Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Rabu,
08 Oktober 2014
“Tulisannya bagus sih Nduk, tapi kok
malah jadi menye-menye gitu ya?” lempar seorang kakak retoris seusai membaca
buku rekomendasi saya. Dan saya meringis, siap melempar linggis *jikaada*.
Hari ini tulisanmu telah ku babat
habis. Tidak habis dalam arti yang sebenarnya, tapi setidaknya sudah terbaca
sebagian besar. Lantas memberikan nasib sama dengan buku-buku lainnya, bukumu
saya bawa kemana-mana. Saya pamerkan dan saya ajak yang lain untuk membacanya
pula. Dan respond diatas adalah yang menggunggah saya menuliskan ini untukmu,
bukan ding! Amm lebih tepatnya untuk melegakan hati saya.
^O^
“Hujan Matahari” mengemas banyak
cerita beraroma hikmah dengan sangat pekat. Tak jarang pada lembarnya ada
tetesan haru yang menyaru hingga mengaburkan pandangku. Beberapa dengan tepat
menginjeksikan cairan bawang dimata saya. Memang tulisanmu terkesan sangat
perempuan, tapi sungguh tak terlintas sedikitpun itu sebagai indikator
ketidakjantanan. -_- Ayolah, bukankah itu malah baik? Setidaknya itu menandakan
bahwa kamu paham bagaimana sisi seorang perempuan memandang. Dan memahami
perempuan melalui lembutnya sebuah tulisan itu tidak membuat si laki-laki
kehilangan apapun kan? Sama seperti saat laki-laki menangis? Dia tidak
kehilangan apapun kan? Bahkan semakin lengkap sebagai manusia. :”)
^O^
Hujan. Besertanya doa-doa melangit
dengan leluasa. Besertanya dosa-dosa meluruh seketika. Besertanya pula banyak
cerita bermula. Besertanya lagu-lagu rasa muncul dipermukaan, memunculkan
kubangan kenangan yang enggan dilupakan. Besertanya inspirasi-inspirasi itu
mengudara dalam kebebasan imaji. Bersertanya tanah, rumput, daun, serta akar
bersenyawa mengabarkan petrichor dalam nafas-nafas air. (RisaRiiLeon,
15/12/2014)
Hujan Matahari adalah satu kawanan
air yang menginspirasi, menyumbangkan sebuah kacamata penuh hikmah guna
memandang rencana.Nya yang kerap jauh dari duga. Menguatkan dalam kelembutan.
Terima kasih untuk berbagi kesempatan mengenakan kacamatamu, Tuan :”). Ini
bukan rayuan. Sungguh! Bodoh jika saya mencoba merayumu melalui alinea
sederhana tanpa bunga metafora ini. Pun mengingat betapa jual mahalnya kamu.
Sebab jelas, saya tidak ada niat
menawarkan hidupku untuk mengamanahkan sebuah rasa kepadamu. Pun dengan saya
yang belum berminat sekedar memberi perhatian apapun untukmu. Juga dengan
rupaku yang biasa saja, hartaku yang Cuma raga, darahku yang hanya merah tanpa
biru, dan lebih dari itu semua titipan semata :D Jelas, saya tidak memiliki
apa-apa untuk ditawarkan atau berikan untukmu. Tulisan ini murni testimoni
untuk sebuah prestasi berbagi dari seorang penyuka Hujan. ^_^
^O^
Tanpa perlu berbohong, hujan memang
kerap merubah banyak agenda saya. -_- Menunda beberapa agenda sebab rintiknya
yang kerap membuat sakit. Dari omelan bunda juga larangan rekan kerja untuk
menunda aktivitas selama hujan menjajah semesta. Tapi sungguh! Sejujurnya
beserta Hujan saya sering bahagia. ^_^ Selain sebagai alarm pengingat masa
kecil yang penu canda. Hujan-hujanan adalah teguran Allah kepada saya untuk
pelan-pelan berkendara. Lebih menikmati perjalanan dan percakapan dengan diri.
:D dalam laju yang melambat, dalam diam hati saya berisik berbincang.
Membincangkan banyak hal yang sudah atau belum terjadi. Hahaaha semacam terapi
menanti seorang yang kerap akan saya ajak berbincang banyak hal :v Pun dengan
hadirnya ruang resonansi maha besar yang maha merdu mengalunkan lagu rindu.
Tentu kamu sudah mendengar bahwa hujan memiliki kemampuan menhipnotis manusia
untuk meresonansikan ingatan masa lalu dan mengabarkan sebuah rindu. Dan hujan
pula bukti betapa langit dan bumi masih saling jatuh hati dalam meski. Ya,
meski keduanya tidak memiliki satu kesamaan perihal fisik dan fungsi. Tapi
langit dan bumi masih memiliki rasa untuk melindungi serta mengisi satu sama
lain.
Melalui hujan. Bumi dengan
kerendahhatinya mempersembahkan enambelas juta ton air, menguap dan mengabarkan
pesan cinta melalui selokan, parit, sungai, telaga, danau, hingga samudra lewat
awan juga deru angin diangkasa. Pesan cinta hadir dalam proses kondensasi,
menjelma dalam gumpalan awan mengandung titik air lantas terjun bebas dengan
kecepatan delapan sampai sepuluh kilometer per jam. Proses jatuh yang
menyampaikan betapa ramainya langit merindu bumi. Mengembalikan lima ratus lima
kali seribu dua puluh satu ton air. Selalu dan pasti, sejumlah yang bumi
berikan untuk langit. Tanpa pernah berkurang. Air-air itu yang telah membumi
atau melangit adalah pesan cinta yang sama dari zaman dahulu kala. Abadi dalam
siklusnya menghidupi banyak kehidupan. Pesan cinta yang tak lekang oleh waktu.
Serasi dalam takaran yang seimbang dan sesuai kebutuhan. Langit dan Bumi
melalui hujan, jatuh cinta sepanjang masa. Berlandas rela menjalanni titah
Rabbnya.
Lalu Hujan Matahari, layaknya hujan
yang menginspirasi serta menjembatani banyak ide. Matahari adalah bintang
kehidupan. Matahari satu saja sudah menghidupi, apalagi jika banyak? :D Hmmm
benar, Hujan Matahari itu serupa banjir hikmah. Sampai bingung harus bagaimana
:v Tidak, tidak hanya bercanda. Tapi jujur ya, satu matahari saja sering
menyilaukan, apalagi banyak :v Saya sempat terbutakan kisanak! Terbutakan atas apa?
Atas kamu -__- Sempat saya kira kamu manusia setengah dewa -_- sebuah prasangka
yang hadir tidak pada tempatnya. Maafkan. Ya, wajar dong. Sosokmu yang begitu
ammm ‘pas’ mengutarakan frasa mampu menghadirkan perkara dengan sangat bijak.
Ceritamu yang sederhana namun mengena, itu. Ya itu yang membuat saya sempat
buta. Tenang! Tenang saja, akal saya masih bekerja kok ^_^ Saya tetap akan
memandang kamu sebagai manusia sehingga saya tidak akan terkejut dengan
kemungkinan kamu memiliki sesuatu yang tidak baik :P Sudahlah, intinya saya
berterima kasih atas hujannya. Ayo hujan-hujanan (lagi)! ^_^
0 comments:
Post a Comment