Selasa, 25
September 2012
Sichi and Aya |
Tak ada tanggal
pengukur berapa lama terjalin hubungan itu. Terjadi begitu saja, tanpa skenario
yang tersadar. Mengalir seperi halnnya air. Namun netah bagaimana air itu
begitu melenakan. Sichi dan Aya.
20 Mei 2012. Hari itu
hari minggu. Saya meminta kamu datang ke jembatan besar dekat jalan ke pantai.
Saya ingin menanyakan banyak hal. Tentang pesan singkat yang kamu kirim,
tentang pernyataanmu pada teman saya, tentang janji 4 tahun lagi yang kamu
ucapkan via telefon, hingga pertengkaran kita yang berujung pada kata PUTUS.
Kamu tau?! Aku
terhenyak. Aku jatuh. Terjun hingga tersadar betapa jatuh di dasar yang keras
dan berduri itu menyakitkan. Tak ada kata yang mampu saya rangkai untuk
menyatakan kekecewaan sekaligus sakit yang aku rasakan malam itu. Aku hanya
mampu terdiam. Membiarkan pesan singkatmu tetap terbuka tanpa ada asa untuk
menakan tombol replay dan mengetikan rentetan huruf sebagai balasanku. Aku
terbaring. Mencoba melelapkan diri. Berharap itu hanya mimpi dan esok masih
baik baik saja. Kamu hanya sedang terlalu lelah. Masih ada maaf yang saya
siapkan jika esok kamu memintanya. Dan masih ada kata ‘iya’
untuk pertanyaan ‘maafin aku yaa’.
Masih ada kaya ‘iya’
untuk permintaan ‘kita bareng bareng lagi
ya?’.
Saya begitu yakin masih ada hari esok
untuk kita. Saya mencoba terus terlelap. Tak lupa menyiapkan senyum manis untuk
mengiringi kata ‘iya’ yang saya harapkan meski nyatanya air mata itu terus
menetes. Membasahi bantal. Mengakibatkan sembab. Membuat kantong mata layaknya
kantong doraemon. L
Saya mengecheck inbox dalam hp saya. NYATA pesan singkatmu
terwujud. Saya mencoba meyakinkan diri untuk tegar. Untuk bisa mengatasi ini.
Untuk bisa terus mempertahankan kita. Saya tau. Kita harus bertemu. Berdua.
Berbicara baik baik. Tak mudah bukan menghapus setahun yang kita lewati? Iya
kan? Atau hanya perasaanku? Entahlah. Yang jelas saya harus segera menemukan
alasan menemuimu.
Jaket. Saya meminjam jaket itu untuk rencana pendakian
minggu lalu. Semoga alasan itu logis. Saya mencoba menghubungimu. Kamu
bersedia. Jam 11.00 di jembatan dekat jalan pantai. Saya berencana mengajak
Nova sebagai mediasi karena hanya dia pihak yang tau bagaimana kedekatan
hubungan kita. Backstreet memang tak pernah mudah terlebih untuk posisi saya :’(
Menata hati. Mengontrol emosi. Semoga tak terlalu berantakan
bertemu denganmu. Melatih mata agar dapat mengontrol air mata. Saya tak ingin
terlihat rapuh lantas menangis di depanmu. Saya setegar batu karang. Pukul
sembilan lebih sedikit saya berangkat ke tempat sahabat saya. Kamu mengirim
pesan singkat bahwa kamu sudah menunggu saya di jembatan itu, namun sahabat
saya belum siap untuk diajak bepergian. Akhirnya pukul 13.00. saya meluncur
setelah membaca pesan singkatmu
“bertemu di alun alun sekarang jika
bisa, semisal tidak bisa buang saja jaketnya. Datanglah ONTIME!!” kurang lebih seperti itu. Dan hanya
kata “ya” balasan dari saya.
My Expectation:
Sampai di alun alun. Kamu seorang diri menunggu saya.
Wajahmu menyiratkan kelegaan begitu melihat saya datang, namun ada sedikit
sesal yang tak mampu kamu tutupi. Lantas kamu bertanya “kenapa matamu sembab begitu?!” saya akan menjawab “karena kamu.”
Sembari menatap mata itu, mencari cinta
yang mungkin masih ada. Tersenyum bersama. Sahabat saya lega, dia lantas pergi
memesan somay langganan kita, menyisihkan waktu untuk kita sedikit bercengkrama
dan meluruskan kata PUTUS menjadi RUJUK hingga saya bisa terus tersenyum atas
keberangkatan saya menuntut ilmu sore nanti. Masih ada genggamanmu ketika aku
duduk di balik punggungmu. Masih ada sisa keberadaanmu saat saya melenggang
memasuki stasiun. Masih ada pengaitan dua kelingking dan berucap “bareng bareng terus yaa..lafyuu”.
Dan kita masih terus bersama, benar benar menjadi kita hingga kedua
orang tua menyetujui kita menjadi ‘kita’.
The Real.
Sampai di alun alun. Kamu asik mengobrol dengan seorang
gadis cantik berjilbab. Tak terlalu menghiraukan kedatangan saya hingga sahabat
saya memanggilmu. Saya hanya merunduk. Sungguh mata ini telah berair. Berharap
kamu tak melihatnya. Sahabat saya berbicara mengenai gadis gadis yangberada di
sekitarmu itu, juga beberapa sebaya yang lain. Teman madrasah aliyah (Sejenis
SMA namun berbasis Islam)mu ternyata. Dan salah satunya ialah dia yang sempat
singgah di hatimu. Dia yang selalu ingin kamu kenalkan pada orang tuamu. Dia
yang berhasil membuatmu patah karena dia termiliki oleh sahabatmu.
Kamu hanya menanyakan jaket tanpa hasrat menanyakan saya.
Taukah?! Aku telah remuk setelah sepuluh berada di sana saat itu. Aku hancur
tanpa kamu sadari.
Sahabat saya membuat alibi pergi dari forum tak resmi ni.
Meninggalkan saya dengan harapan saya berani mengajakmu berbicara mengenai
kelanjutan kita. Tuhan, bantu saya. Batin saya lirih. Hasrat itu nyata ada,
namun tak kan terrealitas karenya nyata saya lihat kamu tak menghiarukan
keberadaan saya di sana. Saya hanya seperti kerikil yang tak terhiraukan oleh
siapapun. Rumput yang terpangkas kejam pleh injakn manusia bernama Sichi. Saya
hanya mampu berlari menyusul sahabat saya, memintanya untuk mengajak saya. Tak
ada alasan untuk saya tetap berada disana.
Toh, tak ada sedikit perhatianmu tersisa untuk saya.
Di dalam masjid. Saya berwudhu meski tak akan mensucikan
saya dari hadast besar bulanan saya. Saya hanya berharap tangis ini tertutupi
oleh air wudhu. Semoga Tuhan tetap mendekap saya.
Seusai menggugurkan wajib dzuhurnya, sahabat saya melatih
saya untuk tersenyum, menata kata, dan menjaga mimik wajah ceria. Seperti
biasanya.
Baru 15 menit yang lalu saya beranjak dari tempat terakhir
saya melihatmu namun kamu sudah tak ada di sana.
“Sichi, pergi sholat sama yang lain” ucap salah satu temanmu. Sembari
menunggumu dengan kecemasan yang mencoba saya redam, saya berbincang dengan
temanmu itu. 20 menit lewat kamu belum juga kembali. Sekhusu’ itukah shalatmu sayang?! Bisikku. Apa
sebenarnya yang kamu lakukan di sana bersama dua gadis yang salah satunya
adalah dia masa lalumu itu, dan dua manusia berjenis sama sepertimu yang nyatanya mereka adalah pasangan masing masing
dua gadis itu. Tak kamu tau kah?! Saya menantimu di sini. Menantimu mengajak
saya bicara. Bicara berdua tentant kita. Kesempatan itu tak ada. 25 menit
berlalu tanpa ada tanda tanda kamu kembali. Kecemasan ini tek terbendung. Mata
ini tak mampu menahan. Saya ingin menyusulmu. Menarikmu dari kerumunan bersama
rekanmu. Naluri perempuan saya melarang, nyata terdengar sahabat saya mengajaku
pergi dari sana, mencari sedikit rasa yang lebih manis pelepas dahaga alih alih
dia tak ingin melihatku lemah.
Selalu terasa lebih melegakan ketika dapat bercengkrama
menyampaikan sedikit rasa yang lama terpendam. Sedikit kata yang sedari tadi
tertahan. Meski fruty soup itu terbilang manis oleh teman saya, lidah saya
terlalu kelu untuk merasakannya. Hanya menyisakan dingin. Menggigil karena
pengabaianmu hampir dua jam ini.
Melihatmu begit ceria bercengkrama dengan rekanmu sungguh
menggugurkan nyaliku. Sore telah menjelang, sementara aku masih menunggumu
mengajak bicara. Adalah perbuatan bodoh jika saya tak juga beranjak, menunggu
seorang yang tak bernurani sementara saya seharusnya packing untuk
keberangkatan saya senja nanti. Menyalami satu per satu rekanmu, menyalami dia
yang tak ada cela di matamu. Yah terasa benar. Tangannya begitu halus. Wajahnya
begitu cantik. Dan lihatlah betapa sumringahnya wajahmu bercengkrama dengannya.
Masih merunduk. Berjalan dengan percepatan langkah yang tak
beraturan. Berharap tak ada seorang pun yang melihat mata ini telah banjir.
Pipi berniagara. Tuhan, peluk sayaa L. I’m official broken heart because of him.
Sahabat saya menepuuk bahu saya. Mengelus hati saya dengan
kata. Mengusap air mata saya dengan pelukan di balik punggung saya. Berkata “semua akan baik baik
saja..tenanglah,,ini hanya tanda dari Tuhan bahwa bukan dia yang terbaik buat
kamu”
Besar harapan saya kamu mengejar saya saat saya beranjak.
Besar harapan saya bahwa kamu serius dengan janji kelingking itu. Tuhan,
mengapa kehilangan terasa begitu menyakitkan saat ini.
Setahun bukan waktu yang sebentar. Saat saya dan kamu merangkai
kisah berjudul kita. Saat semua begitu nyata mengapa kamu akhiri dengan dusta.
Kedatanganmu membawakanku obat di sela kesibukanmu saat saya
terbaring sakit. Saya kira itu cinta.
Penantianmu di depan gerbang stasiun saat saya mengabari
saya akan pulang. Saya kira itu cinta.
Genggamanmu saat saya di balik punggungmu dan menyandarkan
diri. Saya kira itu cinta.
Senyum lega saat kamu mampu mengantarkan saya pulang dengan
selamat. Saya kira itu cinta.
Bahu hangat saat saya terlalu lelah dengan amanah dalam hidup.
Saya kira itu cinta.
Usapan lembut saat mata ini lelah membendung air mata. Saya
kira itu cinta.
Kecup kening saat kamu meyakinkanku untuk bertahan meski di
bawah tangan. Saya kira itu cinta.
Segelas air putih saat saya haus seusai berteriakan meluapkan
amarah pada desau ombak hingga kamu lupa mengenakan alas kakimu. Terlalu
terburu buru, karena kamu khawatir saya menunggu terlalu lama. Saya kira itu
cinta.
Amarahmu saat mantan saya menghubungi. Saya kira itu cinta.
Peluhmu karena menempuh jarak purworejo-solo saat kamu
hendak memperbaiki keretakan kita. Saya kira itu cinta.
Air matamu saat kamu takut saya termiliki oleh yang lain.
Saya kira itu cinta.
Kesungguhanmu berucap “bareng bareng terus ya” sembari mengaikan kelingking. Saya
kira nyata itu cinta.
Kerinduan yang tersirat dalam pesan singkat “kapan kamu pulang, sayang?”. Saya kira itu cinta.
Perhatian yang kamu wakilkan dalam sms. Saya kira itu cinta.
Bisik mesra selamat tidur. Saya kira itu cinta.
Laranganmu makan tak tepat waktu, tidur dini hari, terforsir
dalam organisasi. Saya kira itu cinta.
Saya masih mengira itu semua cinta. Hingga kamu berkata kamu
telah kembali dengannya. Gadis itu. Adik kelasmu. Adik kelas yang merangut
perhatian dan waktumu agar sepenuhnya termiliki olehnya saat seharusnya kamu
menunaikan amanahmu sebagai pradana. Adik kelas yang kamu bawa kerumah dan
memintanya menginap karena begitu kamu khawatirkan. Gadis pertama yang kamu
kenalkan pada orang tuamu. Gadis yang sama pula, yang membuatmu terpuruk.
Jatuh. Berkeping hingga bertemu dengan saya. Memilih saya menjadi betadine atas
lukamu yang tak nampak namun sangat menyesak dada. Dan saya salah prasangka.
Betadine ini tak tak layak menjadi lebih dari sekedar obat. :’( . kamu kembali dengannya. Ibumu pun
telah memberi restu tanpa pernah tau pernah ada saya dalam hidupmu.
Sichi |
Jika semua hanya dusta mengapa kamu buat semua seakan
nyata?!
Jika semua hanya semata mengapa kamu buat semua seakan
selamanya?!
Ternyata hanya saya yang terlalu bodoh. Saya terlalu bodoh
mengartikan semua itu. Salah prasangka yang buah luka. Kamu telah memberi saya
tanda yang tak tertangkap oleh saya.
Kamu yang tak pernah berusaha mengenalkan saya pada
lingkunganmu. Seharusnya saya tau itu tanda darimu. Seharusnya saya cukup
cerdas kan ya?! Satu tanda itu seharusny telah mewakili semua.
0 comments:
Post a Comment