Rss Feed
  1. Makhluk Angin

    Friday, 6 March 2015

    Bismillaahirrahmaanirrahiim




                Musim penghujan tiba, genangan kenangan hadir tanpa iba. Menyita ruang pikir dengan derasnya. Bersama rintik air, petir juga hembusan angin, semuanya mengarahkan pada sudut temaram sosok yang kadang masih terngiang.
                Oktober  lalu alam telah membuat jadwal kencan untuk senja dan hujan. Kala matahari kembali dalam peraduannya, kumandanga adzan menggema, juga kepakan burung gereja di angkasa, hujan menerpa, menyapa malam yang sendiri. Kamar blok E asrama kampus terbungkus air langit sedari senja. Dalam gelapnya malam terbungkus hujan tanpa penerangan (listrik padam beberapa menit setelah hujan turun), seluruh penghuni kamar berkumpul mengitari lilin di kamar 22. Saling bercerita tentang sosok buram yang hinggap dalam harapan. Dan entah bagaimana aroma tanah diguyur hujan itu resmi mengarahkanku pada sosoknya. Makhluk angin satu mei. :”D
    ^O^
                Bukan kali pertama saya bertemu dengannya, bukan kali kedua juga. :D Pandang pertama telah terpangkas sejak silaturahim antar dua kelompok pecinta alam beberapa bulan lalu. Dia yang mencari perhatian dengan memanjat papan Wall Climbing di sekolahnya, sementara saya dan beberapa rekan masih antusias dengan penjelasan sang Korlat. Hmm sialnya saya malah sibuk mengkhawatirkan dia diatas sana, khawatir jika ia lupa pada hukum Gravitasi. -_-.
                Sedang pertemuan kedua lunas sudah diantara serakan buku buku Pameran di Setda Kebumen. Pameran dua kali setahun yang selalu menjadi kunjungan pencari buku murah. :v. Ketika sosoknya nyata terlihat diantara rak rak kios penjaja buku, juga seruan seruan pedagang menawarkan dagangannya. Dia bersama rekan rekannya begitupun saya. Sempat hampir saling menghindar (sebab malu yang hadir dengan terlalu) namun tergiring iringan teman kami berpapasan, saling menundukkan pandang, lalu menyembunyikan senyum senang namun salah tingkah. Arggg sepertinya wajah saya sudah serupa udang rebus. Merah padam tak pandai meredam malu.
                “Bukunya bagus bagus ya...!” pesan singkatmu kemudian. :D Saya ingat betul, pesan singkat itu terbaca tepat saat saya meninggalkan tempat pameran menuju masjid agung terdekat. Menggugurkan ashar dalam empat rekaat lillahi ta’ala. :”)
                Pesan yang menjadi tiket saya memasang senyum sepanjang perjalanan. Pesan singkat yang membuat saya dibanjiri tanya ‘kenapa’ oleh semua rekan seperjalanan saya. :”D
    ^O^
                Ya, ini pertemuan ketiga kami. Di hari ketujuh tiap minggunya, dengan seragam osis yang beraroma keringat. Dengan ketidakberanian saya melenggang sendiri ke Kebumen (kota) dan kepeduliannya, kami bertemu.
                Dengan klakson sumbang dari kuda besinya, saya menoleh. Memastikan itu bukan seruan menggoda dari tukang parkir jalan, memastikan bahwa itu sosoknya. Dengan helm masih disinggasananya (dikepalanya dan kaca hitam tertutup -_-) entah ekspresi apa yang coba ia sembunyikan, lalu menyerahkan helm serupa untuk saya. tanpa ba – bi – bu, saya nangkring di jok bagian belakang :D memintanya menarik pacu kuda besinya, menyegerakan menuju stasiun radio tempat saya akan mengudara.
                Dan kamipun menjadi sepasang putih abu abu berpakaian osis yang berboncengan tanpa cengkrama, malu malu. :D Sesampainya di studio, kumandang ashar menggema. Mengundang kami menyerukan sujud. Dan (lagi) masjid agung dekat Alun alun menjadi tujuan. Memarkir disebelah menara, lalu melenggang berlawanan (dia ke arah timur dan saya ke arah barat) menuju tempat wudlu masing masing. Seusai sujud itu, ada namanya yang ku rapal. Ucapan terima kasih dalam kemasan yang berbeda. Lalu membenarkan letak jilbab, dan menyusulnya yang sudah siap di beranda masjid. Duduk bersandar dengan kaki telanjang.     
                Disanalah. Saat saya lupa menundukkan pandang. Mata kami beradu dengan tatap malu dan langkah ragu. Saya resmi dibuatnya merona. Hei, berapa jumlah jantungku?! Kenapa debarannya benar benar muncul dipermukaan?!
                Tanpa mendetailkan lagi, kami kembali ke studio.
                Dia bercerita bahwa salah satu rekannya ulang tahun, tepat satu mei. Dan ucapan untuk rekannya itu menutup kalimat saya diudara. Keluar menemuinya yang masih setia diberanda. Haha sungguh saya bahagia saat itu.
                “So How was?”tanyaku penuh antusias.
                “Suaramu enggak kedengeran.”  Jawabnya sedatar papan parut.
                “Eh masa?! Kata temenku kedengeran og.” Celetuku ngeyel.
                Sebab itukah ia menatapku sedari tadi. Tatap yang mengundangku menatapnya kembali. Tatap yang pada akhirnya membuat kami salah tingkah satu sama lain. Dia membenarkan duduknya, saya tersipu digoda rekan satu siaran. Dia kembali menekuri layar handphone dan saya kembali pada layar siar. Adegan lucu kedua sehari itu.
                “Mau pulang naik apa?” tanyamu, masih dengan nada datar.
                “Hmm emang jam segini masih ada angkutan?” gumamku lebih pada diri sendiri. Melihat jarum jam (17.11 WIB) lalu melempar pandang harap padanya.
                “Yaudah, ayo aku temenin nunggu di stand plat.” Tawarnya.
                “Hehhe.” Ada bahagia tak tersembunyi disana.
                Lima belas menit di lampu merah tempat biasa angkutan berhenti, tak ada tanda tanda kemunculan angkutan umum itu. Selaras dengan doa yang kurapalkan sedari tadi. Senja terlampau indah untuk ku nikmati sendiri dibawah atap angkutan umum itu. Terlampau indah untuk tidak dinikmati dengan makhluk angin ini.
                “Hmmm.” Desauku sembari menatap jarum jam yang terus berjalan, seolah putus asa.
                “Yaudah, ayo pulang. Aku anter!” respondnya seolah paham. Haha
                “Hehehe.” Benar bukan. Senja terlampau indah untuk tidak bersamanya. Senja satu mei dua ribu sepuluh.
    ^O^
                Aku mengunci senja itu. Mematrinya sebagai bagian termanis dalam kubangan coklat kenangan. Senja itu, saya sungguh berterima kasih. :”)
    ^O^
                “Avada Kadavra!” smsnya tiba tiba.
                “Ekspeliarmus!” mantra yang salah. Bahkan sebelum menguncapkannya saya sudah luluh lantah sebab ia tak memberi ruang saya untuk melawan. Memberinya Patronus.pun bukan tindakan berarti. -_-
                “Hahha.” Balasnya.
                “Milih jadi apa, antara laut, angin, pohon, rumah?” tanyaku out of topic.
                “Angin.” Balasnya singkat.
                “Kenapa?” tanyaku penasaran.
                “Ingin saja.”
                “Hmmm.”
                “Bebas.”
                “Hahaha”
    ^O^
                Ya, makluk satu mei yang lahir tanggal dua belas januari itu, adalah ia Si Makhluk Angin. Bolang dari negeri Merdeka. Calon akuntan yang pernah mendapat nilai 3 di mata pelajaran serupa. Calon akuntan yang mengajariku cara menikmati manisnya sejarah. Haha
    ^O^
                “Siapa penemu Benua Amerika?” ujiku suatu hari.
                “Columbuslah.” Jawabnya penuh percaya diri.
                “Haha salah :P Padahal kan si Erick Mera”
                “-_- diakan tidak meninggalkan jejak keberadaannya nag pernah singgah di daratan itu hooooo”
                “Haha emang.”
                “Sejarah itu tentang kronologis, ojo dihafalke!” nasehatnya.
                “Hmm iya.”
                “Ganbatte!”
                “Hamasah!”
                “Haha”
                “ :P ”
    ^O^
                Selewat angin aku titipkan rindu ini, melalui aksara saya mengenang kamu dalam bait sajak. Lantas apakah cerita kita hanya selewat angin, Wahai Raja Udara?!






     

  2. 0 comments: