Rss Feed
  1. Telur Emas: Sedotan Waktu Untuk Masa Lalu

    Saturday 13 September 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    Kamis, 11 September 2014

    Kelompok Peron Surakarta


                “Terima kasih atas kehadiranmu yang penuh ketampanan melebihi yang saya butuhkan malam ini.” seruku begitu melihat sosokmu nyata didepan mata. Membius dalam pancaran penuh sebuah penghias gulita. Bulan, nyata kamu selalu utuh meski tak selalu nampak penuh.
                Honda Supra Silfer berplat B itu melaju dengan tiga nyawa sebagai bebannya. Menyusuri terjalan area Pedaringan menuju arah gerbang belakang kampus kebanggan. Saya, Ksatria Kedua, dan Kak Ismi, resmi meniatkan diri melihat pentas rekan rekan.
                Meski sambutan sie Tiketing yang kurang menyenangkan, namun pesona ketampanan beberapa menit lalu mampu menyirnakan kekesalan yang sepatutnya ada. (Nduk, pembelajaran selama ini tak juga mengajarimu menggunakan make-up dengan rapi. Hmm *nyaritisu)
    ^O^
                Prodo Imitatio telah berlalu tepat saat saya memasuki gedung. Melewatkan olahan Mbak Ferra terhadap karya Arthur S.Nalan melalui Kak Marsha. Baiklah, masih ada satu pemnetasan lagi. Tidak perlu bersedih hati begitu :P
    ^O^
                Tata ruang panggung yang valid menyedot saya dalam putaran waktu. Mengembalikan 26 Maret 2013 lalu tepat dihadapku. Sebuah ruang masa tentang proses insidental untuk sebuah tanggap warsa rekan berkarya (Hi Teater Thoekhoel ^_^).
                Sebuah papan tulis, empat kursi, dan satu set meja guru serta cahaya realis yang  manis. Lantas ada empat sejawat yang masuk bersama. Nini, Bibi, Aki, Bude. Menyandang penguat karakternya masing masing, mereka mulai berdialog. Nini si buta arah, Bibi yang serba mewah, Aki yang sok gagah, dan Bude yang krisis optimis. Berbincang untuk saling menyediakan telinga, berbincang untuk sesuatu yang layak dibagi dan ditertawai bersama, berbincang sebab masih ada yang bisa dibincangkan. Sebuah bincang yang kemudian terhenti sebab jerit Nini, sebuah reminder tentang pekerjaan rumah dari sang guru yang wajib dikerjakan namun terlupakan. Hanya dua soal sebenarnya, nomor satu yang berbeda masing masing orangnya, dan nomor dua tentang kedudukan perempuan dan laki-laki. Pertanyaan sederhana yang berujung pada aksi tuding menyalahkan satu sama lain antara mereka. Nyaris kekerasan dalam kelas itu terjadi, untunglah sang Guru pengontrol kelas lekas datang. Menyelamatkan kelasnya agar tak tertuduh sekolah tak layak didik. :v Kejanggalan jelas akan sangat nampak, sebab dia yang dipanggil Guru adalah seorang bocah ingusan kemarin sore seukuran singkong yang masih bau kencur berseragam SD -_- (ada ya? Ada kok :v)
                Dan selayaknya guru yang mengajari banyak hal, demikian pula kehadiran si bocah yang memberikan banyak kepada mereka yang mengaku dewasa dan sudah memakan banyak asam manis kehidupan. Memberikan suntikan optimis untuk terus bermimpi, memilih satu bintang dari banyaknya bintang diangkasa. Menatapnya dalam ikhtiar penuh untuk kemudian dapat tergenggam. Meluruskan hati yang bimbang memilih dalam ragam alternatif. Meyakinkannya untuk mendengarkan kata hati yang sering terabaikan, mendengar yang tak terkatakan namun sejatinya ada dilubuk terdalam. Bahwa apapun yang terpilih adalah ia yang dibisikan hati berbalut kejujuran. Menurunkan kadar kepercayaandiri yang telah beranak-pinak menjadi bibit sombong, menyelaraskannya dalam bait kekurangan dan kelebihan masing masing insan. Juga meneriaki kepatuhan yang diretas ketakutan hingga meninggalkan sepi senyap kepada pelakunya. Mengikrarkan bahwa sikap ‘manut’ ‘nurut’ tak selalu sebab sikap tersebut nyata ada, kebanyak malah hanya takut semata. Bahwa berbaur dan bersosial bukan perkara membuat orang lain menuruti segala kehendak kita, namun bagaimana saling berkomunikasi untuk dapat saling memahami kebutuhan satu sama lain.
                Beranjak pada pertanyaan kedua tentang kedudukan genetik ialah sama. Laki-laki dan perempuan ada sepasang tangan yang saling membutuhkan dan mengutuhkan. Ketika si kiri pegal si kanan memijat, ketika si kanan gatal si kiri menggaruk, sesederhana itu. Bukan perkara siapa yang tinggi atau lebih rendah, namun perkara bagaimana keduanya berproses saling membersamai untuk menyeimbangkan jalan semesta.
    ^O^
                Ada bulir hangat menggenang dipucuk mata telaga. Meski namaku tak ada dalam nama pecipta karya, tapi naskah itu benar-benar telah diluar kepala. Pertanyaan PR, dialog si Guru, adalah dua hal yang jelas ada dicatatan saya. :”) Ah bukankah proses insidental memang demikian, konsep dasar tetap dari Sang Sutradara yang lantas dikembangkan oleh masing-masing pemain, dikembangsesuaikan dengan garis besar dari si Sutradara tadi :v. Meski pertanyaan saya kepada penulis naskah tak terjawab, pertanyaan tentang kebenaran tebakan saya, yang nyata telah bermetamorfosa menjadi pertanyaan retoris. Sebab jelas benar itu adalah pengembangan naskah pentas insidental setahun lalu dengan saya aka Guru/Siswi SD, Kak Sita aka Bude, Nduk Openg aka Tante, Nduk Septi aka Nini, dan Mas Sandhi aka Aki dengan sutradara Mas Faisal, sebuah ide untuk Pentas Ulang Tahun Teater Thoekoel yang ke enam *CMIIW. Dan pada akhirnya nama siapapun sebagai pemilik karya itu bukanlah sesuatu yang penting untuk dijadikan soal, seorang Kakak berkata melalui kalimat sederhana untuk tak menjadikan tenar sebagai tujuan utama berkarya. ^_^
    ^O^
                Bersama kerendahanhati sebagai silent watcher *temennya silent reader* saya hanya ingin menyampaikan penampilan dari Nduk Atun aka Guru/Siswi SD, Kak Sita aka Tante, Nduk Iko aka Nini, Nduk Fina aka Bude, dan Le Ican aka Aki. Dengan dukungan lighting dari Bayu serta seruan musik dari Dedek Dhylan, Nduk Likha, Mas Sandi, serta Varin (Who?). Make up costume Nduk Ningsih. Yang kesemuanya itu di sutradari oleh Nduk Openg :D serta saya yang hanya menjadi penonton.
                Berhubung ini pentas realis, seniman cahaya tak perlu direpotkan dengan banyak pergantian suasana atau aksi ligting lainnya. Intensitas saat ending saya suka :D hanya saja kurang halus sedikiiiiiit saja (mungkin dimmernya yang salah :v biasanya gitu sih). Tata ruang panggungnya papan tulisnya kurang dieksplore, Cuma beberapa kali termanfaatkan sebagai pendukung bincang diawal adegan. (Pas pentas saya dulu enggak ada papan tulisnya juga sih ya :v).

                Berlanjut kepada kedalaman karakter yang dibawakan, Mas Sandhi harus menyalami Le Ican atas karakternya yang berhasil dibawakan dengan apik, karakter galak dan kebapakan akut yang diperkuat oleh aksi menyulut rokok (satu hal yang tidak akan diperbuat mas Sandhi). Kak Sita dengan kegenitan khas panggungnya juga terampil memainkan si Tante, hanya saja agak kurang halus saat proses ia terilhami (yang habis dinasehatin sama si Guru itu Kak :’)), pergantian ekspresinya. Nduk Fina dan Nduk Iko kereeeen ^_^ kalian mengemas dua perempuan renta dengan luwes, hanya saja suaranya agak timbul tenggelam, hehe latihan vokal yuk ^_^. And then, buat kamu, iya kamu! Nduk Atun yang menggunakan rok serupa dengan yang saya kenakan dulu :D Kamu jugaa keceeh (pokoknya yang jadi anak-anak selalu kece :v) nangisnya itu bocah banget Nduk ^_^, Cuma untuk ukuran anak-anak dibeberapa bagian kamu nampak kurang anak-anak. Pas masuk panggung, masih terlihat seperti guru dewasa yang mengajar (membawa setumpuk buku dan berjalan menunduk), kayaknya akan lebih baik kalau masuk dengan lelarian khas bocah dengan tas kelinci dipunggung hehe. Oia blokkingnya agak kurang rapi nduk, ada beberapa bagian yang gerakan satu pemain menutupi pemain lainnya. but, keseluruhan aksi kalian mampu melengkapi proses penyampaian nilai moral dengan amm Peron Banget deh :v . Semangat Berkarya ^_^.
    ^O^
                Bersama Naskah Telur Emas yang kemas dalam Pentas Promosi tersebut, Kelompok Peron Surakarta hendak mengajak rekan semua untuk tak malu belajar dari siapapun atau kapanpun. Taman Kawak-Kawak yang terisi manusia manusia nyaris renta adalah bukti bahwa belajar bukan hanya pada masa muda. Semangat belajar yang harus tetap terpelihara. Dan dengan Guru seorang bocah ingusan kemarin sore seukuran singkong yang masih bau kencur berseragam SD adalah bukti nyata banyak hal sederhana yang terlalu dibesar-besarkan oleh manusia dewasa menjadi sebuah perkara tanpa jeda -_-, bahwa melalui lisan dan fikir sederhana seorang bocah kita kembali diajak belajar, diajak mengingat kembali amalan amalan semasa kecil yang terlupakan sebab ngengat jaman.
                Dan tentu saja, selayaknya judul Promosi dibanyak tempat, Pentas Promosi Kelompok Peron Surakarta adalah ajakan untuk kamu menjadi bagian dari kita lantas mari berproses bersama. Tak hanya Mahasiswa Baru, kamu yang Mahasiswa Lamapun tak apa untuk bergabung bersama. Bersama aneka latar belakang, baik yang benar-benar baru dibidang seni peran atau yang sudah lama terjun di sana. Kabar baiknya, Kelompok Peron Surakarta tidak hanya mewadahi minat dalam bidang seni peran, ada musik, tari, juga olah vokal. Maka, mari menjadi bagian dari kita ! ^_^
                Datang ke gedung UKM FKIP UNS (selatan Masjid Nurul Huda) lantai 1, dari pintu masuk, jalan lurus lihat sebelah kiri. Naaah disanalah kamu bisa memulai langkah bersama kita ^_^.

    Berhubung kemarin saya langsung pulang tanpa berfoto dulu dengan mereka, berikut persiapan pentas insidental sebagai bagian dari rangkaian pentas promosi kelompok peron surakarta.




     

  2. 0 comments: