Rss Feed
  1. Dengan Cara Baik - Baik

    Tuesday 16 December 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    Selasa, 05 Nopember 2013

                “Seharusnya memang tidak dibicarakan, disinggungpun jangan! Sudah tahu jawabannya masih saja sibuk bertanya, sibuk memupuk harap tepatnya :”D.” Gumamku lebih pada diri sendiri di suatu senja bersama sebuah pesan tanpa balas.
                Udara lebih menggigilkan sore tadi dan mushaf itu menghangatkan saya seketika. Mengembalikan bara tentang mengeja diam.
    ^O^
                Saya mengenalnya. Mengaguminya sebab keagungan Allah atas cipataan.Nya. Penuh wibawa dalam ketenangannya. Tegar serupa kokoh ia berdiri. Ya, Gunung itu nampak sangat agung dalam pandang berjarak ini. Mewah menjulang langit penuh berkah. Lantas jika kita mendekatinya. Menjamah daratannya yang tak datar, serupalah ia dengan daratan lain. Berisi tanah, batuan, rumput, ilalang, juga beberapa pohon yang mungkin sedang meranggas. Keagunganya seolah hilang dalam pandang dekat itu. Apa yang istimewa ketika ternyata ia tak beda dengan daratan lain?!
                Ya, ia nampak agung dari jauh, dan nampak biasa saat didekati.
                Mungkinkah keagungan hanya nampak jika berjarak? Serupa gunung itu?!
                Lantas bagaimana dengan rasa yang agung itu? Haruskah berjarak pula?!
                Mungkin iya, harus ada jarak dalam hijab.
                Bukankah Allah telah memberi contoh lewat keagungan cinta Ali dan Fatimah?! Tidakkah kamu ingat?!
                Dan untuk daratan gunung itu, biarlah ia tetap agung dalam pandang insan. Dan tetaplah ia menjadi biasa saat didekat. Gunung tak semata mengajarimu tentang menjadi istimewa atau menjadi biasa. Dia juga menitipkan salam ketegaran juga ketangguhan. Mengingatkamu tentang kebesaran.Nya, dan betapa kerdilnya engkau dihadap.Nya. Lupakah pada atap atap mungil dan manusia yang serupa semut saat dipandang dari pucuk gunung itu?!
                Gunung juga mengajarimu tentang perjuangan. Bukankah tak mudah mencapai puncaknya? Banyak onak duri siap menghadang.
    ^O^
                Dalam jarak ketidaktahuan itu. Saat kita saling pandang dengan apa yang nampak dari jauh. Bias kagum murni mendekatkan pandang. Mencoba mencari tahu satu sama lain. Kagum yang memulai mengirim simpati dan empati hingga nampaklah dataran biasa itu. Tak lagi istimewa sebab memang serupa dengan yang lain, hanya saja ini memang nampak lebih elok berwibawa tepatnya. Mengemas ikhtiarnya dengan penuh sahaja.
    ^O^
                Melalui kesadaran yang terlambat, juga lupa yang mengkhilaf kala dua tangan saling berjabat tanpa hijab, saya meniatkan diri untuk satu hal. Mengikhtiarkanmu baik baik.        Biarlah saya lalui perjalanan ini seorang diri dulu. Melangkah dari sini kesana sendiri. Langkah demi langkah yang saya tapak setiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Terus berulang hingga sekarang. Dalam perjalanan inipun saya paham, bahwa setiap proses penuh mandiri ini akan diakhiri. Barangkali pertemuan denganmu adalah solusi dari sepinya langkah kesendirian saya. Sebuah temu yang telah digariskan oleh.Nya sejak dulu. Masa yang bahkan tidak kita sengaja namun jelas terencana oleh.Nya.
                Biarlah saya lalui perjalanan ini seorang diri dulu. Melangkah dari sini kesana sendiri. Langkah demi langkah yang saya tapak setiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Terus berulang hingga sekarang. Meski saya dan kamu telah bertemu, namun posisiku sebagai perempuan belum memungkinkan untuk membicarakan apapun tentang perasaan. Sebab memang belum butuh dilakukan. Biarlah pertemuan saya dan kamu tetap dalam koridor.Nya, tanpa perlu merubah apapun yang telah saya dan kamu proseskan.
                Biarlah saya lalui perjalanan ini seorang diri dulu. Melangkah dari sini kesana sendiri. Langkah demi langkah yang saya tapak setiap hari. Tujuh hari dalam seminggu. Terus berulang hingga sekarang. Mengisi setiap jengkal masa dengan hal yang membawa manfaat. Belajar bersama teman, berjalan-jalan mengenal sekitar, membaca buku, mengemban amanah, memburu ilmu di ragam majelis (yang terkadang saya lihat kamu disana pula), membantu ibu memasak ragam menu (yang kelak akan ada satu menu pesananmu disana).
                Sebab adanya sebuah pertemuan itu. Ruang majelis yang kerap sama. Kemungkinan pertemanan itu nyata ada. Dan ya sebut saja kita teman. ^_^ saya dan kamu selalu punya waktu untuk berbincang. Perbincangan yang selalu menghasilkan senyum tawa dari ronamu (barangkali memang ada yang lucu atau sekedar bahagia yang muncul dipermukaan). Bahkan saya dan kamu kerap diskusi berdua, kejadian sesekali yang terisi banyak solusi. Namun, kitapun tidak terlalu dekat. Bukankah kamu sering melakukan perbincangan serupa dengan rekan lain? Pun dengan saya yang tak selalu tahu kesibukanmu setiap harinya.
                Saya menjalani hari-hari sendiri setiap hari. Kamu pun demikian kan? Biarlah kita sama-sama memantaskan diri setiap harinya. Bersama berproses ditempat yang berbeda.
                Probabilitas itu jelas ada. Kemungkinan untuk saya menghubungimu, sekedar bertanya kabar atau bertukar fikir, pun dengan meminjam buku. Sekali lagi, saya perempuan. Maka itu adalah alasan cukup untuk menciptakan jarak. Amm setidaknya perbatasan untuk cukup sadar diri. Sekali lagi, saya ingin mengikhtiarkanmu baik-baik. Tanpa pertemuan-pertemuan tak beralasan, tanpa perbincangan basa-basi berlandas kepentingan yang dibuat-buat. Tanpa gemuruh berlebihan, serta pasang-surut perasaan yang kerap sukar dikendalikan.
                Mengikhtiarkanmu baik-baik. Menyertakan namamu dalam doa seusai sujud. Tersenyum dan berbincang sekadarnya. Mendukung cita-citamu semampu saya sebab saya belum menjadi (atau tepatnya bukan) siapa-siapa. Dan biarlah saya hidupkan kisah kita dalam heningnya nafas doa. Hingga Sang Maha Cinta sudi melirik saya yang mengikhtiarkanmu dengan sederhana tanpa maksud mengistimewakan. Hingga para penduduk langit cemburu dan ridha kepada kita. Dan sekiranya semoga cara  ini yang terbaik tanpa menyakiti bila nyata kamu bersama orang lain. :”)
     

  2. 0 comments: