Hok Gie


    SEBUAH TANYA
    “akhirnya semua akan tiba
    pada suatu hari yang biasa
    pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
    apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
    memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
    sambil membenarkan letak leher kemejaku”
    (kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
    kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
    meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
    “apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
    ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
    (lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
    “apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
    kecuali dalam cinta?”
    (haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
    “manisku, aku akan jalan terus
    membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
    bersama hidup yang begitu biru”
    Selasa, 1 April 1969
    ====================================================
    PESAN
    Hari ini aku lihat kembali
    Wajah-wajah halus yang keras
    Yang berbicara tentang kemerdekaaan
    Dan demokrasi
    Dan bercita-cita
    Menggulingkan tiran
    Aku mengenali mereka
    yang tanpa tentara
    mau berperang melawan diktator
    dan yang tanpa uang
    mau memberantas korupsi
    Kawan-kawan
    Kuberikan padamu cintaku
    Dan maukah kau berjabat tangan
    Selalu dalam hidup ini?
    Harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973
    ====================================================
    ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
    ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
    tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
    bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
    atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
    ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
    ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
    tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
    setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
    tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
    mari, sini sayangku
    kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
    tegakklah ke langit atau awan mendung
    kita tak pernah menanamkan apa-apa,
    kita takkan pernah kehilangan apa-apa”
    (Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)
    Akhir perjalanan Soe:
    15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.


  2. 0 comments: