Rss Feed
  1. Ijinkan Saya (Tetap) Menjadi Anak-Anak

    Friday 19 September 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Selasa, 19 Agustus 2014


                Kepada Kamu Yang Memintaku Dewasa.
                Hi, apa kabar? Kulayangkan maaf atas sebuah kelancangan menuliskan ini. Semoga kamu sudi membaca seutas prosa dari perempuan bukan idaman ini, perempuan yang katamu tak pernah bisa menjadi dewasa.
                Sewaktu saya menuliskan ini, saya masih menjadi perempuan yang dulu. Yang masih memimpikan balon udara sebagai perjalanan tak terlupakan. Yang masih menganggap bermimpi tanpa batas adalah hal yang sangat dibolehkan. Bermimpi tanpa batas ras, kasta, ataupun latar belakang. Bermimpi tanpa batas dan memutus kata menyerah sebelum melangkah. Maafkan saya untuk optimis yang katamu berlebihan ini. :”) Optimis yang membawa saya menjadi apa yang saya inginkan, satu jalur menuju kemanfaatan sesama. Mimpi sayapun masih sama, menjadi seorang Ibu Rumah Tangga Berpenghasilan. Profesi yang katamu tak ada dalam daftar profesi idaman.

                Sewaktu saya menuliskan ini, saya masih menjadi perempuan yang dulu. Yang masih mudah mengucap syukur dan bahagia atas hidung yang masih menghirup udara tiap detiknya, syukur dan bahagia atas mata yang masih terbuka dan menyapa dunia. Ya, masih sangat sederhana jenis kebahagiaan saya. Bersyukur atas hari ini, dan menjalani hari dengan sebaiknya. Menikmati aliran hari ini tanpa harus berpusing terhadap esok yang masih misteri. Ya tentu saja, saya masih percaya esok adalah tentang mereka yang menyiapkan hari ini. Namun memusingkan esok hingga lupa menikmati hari ini adalah perbuatan rugi bagi saya.

              
      Sewaktu saya menuliskan ini, saya masih menjadi perempuan yang dulu. Yang masih selalu bertanya tentang apapun yang nampak atau tak nampak. Pertanyaan retoris yang katamu tak penting. Selalu ‘ingin tahu’ yang harus di rawat kataku. Maaf jika kerap merepotkanmu dengan pertanyaan konyol, melampirkan banyak kenapa dan bagaimana di awal kalimat. Amm kamu ingat, tentang pertanyaaanku mengapa langit berwarna biru? Kenapa orang yang jatuh cinta mendadak menjadi gagu? Atau Bagaimana mengolah rindu? Semua tanya yang kamu abaikan hanya sebab aku seharusnya sudah tahu. Semua tanya yang akhirnya menuntunku berkenalan dengan mesin pencari hingga para insan inspirasi. :”)
                Sewaktu saya menuliskan ini, saya masih menjadi perempuan yang dulu. Yang masih berteman dengan siapa saja. Mantan preman hingga orang beriman, berjilbab syar’i hingga berpakaian mini, si Rapi hingga si Anti Rapi, juga siapapun yang menawarkan proposal pertemanan. Ya, saya masih menjadi perempuan demikian. Perempuan yang membuatmu marah sebab seolah menjadi makluk pasar yang tak eksklusif. Hmm saya masih percaya bahwa siapapun mereka selalu ada sisi baik yang Tuhan sertakan dalam diri mereka. Serupa matahari yang tak selalu terik yang memiliki sisi ramah penuh indah bersama senja ufuk timur dan senja ufuk baratnya. Membuka diri dengan siapapun bukan berarti lupa untuk menjaga diri kok ^_^.
                Sewaktu saya menuliskan ini, saya masih menjadi perempuan yang dulu. Yang setiap pagi berbisik di depan cermin bahwa saya cantik dalam senyum semangat. Satu hal yang tak pernah kamu uraikan untuk saya. Tapi percaya diri adala bekal terbaik untuk mengawali hari, memberi senyum pada diri sendiri adalah wujud keadilan sebelum kita memberikan senyum untuk orang lain. Dan ya, saya masih PD-PD saja dengan suara cempreng saya. :D setidaknya saya memang harus PD untuk bernyanyi di depan anak-anak kelak. :P
                Sewaktu saya menuliskan ini, saya masih menjadi perempuan yang dulu. Yang percaya ruang terbaik untuk berkarya adalah ruang imajinasi. Ruang yang nyata menyekat dunia kita sebab kamu tak mau paham fiksi. Ruang yang katamu hanya melambungkan banyak angan. Padahal disanalah manusia bebas berinovasi. Merangkai ribuan mimpi tanpa takut terjatuh oleh gravitasi. Setidaknya disanalah saya mencoba menyugesti tanpa nampak menasehati. Mencoba menyemai solusi tanpa menggurui. :”)
                Sewaktu saya menuliskan ini, saya masih menjadi perempuan yang dulu. Yang tak sungkan merentangkan maaf lebar-lebar ketika kamu diselimuti amarah dan mengutarakan kalimat tanpa arah. Hingga tanpa sadar, amarahmu menuai khilaf, menunjuk saya sebagai perempuan bukan idaman yang tak pernah diinginkan kehadirannya. Memakluminya layaknya angin lalu yang tak harus digugu. Saya memaafkan atas tudinganmu, Tuan. :”) Terima kasih atas penyadarannya. Kesadaran yang kamu sampaikan dengan sangat mengesankan hingga tak mungkin terlupakan. :”) Kesadaran bahwa menjadi diri sendiri secara jujur belum tentu diterima dengan mujur, terkadang perlu hancur dulu ternyata. :D
                Dan maaf untuk akhir yang tidak menyenangkan untukmu. Akhir yang tidak merubah apapun pada diri saya kecuali kehadiran luka yang sempat menguatkan. Dan satu, dua, tiga, atau lima tahun kedepan sepertinya saya masih menjadi perempuan yang dulu. Sama seperti saya satu, dua, tiga, empat tahun lalu. Perempuan kekanak-kanakan yang bukan idaman. ^_^

     

  2. 0 comments: