Rss Feed
  1. Suara Pena Tanpa Angka

    Monday 7 July 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    Selasa, 8 Juli 2014




               
                "Kamu pilih nomor berapa?" tanyaku dengan binar penasaran yang berantakan.
                Kamu menatapku sejenak, menghentikan adukan vanila lattemu. Menarik depan jilbabku. Gemas.
                "Satu atau Dua?" kerjarku kian ingin tahu.
                Kamu masih sibuk mengaduk vanila lattemu yang saya yakin dia sudah manis merata.
                "Nara! Jawab dong!" seruku tak sabar. Menarik gravitasi pandang rekan satu tempat makan, bahkan Aa Burjo ikut memandang, kaget.
                Kamu tersenyum puas, dan saya tersenyum maaf untuk semua.
                "Nduk Risa Yang Banyak Tanya, saya itu bukan mau beli togel yang harus tahu angka atau nomor. Saya itu mau milih pemimpin Nduk." Jawabmu tenang, dengan dua seruput kopi sesudahnya.
                "Baiklah, saudara Nara Yang Bijak calon pemimpin mana yang akan kamu pilih sembilan juli mendatang?" redamku dengan penasaran yang enggan pergi.
                "Yang amanah dong." Ujarmu singkat, dengan alis terangkat satu. Kode bahwa kamu sepertinya tidak tertarik membahas ini. barangkali muak juga dengan atmosfer demokrasi yang benar benar bergejolak dimasa ini.
                Beranda sosial media yang ricuh oleh aksi tuding pencitraan pun dengan celoteh puji mendewakan. Belum lagi pemberitaan ragam media yang enggan kalah, menghadirkan salah satu kubu di setiap stasiun televisi swasta koalisinya. Yah, sejatinya sayapun muak. Geliat politik yang mengundang aksi anarki antar pendukung beda kubu, bahkan beberapa jalinan pertemanan terancam punah sebab perbedaan dukungan. Seolah lupa bahwa proses demokrasi ini untuk membhineka.tunggal.ikakan ragam pulau, suku, budaya, pun pandang Indonesia.
                “Ris, kamu tahu mengapa mereka disebut calon pemimpin, bukan calon ketua?” celetukmu menyelamatkanku dari alam lamun tanpa ujung.
                “Ah bukannya sama saja? Hanya saja kata ketua sepertiny lingkupnya lebih kecil di banding pemimpin. Kata ketua melekat pada hal terdekat, semacam ketua kelas, ketua RT, dan jajaran ketua ketua lainnya. Kemudian kata pemimpin akan merambah pada Pemimpin Perusahaan dengan ratusan bawahan hingga pemimpin negara dengan puluhan ribu penduduknya.” Jelasku serampangan, memanggil kesadaran penuh bahwa kamu mulai tertarik membahas ini.
                Bibirmu tersenyum sembari tangan membenarkan letak kacamata yang turun dari singgasananya, posisi berkhutbah, baiklah saya harus siap mendengarkan, “Mereka adalah pemimpin, bukan sekedar ketua. Pemimpin itu memiliki pandangan jauh kedepan sementara ketua hanya sebatas pandangannya. Pemimpin itu menginspirasi, sedangkan ketua tergantung pada kontrol, ketua menyukai sesuatu yang tidak berubah sedangkan pemimpin melakukan perubahan. Ketua melakukan sesuatu dengan benar sementara Pemimpin melakukan sesuatu yang benar. Tindak yang kemudian akan dijadikan teladan oleh umatnya.” Kamu menutup penjabaranmu dengan tenggukan terakhir vanila lattemu. Membabat habis cangkir berkafein itu, pun menyudahi perbincangan kita mengenai hangatnya demokrasi saat ini.
                Dan masih dengan kesibukanmu memamahbiak menu cemilan malam, dua bakwan dan sebatang pisang ambon, kita melanjutkan bincang. Dengan kamu sebagai pembicara, dan saya pendengar setia.
                Perbincangan lebih dari satu jam kita yang pertama di enam bulan ini. Liuk Rinjani resmi menyitamu enam bulan ini, dan Rinjani dengan cintanya menganugerahimu pigmen coklat di kulitmu. Menyamaratakan warna tubuhmu dengan pekat lensamu. Kamu makin Indonesia saja, dan rambutmu :3 aaahhh kian gimbal saja :3 Kapan kamu berencana memotongnya Kisanak? -__-
                “Kan hanya rambut saya yang gondrong, itu juga enggak berantakan-berantakan banget kok. Yang penting saya kan tidak pakai tato, tindik atau semacamnya. Bukannya Nabimu juga tidak melarang memanjangkan rambut ya? Lagian saya kan tidak menyerupakan diri dengan perempuan. Meski gondrong rambut saya tidak ada hiasan pita warna warni atau jepit taman berbunga :3. Ayolah, dont judge a book only the cover. Itu yang pakaiannya rapi malah hatinya busuk, duit rakyat malah buat buncitin perut! :3” belamu selalu. Membungkam dua kata tanya saya mengenai kapan akan potong rambut atau shampoanmu habis berapa ml. :v
    ^O^
                Masih ada empat puluh lima menit dari pukul sepuluh malam. Jam malam asrama harus dikejar sebelum gerbang ditutup. Mengayuh Vio dan B ke medan Ir Sutami hingga Slamet Riyadi, kamu mengepuk betis, menyabarinya untuk semangat mengantar saya pulang asrama. :D Seharusnya kamj tidak perlu sedramatis itu, apa Rinjani juga membuatmu lupa cara mengayuh sepeda? :P
                “Salam------jariiiii......!” pamitmu menggodas sembari memutar balik kayuhan. Kembali pada sekelompok rekanmu disana. Saya yakin kamu tidak sedang menuju rumahmu :3
                Huuu, katanya enggak kampanye :3 Tapi lucu, mengingat tujuh puluh menit lalu. Kamu yang terusik dengan pertanyaan mengapa pilih beliau, alih alih menjawab kamu malah menyangkal.
                “Sudah ya, saya ndak mau debat sama kamu. Kamu milih siapa ya terserah kamu, saya milih siapa juga terserah saya. Kalau kamu tanya seperti itu sama saja mengundang saya untuk mendebat kamu. Pertanyaan mengapa memilih si itu sama saja dengan memandang kebaikan si itu dan menyandingkan keburukan si ini. Pamali Neng!”
                Tenanglah, siapa pun pemimpin bangsa ini nanti, pilihan saya atau bukan, saya tetap manusia Indonesia. Tidak ada yang bisa menggantikan dan merebut rasa cinta itu, bahkan jika hati saya patah karena pilihan saya bukan jadi juara. Di atas itu semua, Indonesia adalah tanah, air, udara, dan darah saya. Ibu kita semua.  Saya berdoa agar kedamaian terus bersama kita. Saya berdoa agar Ibu Pertiwi ini kian disayangi dan dipelihara oleh anak-anaknya.
                Saya berdoa, ke arah mana pun Indonesia melangkah dan siapa pun pemimpinnya, cinta yang sama tetap bisa menyatukan kita. Dalam masa paling sulit sekalipun, semoga kita mampu melihat satu sama lain, sesama anak-anak Ibu Pertiwi, dan masih menemukan sosok saudara. Meski saya satu dan kamu dua.
                Dan saya telah menitipkan mandat, mendukung beliau maju mengusung visi misinya untuk terealisasi, pun mendukung mundur beliau saat tak mampu melunasi janji. Embanlah sebakul amanah ini dalam langkah kebijakan yang tepat sasaran. Tindak nyata atas ragam fakta yang terjadi dilapangan, memilih dengan hati atau logika, saya memilih untuk Indonesia, sebab saya mencintainya. Cinta ini tidak bisa dibeli. Tidak bisa direbut. Dia memang bisa patah, namun waktu akan menyembuhkannya kembali. Ini hanya cinta yang tidak bisa mati. Dan semoga engkau mampu menggenggam terus saat anda memimpin nanti. :”)

     

  2. 0 comments: