Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Selasa,
05 Nopember 2013
“Seharusnya memang tidak
dibicarakan, disinggungpun jangan! Sudah tahu jawabannya masih saja sibuk
bertanya, sibuk memupuk harap tepatnya :”D.” Gumamku lebih pada diri sendiri di
suatu senja bersama sebuah pesan tanpa balas.
Udara lebih menggigilkan sore tadi
dan mushaf itu menghangatkan saya seketika. Mengembalikan bara tentang mengeja
diam.
^O^
Saya mengenalnya. Mengaguminya sebab
keagungan Allah atas cipataan.Nya. Penuh wibawa dalam ketenangannya. Tegar
serupa kokoh ia berdiri. Ya, Gunung itu nampak sangat agung dalam pandang
berjarak ini. Mewah menjulang langit penuh berkah. Lantas jika kita
mendekatinya. Menjamah daratannya yang tak datar, serupalah ia dengan daratan
lain. Berisi tanah, batuan, rumput, ilalang, juga beberapa pohon yang mungkin
sedang meranggas. Keagunganya seolah hilang dalam pandang dekat itu. Apa yang
istimewa ketika ternyata ia tak beda dengan daratan lain?!
Ya, ia nampak agung dari jauh, dan
nampak biasa saat didekati.
Mungkinkah keagungan hanya nampak
jika berjarak? Serupa gunung itu?!
Lantas bagaimana dengan rasa yang
agung itu? Haruskah berjarak pula?!
Mungkin iya, harus ada jarak dalam
hijab.
Bukankah Allah telah memberi contoh
lewat keagungan cinta Ali dan Fatimah?! Tidakkah kamu ingat?!
Dan untuk daratan gunung itu,
biarlah ia tetap agung dalam pandang insan. Dan tetaplah ia menjadi biasa saat
didekat. Gunung tak semata mengajarimu tentang menjadi istimewa atau menjadi
biasa. Dia juga menitipkan salam ketegaran juga ketangguhan. Mengingatkamu
tentang kebesaran.Nya, dan betapa kerdilnya engkau dihadap.Nya. Lupakah pada
atap atap mungil dan manusia yang serupa semut saat dipandang dari pucuk gunung
itu?!
Gunung juga mengajarimu tentang
perjuangan. Bukankah tak mudah mencapai puncaknya? Banyak onak duri siap
menghadang.
^O^
Dalam jarak ketidaktahuan itu. Saat
kita saling pandang dengan apa yang nampak dari jauh. Bias kagum murni
mendekatkan pandang. Mencoba mencari tahu satu sama lain. Kagum yang memulai
mengirim simpati dan empati hingga nampaklah dataran biasa itu. Tak lagi
istimewa sebab memang serupa dengan yang lain, hanya saja ini memang nampak
lebih elok berwibawa tepatnya. Mengemas ikhtiarnya dengan penuh sahaja.
^O^
Melalui kesadaran yang terlambat,
juga lupa yang mengkhilaf kala dua tangan saling berjabat tanpa hijab, saya
meniatkan diri untuk satu hal. Mengikhtiarkanmu baik baik. Biarlah saya lalui perjalanan ini seorang
diri dulu. Melangkah dari sini kesana sendiri. Langkah demi langkah yang saya
tapak setiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Terus berulang hingga sekarang.
Dalam perjalanan inipun saya paham, bahwa setiap proses penuh mandiri ini akan
diakhiri. Barangkali pertemuan denganmu adalah solusi dari sepinya langkah
kesendirian saya. Sebuah temu yang telah digariskan oleh.Nya sejak dulu. Masa
yang bahkan tidak kita sengaja namun jelas terencana oleh.Nya.
Biarlah saya lalui perjalanan ini
seorang diri dulu. Melangkah dari sini kesana sendiri. Langkah demi langkah
yang saya tapak setiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Terus berulang hingga
sekarang. Meski saya dan kamu telah bertemu, namun posisiku sebagai perempuan
belum memungkinkan untuk membicarakan apapun tentang perasaan. Sebab memang
belum butuh dilakukan. Biarlah pertemuan saya dan kamu tetap dalam koridor.Nya,
tanpa perlu merubah apapun yang telah saya dan kamu proseskan.
Biarlah saya lalui perjalanan ini
seorang diri dulu. Melangkah dari sini kesana sendiri. Langkah demi langkah
yang saya tapak setiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Terus berulang hingga sekarang.
Mengisi setiap jengkal masa dengan hal yang membawa manfaat. Belajar bersama
teman, berjalan-jalan mengenal sekitar, membaca buku, mengemban amanah, memburu
ilmu di ragam majelis (yang terkadang saya lihat kamu disana pula), membantu
ibu memasak ragam menu (yang kelak akan ada satu menu pesananmu disana).
Sebab adanya sebuah pertemuan itu. Ruang
majelis yang kerap sama. Kemungkinan pertemanan itu nyata ada. Dan ya sebut
saja kita teman. ^_^ saya dan kamu selalu punya waktu untuk berbincang. Perbincangan
yang selalu menghasilkan senyum tawa dari ronamu (barangkali memang ada yang
lucu atau sekedar bahagia yang muncul dipermukaan). Bahkan saya dan kamu kerap
diskusi berdua, kejadian sesekali yang terisi banyak solusi. Namun, kitapun
tidak terlalu dekat. Bukankah kamu sering melakukan perbincangan serupa dengan
rekan lain? Pun dengan saya yang tak selalu tahu kesibukanmu setiap harinya.
Saya menjalani hari-hari sendiri
setiap hari. Kamu pun demikian kan? Biarlah kita sama-sama memantaskan diri
setiap harinya. Bersama berproses ditempat yang berbeda.
Probabilitas itu jelas ada.
Kemungkinan untuk saya menghubungimu, sekedar bertanya kabar atau bertukar
fikir, pun dengan meminjam buku. Sekali lagi, saya perempuan. Maka itu adalah
alasan cukup untuk menciptakan jarak. Amm setidaknya perbatasan untuk cukup
sadar diri. Sekali lagi, saya ingin mengikhtiarkanmu baik-baik. Tanpa
pertemuan-pertemuan tak beralasan, tanpa perbincangan basa-basi berlandas
kepentingan yang dibuat-buat. Tanpa gemuruh berlebihan, serta pasang-surut
perasaan yang kerap sukar dikendalikan.
Mengikhtiarkanmu baik-baik.
Menyertakan namamu dalam doa seusai sujud. Tersenyum dan berbincang sekadarnya.
Mendukung cita-citamu semampu saya sebab saya belum menjadi (atau tepatnya
bukan) siapa-siapa. Dan biarlah saya hidupkan kisah kita dalam heningnya nafas
doa. Hingga Sang Maha Cinta sudi melirik saya yang mengikhtiarkanmu dengan
sederhana tanpa maksud mengistimewakan. Hingga para penduduk langit cemburu dan
ridha kepada kita. Dan sekiranya semoga cara
ini yang terbaik tanpa menyakiti bila nyata kamu bersama orang lain. :”)
0 comments:
Post a Comment