Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
Taken by RisaRiiLeon |
Kolaborasi
secercah langit jingga dengan luka itu bukan sesuatu yang bagus. Tentu. Tapi,
selepas ashar itu membawa kami pada perkara luka.
Setidaknya
sepiring Mochi pandan isi pisang menjadi saksi betapa proses penyembuhan itu
tidak semudah mengolah mie instan.
“Kok
bisa sih, laki laki semudah itu menyabangkan hati. Bersamaan menyayangi dua
hati?” dengusku dengan ingat melayang pada pengalaman teman.
Yang
ditanya hanya melirik “Meh ngomong opo Nduk?” sambil menyeruput teh
kelengkengnya.
“Itu
hlo Mak, temenku.”
Angin
menjadi perantaraku mengenang. Ketika sepasang yang telah lama bersama harus
berakhir hanya sebab ada pihak ketiga yang datang. Jahatnya, mereka masih dalam
satu lingkaran. Beruntungnya kedua perempuan itu adalah perempuan baik-baik,
yang tidak akan saling jambak jambakan hanya sebab laki-laki. Lelaki itu pun
tidak jahat-jahat amat, sebab akhirnya dia mau berbicara pada kedua perempuan
itu. Mengomunikasikan apa yang menjadi kegelisahan diantara mereka, lantas
mereka bertiga bersama mengunduh hikmah.
Sedikit
berakhir bahagia memang, namun tetap saja. Ada drama, air mata, juga asa yang
tergadaikan untuk bisa memanen hikmah.
Lantas
apa kabar, jika lelaki itu hanya memilih salah satu dari dua perempuan yang
sudah berteman itu lantas mengandengnya dengan lenggang kangkung. Menyudahi
semuanya tanpa menengok lagi, bagaimana seorang dari mereka membangun pondasi
kembali, seorang diri. Pondasi atas keyakinannya yang sudah berkeping –
keeping.
“Takdir
itu ada Nduk. Sampai hari ini. Pun keterlibatan.Nya, tidak hanya perkara hati,
bahkan daun mangga depan rumah yang jatuh barusan juga karena Allah sudah
menghendaki. Allah selalu maha Terlibat.” Ucapnya tenang, dengan mata terpejam
dan hidung menghirup aroma kelengkeng dalam-dalam.
Iya sih Mak, memang demikian.
Batinku.
Jika
Allah sudah menitahkan suatu perkara untuk terjadi, maka tak ada perkara yang
dapat mencegahnya. Tak ada yang dapat memajukan atau menunda-nunda. Bukankah
takdir yang telah digariskan Allah Azza Wa Jalla itu mengikat setiap
makhluk.Nya? Sehingga seandainya seluruh tenaga kita kerahkan dan segenap
kemampuan yang kita gunakan, tak akan pernah sanggup menggeser takdir itu dari
keputusan.Nya. Lantas, apakah ada yang mampu kita lakukan untuk menolak takdir?
Tetapi,
Bukankah,
Allah dan Rosul.Nya pun telah memberikan petunjuk kepada kita. Segala sesuatu
ada hukum yang telah Allah Ta’ Alla untuk mengaturnya. Maka hukum itulah yang
perlu kita ketahui. Pahami dan patuhi.
Berkenaan
dengan takdir nasehat Rosulallah saw kepada Ibnu Abbas ra perlu direnungkan
kembali,
“Wahai
Anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai naseat
buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah dirimu
dari berbuat dosa terhadap Allah niscaya Allah akan selalu berada dihadapanmu.”
Lalu,
sudahkah kita menyikapi takdir dengan bijak? Meramahi setiap sisi takdir yang
mungking bersinggungan dengan syahwat atau egoisme kita sebagai manusia?
Setidaknya,
ketika pena takdir belum terlalu kering, kita masih memiliki beberapa “pilihan
takdir”. Atau saat kita menapak tilas takdir takdir yang sudah terjadi. Tinta
yang sudah terlanjur kering. Tidakkah kita berfikir akan ada semacam upaya
memperbaiki sedikit langkah yang masih bisa direnovasi. Perbaikan tersebab
sadar akan kesalahan. Remidi atas nama kesadaran diri.
Kemudian,
pernahkah kita memikirkan dia atau mereka yang menjadi kesalahan? Memikirkan
dia atau mereka yang terdzolimi oleh kita? Bagaimana dia atau mereka
menyembuhkan diri usai kita sakiti?
Tidak
pernah?
Hmmm
belilah es kucir. Minumlah dari salah satu ujungnya. Nikmati dan pikirkan.
Sebab, percuma menjadi baik jika hanya tentang diri sendiri.
Sebab,
mudah bagi kita untuk melontarkan nasehat (semacam kalimat penghibur, mungkin)
“Coba ubah sudut pandang. Ambil hikmahnya aja. Keep positive thinking!!!”
Jujur.
Itu agak naif (menurut saya).
Lantas
bagaimana dengan kita yang menyakiti? Bukankah akan lebih baik jika kita,
sedikit agak lebih tahu diri? Agar paham ini kesalahan. Segeralah melakukan
perbaikan! Evakuasi korban (mu).
“Sudah
minta maaf, yo!”
Lalu?
Apakah dengan meminta maaf semua akan kembali normal? Bagi kita yang melakukan
kesalahan, mungkin ya! (Paling rasa bersalah yang masih ada.)
Bagi
dia yang disakiti, terdzolimi? Apa semudah itu?
Kita
minta maaf seringnya untuk sekedar melegakan hati (kita sendiri.)
Akuilah,
kita jarang bahkan hampir tidak pernah memikirkan cara dia atau mereka berdamai
dengan luka (dari kita).
Kita
merasa bersalah lalu minta maaf, agar dosa kita terampuni. Agar kita merasa
lega, agar kita merasa sebagai orang baik.
“Nduk
kok melamun?!? Es kucirmu mencair itu! Gage dimimik!”
“Mak…….?”
Panggilku ke Perempuan Tertangguh disampingku.
Bukannya
menjawab, malah menunjuk siluet matahari yang siap menuju ke peraduannya.
Indah. Jingga yang merona menyala.
Jadi harus bagaimana?
Batinku masih bertanya.
Entahlah.
Saya sendiri tidak tahu harus bagaimana.
Iya.
Kita harus memaafkan. Kita harus meminta maaf. Kita harus positive thinking. Kita harus menjadi lebih baik.
Hanya
saja, sudah tepatkah kaki kita dalam menapaki takdir suratan.Nya? sudah sesuai
tuntunan.Nya kah? Tidak menyakiti.Nya, dia atau mereka yang masih saudara
seiman kita?
Kelak,
di penghujung hari, saya ingin mengetuk pintu rumahmu. Menunggumu membukakan
pintu. Lantas ketika tatap kita sudah bertemu. Mari….. duduk diteras rumahmu
berbincang sembari menanyakan satu hal.
“Bagaimana
perasaanmu setalah ku sakiti? Boleh aku peluk kamu agar perasaanmu lebih baik?
kamu tidak perlu buru – buru memaafkanku, yang ku mau adalah perasaanmu menjadi
lebih baik.”
Sebab,
memperbaiki diri terkadang bukan hanya perkara tentang diri sendiri (saja) tapi
juga apa yang orang lain ikut nikmati (Ya, sebut saja semacam testimoni.)
Karena
open
endorse tidak melulu perkara produk yang laku di pasaran, tapi juga
mengenai cara kita saling menjaga perasaan saudara :”)
Happpy
Open Endorse! :D
0 comments:
Post a Comment