Bismillaahirrahmaanirrahiim
Musim penghujan tiba, genangan
kenangan hadir tanpa iba. Menyita ruang pikir dengan derasnya. Bersama rintik
air, petir juga hembusan angin, semuanya mengarahkan pada sudut temaram sosok
yang kadang masih terngiang.
Oktober lalu alam telah membuat jadwal kencan untuk
senja dan hujan. Kala matahari kembali dalam peraduannya, kumandanga adzan
menggema, juga kepakan burung gereja di angkasa, hujan menerpa, menyapa malam
yang sendiri. Kamar blok E asrama kampus terbungkus air langit sedari senja.
Dalam gelapnya malam terbungkus hujan tanpa penerangan (listrik padam beberapa
menit setelah hujan turun), seluruh penghuni kamar berkumpul mengitari lilin di
kamar 22. Saling bercerita tentang sosok buram yang hinggap dalam harapan. Dan
entah bagaimana aroma tanah diguyur hujan itu resmi mengarahkanku pada
sosoknya. Makhluk angin satu mei. :”D
^O^
Bukan kali pertama saya bertemu
dengannya, bukan kali kedua juga. :D Pandang pertama telah terpangkas sejak
silaturahim antar dua kelompok pecinta alam beberapa bulan lalu. Dia yang mencari
perhatian dengan memanjat papan Wall Climbing di sekolahnya, sementara saya dan
beberapa rekan masih antusias dengan penjelasan sang Korlat. Hmm sialnya saya
malah sibuk mengkhawatirkan dia diatas sana, khawatir jika ia lupa pada hukum
Gravitasi. -_-.
Sedang pertemuan kedua lunas sudah
diantara serakan buku buku Pameran di Setda Kebumen. Pameran dua kali setahun
yang selalu menjadi kunjungan pencari buku murah. :v. Ketika sosoknya nyata
terlihat diantara rak rak kios penjaja buku, juga seruan seruan pedagang
menawarkan dagangannya. Dia bersama rekan rekannya begitupun saya. Sempat
hampir saling menghindar (sebab malu yang hadir dengan terlalu) namun tergiring
iringan teman kami berpapasan, saling menundukkan pandang, lalu menyembunyikan
senyum senang namun salah tingkah. Arggg sepertinya wajah saya sudah serupa
udang rebus. Merah padam tak pandai meredam malu.
“Bukunya bagus bagus ya...!” pesan
singkatmu kemudian. :D Saya ingat betul, pesan singkat itu terbaca tepat saat
saya meninggalkan tempat pameran menuju masjid agung terdekat. Menggugurkan
ashar dalam empat rekaat lillahi ta’ala. :”)
Pesan yang menjadi tiket saya
memasang senyum sepanjang perjalanan. Pesan singkat yang membuat saya dibanjiri
tanya ‘kenapa’ oleh semua rekan seperjalanan saya. :”D
^O^
Ya, ini pertemuan ketiga kami. Di
hari ketujuh tiap minggunya, dengan seragam osis yang beraroma keringat. Dengan
ketidakberanian saya melenggang sendiri ke Kebumen (kota) dan kepeduliannya,
kami bertemu.
Dengan klakson sumbang dari kuda
besinya, saya menoleh. Memastikan itu bukan seruan menggoda dari tukang parkir
jalan, memastikan bahwa itu sosoknya. Dengan helm masih disinggasananya
(dikepalanya dan kaca hitam tertutup -_-) entah ekspresi apa yang coba ia
sembunyikan, lalu menyerahkan helm serupa untuk saya. tanpa ba – bi – bu, saya
nangkring di jok bagian belakang :D memintanya menarik pacu kuda besinya,
menyegerakan menuju stasiun radio tempat saya akan mengudara.
Dan kamipun menjadi sepasang putih
abu abu berpakaian osis yang berboncengan tanpa cengkrama, malu malu. :D
Sesampainya di studio, kumandang ashar menggema. Mengundang kami menyerukan
sujud. Dan (lagi) masjid agung dekat Alun alun menjadi tujuan. Memarkir
disebelah menara, lalu melenggang berlawanan (dia ke arah timur dan saya ke
arah barat) menuju tempat wudlu masing masing. Seusai sujud itu, ada namanya
yang ku rapal. Ucapan terima kasih dalam kemasan yang berbeda. Lalu membenarkan
letak jilbab, dan menyusulnya yang sudah siap di beranda masjid. Duduk
bersandar dengan kaki telanjang.
Disanalah. Saat saya lupa
menundukkan pandang. Mata kami beradu dengan tatap malu dan langkah ragu. Saya
resmi dibuatnya merona. Hei, berapa jumlah jantungku?! Kenapa debarannya benar
benar muncul dipermukaan?!
Tanpa mendetailkan lagi, kami
kembali ke studio.
Dia bercerita bahwa salah satu
rekannya ulang tahun, tepat satu mei. Dan ucapan untuk rekannya itu menutup
kalimat saya diudara. Keluar menemuinya yang masih setia diberanda. Haha
sungguh saya bahagia saat itu.
“So How was?”tanyaku penuh antusias.
“Suaramu enggak kedengeran.” Jawabnya sedatar papan parut.
“Eh masa?! Kata temenku kedengeran
og.” Celetuku ngeyel.
Sebab itukah ia menatapku sedari
tadi. Tatap yang mengundangku menatapnya kembali. Tatap yang pada akhirnya
membuat kami salah tingkah satu sama lain. Dia membenarkan duduknya, saya
tersipu digoda rekan satu siaran. Dia kembali menekuri layar handphone dan saya
kembali pada layar siar. Adegan lucu kedua sehari itu.
“Mau pulang naik apa?” tanyamu,
masih dengan nada datar.
“Hmm emang jam segini masih ada
angkutan?” gumamku lebih pada diri sendiri. Melihat jarum jam (17.11 WIB) lalu
melempar pandang harap padanya.
“Yaudah, ayo aku temenin nunggu di
stand plat.” Tawarnya.
“Hehhe.” Ada bahagia tak tersembunyi
disana.
Lima belas menit di lampu merah
tempat biasa angkutan berhenti, tak ada tanda tanda kemunculan angkutan umum
itu. Selaras dengan doa yang kurapalkan sedari tadi. Senja terlampau indah
untuk ku nikmati sendiri dibawah atap angkutan umum itu. Terlampau indah untuk
tidak dinikmati dengan makhluk angin ini.
“Hmmm.” Desauku sembari menatap
jarum jam yang terus berjalan, seolah putus asa.
“Yaudah, ayo pulang. Aku anter!”
respondnya seolah paham. Haha
“Hehehe.” Benar bukan. Senja
terlampau indah untuk tidak bersamanya. Senja satu mei dua ribu sepuluh.
^O^
Aku mengunci senja itu. Mematrinya
sebagai bagian termanis dalam kubangan coklat kenangan. Senja itu, saya sungguh
berterima kasih. :”)
^O^
“Avada Kadavra!” smsnya tiba tiba.
“Ekspeliarmus!” mantra yang salah.
Bahkan sebelum menguncapkannya saya sudah luluh lantah sebab ia tak memberi
ruang saya untuk melawan. Memberinya Patronus.pun bukan tindakan berarti. -_-
“Hahha.” Balasnya.
“Milih jadi apa, antara laut, angin,
pohon, rumah?” tanyaku out of topic.
“Angin.” Balasnya singkat.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Ingin saja.”
“Hmmm.”
“Bebas.”
“Hahaha”
^O^
Ya, makluk satu mei yang lahir tanggal
dua belas januari itu, adalah ia Si Makhluk Angin. Bolang dari negeri Merdeka.
Calon akuntan yang pernah mendapat nilai 3 di mata pelajaran serupa. Calon
akuntan yang mengajariku cara menikmati manisnya sejarah. Haha
^O^
“Siapa penemu Benua Amerika?” ujiku
suatu hari.
“Columbuslah.” Jawabnya penuh
percaya diri.
“Haha salah :P Padahal kan si Erick
Mera”
“-_- diakan tidak meninggalkan jejak
keberadaannya nag pernah singgah di daratan itu hooooo”
“Haha emang.”
“Sejarah itu tentang kronologis, ojo
dihafalke!” nasehatnya.
“Hmm iya.”
“Ganbatte!”
“Hamasah!”
“Haha”
“ :P ”
^O^
Selewat angin aku titipkan rindu
ini, melalui aksara saya mengenang kamu dalam bait sajak. Lantas apakah cerita
kita hanya selewat angin, Wahai Raja Udara?!
0 comments:
Post a Comment