Selasa, 05 Agustus 2014
Hari
pertama jatuh pada Selasa. Ketika Ksatria Kedua memilih berpindah kota. Hai,
bagaimana hari pertamamu?
Dia
menghampiri saya dengan senyum yang sedari pagi bertahan. Menuruni anak tangga
kayu dan siap menerjang saya yang terlambat menjemputnya. Kelas selesai lebih
dari satu jam lalu, ada konsekuensi ngambek atau amarah yang sedia saya terima.
Tapi fakta berbeda dari sangka, dia masih sesemangat tadi pagi, masih tersenyum
seperti pagi ini.
^O^
“Sios
tumut Yayu teng Solo Le?” tanyaku dengan raut serius. *yayu: panggilan kakak
perempuan dalam bahasa jawa.
“Ke
Sekolah yang dulu itu?” jawabnya dalam tanya.
“He.em.
Pripun? Jadi?”
“Jadilah!
Bawa apa aja? Bajunya dibawa semua? Berangkatnya kapan? Naik kereta lagi? Terus
jadinya aku tidur di mana?” serbunya sembari berbenah. Memenuhi ransel dengan
banyak helai baju dan lembaran buku serta beberapa batang alat tulis.
Kemudian
ditemani sisa rintik gerimis, kami berangkat. Menyapa jalan raya Kebumen-Solo
dengan si Bebek Besi super tangguh itu. Perjalanan enam jam dengan empat kali
istirahat masing masing setengah jam membuat kami mendarat di Solo larut malam.
Lelah jelas, tapi semangat menyiapkan hari pertama itu masih membara. :D si
Ksatria saya masih menyelakan waktu menata beberapa buku dan perlengkapan lain.
^O^
“Tadi
diajarin nanem Bunga Matahari, makan bakso sama Hamam, kelompokan sama Vergi,
Nisa, terus satunya lupa. Terus tadi kenalan sama Duta juga. Besok apa kamis
ya? Mau kesawah kata Mr.J.”
Baiklah
dimana sela saya bertanya? -_-
“Nanem
Bunga Matahari gimana caranya Le? Pake kuwaci yang di warung itu?”
“Ih
ya enggak, pake kuwaci yang belum di masaklah.”
Dan
kemudian perjalanan Juwiring-Solo ditempuh dengan kecepatan 20-40 km/jam terisi
penuh dengan percakapan kami. Kembali pada pagi pertama ini, dimana saya
ditanya mengapa oleh Mr.J selaku pengelola serta menuturkan kembali pada Mbak
Anti selaku Bunda Kelas IV. Saya hendak berbagi cerita tentang hari pertama ^_^
^O^
Berangkat dengan niat ingin
memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, pun dalam hal pendidikan. Setiap
orangtua kerap kali memilihkan sekolah yang terbaik untuk anak-anak mereka.
Baik dari segi fasilitas yang ditawarkan, kurikulum yang terapkan, juga dengan
biaya baik untuk kesehatan kantong :v. Lantas samakah sekolah baik versi
orangtua dengan versi anak? Bagaimana kita tahu sekolah itu baik untuk anak
atau tidak? Dua pertanyaan yang mendasari proses anak menjalani hari pertama,
kedua, dan seterunya selama tidak di rumah.
Seringkali ketika kita memutuskan
satu hal yang katanya baik untuk anak tetapi respond anak berkata sebaliknya.
Dari segi fasililtas kasat mata sekolah tersebut benar-benar lengkap tapi si
kecil masih saja enggan pergi ke sekolah. Juga dengan hal-hal lain yang
sepertinya sudah sangat ideal versi kita tapi tidak dengan anak-anak. Hmm iya Ayah-Bunda,
baik versi kita belum tentu baik untuk mereka.
Berdasarkan beberapa sumber yang
pernah saya baca dan dengar, sekolah yang baik setidaknya memperbolehkan trial (semacam waktu yang diberikan
pihak sekolah sebagai masa uji coba kecocokan anak di lingkungan barunya aka
sekolah). Masa trial ini biasanya
berlangsung selama tiga sampai satu minggu. Selain itu, Ayah-Bunda untuk
mengetahui apakah sekolah tersebut cocok untuk anak atau tidak, Ayah-Bunda bisa
melihat apakah selama masa trial anak
nampak bersemangat ke sekolah. Jika ia tidak malas bangun, tidak berpura-pura
sakit, juga senang ketika akan diajak berangkat sekolah. Sederhana bukan?
Apapun nama sekolahnya, mau yang
brandingnya sudah selangit, atau terkenal seluruh negeri kalau anak saat diajak
kesana menolak ya tidak perlu memaksa ^_^ Yang menjamin sekolah itu bagus,
bukan nama sekolahnya namun para guru dan pengelola sekolah. Semua sekolah
pasti mengaku kalau kurikulumnya bagus, gurunya perhatian, serta bumbu-bumbu
gurih lain agar kian sedap aroma nama sekolahnya. Namun, untuk membuktikannya
ayah-bunda bisa melihat melalui anak-anak sebab mereka memberikan tingkat
akurasi tinggi persis skalameter. :v
Jangan hanya sebab gengsi,
Ayah-Bunda memasukkan anak ke sekolah bonafide, padahal anak tidak betah di
sana. Memaksakan anak sekolah di tempat yang tidak disukainya tidak akan
memberikan hasil maksimal. Kasihan anak, mereka bisa tertekan hingga
benar-benar enggan pergi ke sekolah. ^_^
Berlanjut ke langkah berikutnya,
sekolah yang tepat sudah, lantas bagaimana cara tepat mengenalkan anak kepada
lingkungan barunya? Pertanyaan berlanjut yang mendasari proses anak menjalani
hari pertama, kedua, dan seterunya selama tidak di rumah.
Sebelum anak sah menjadi seorang
peserta didik dalam lembaga pendidikan formal bernama sekolah, alangkah
bijaknya jika kita mengenalkan anak pada ‘sekolah’ itu sendiri. Bekali anak
dengan pemahaman tentang sekolah. Caranya, Ayah-Bunda bisa melibatkan anak
dengan cerita tentang apa itu sekolah, mengapa harus sekolah, ada apa saja di
sekolah, serta hal hal lain yang menggugah minat anak untuk terjun ke sekolah.
Agar proses pengenalan berjalan menyenangkan, Ayah-Bunda bisa mengajak anak
bermain peran. Semisal Ayah-bunda menjadi Guru dan anak menjadi siswanya, atau
sebaliknya. Atau bisa juga dengan datang ke sekolah dan melihat langsung
prosesnya sembari diberikan pengertian secara lisan tentunya. ^_^
Memasuki tahap lanjutan, ketika anak
sudah masuk ke lingkungan sekolah. Langkah tepat seperti apa agar anak mudah
beradaptasi dengan lingkungan barunya ini? Setidaknya agar ada senyum di hari
pertama anak berpamitan ke sekolah kepada Ayah-Bunda. Pertanyaan lanjutan yang
mendasari proses anak menjalani hari pertama, kedua, dan seterunya selama tidak
di rumah.
Ingat bagaimana perasaan kita ketika
masuk kuliah/kerja di tahun pertama? Ada semacam perasaan asing terhadap
lingkungan baru bukan? Perasaan asing yang kemudian mengiring kita untuk tidak
menjadi asing dengan cara membaur bersama dan mencari teman sebaya/senegara/semasa
lalu. Juga dengan anak-anak ketika awal mereka masuk sekolah. Ada perasaan
asing yang sama di sana, beberapa mungkin sudah bisa membaur dengan rekan
lainnya, beberapa barangkali malah masih enggan ditinggal orangtuanya, bahkan
beberapa nyaris tidak bisa lepas dari pegangan orangtua (sebab malu, sungkan,
takut dll).
Ayah-Bunda tidak perlu khawatir,
sebab itu memang wajar ^_^ Sama seperti kita yang butuh ragam waktu adaptasi,
anak-anak juga membutuhkan ragam waktu adapatasinya. Setiap orang yang berada
dilingkungan baru dengan orang-orang yang belum dikenalnya tentu akan
memunculkan perasaan tidak nyaman. Akan tetapi, jika anak sudah mulai mengenal
teman-teman, guru, dan lingkungan barunya biasanya ia bersedia untuk ditinggal.
Setiap anak memiliki masa
adaptasinya sesuai dengan karakternya masing-masing. Bisa dibayangkan, tentu
bukan hal yang mudah bagi anak yang biasa dirumah, lalu harus menghadapi orang
baru, teman baru, dan suasana baru. Secara psikologis, manusia merasa kurang
nyaman dengan lingkungan baru. Selama proses tersebutlah, mereka perlu orang
yang dikenal dari lingkungan lamanya sampai ia merasa benar-benar nyaman.
Ketika ada anak yang belum mau ditinggal orangtuanya, tidak apa-apa. Temanilah
saja sampai ia mulai mengenal dan percaya pada orang-orang baru disekitarnya
tersebut hingga pada akhirnya ia mau mandiri sekolah.
Proses menemani tersebut dapat
diawali dengan berada bersama di dalam kelas. Jika anak sudah merasa nyaman,
Ayah-Bunda bisa menunggunya di luar kelas sambil sesekali menunjukkan
keberadaan Ayah-Bunda kepadanya. Terus lakukan proses tersebut hingga anak
tidak lagi menghiraukan keberadaan Ayah-Bunda. Jika sudah sampai pada tahap
tersebut insya Allah anak sudah siap ditinggal di sekolah. ^_^
Akan tetapi, jika anak maunya ditemani
terus-terusan dalam jangka waktu yang cukup lama, kemungkinan ada yang salah
dengan orangtua atau sekolahnya. Ayah-Bunda bisa mengevaluasi pola asuh yang
telah diterapkan sebelumnya, barangkali disana ada beberahap hal yang harus
dibenahi sebab ternyata anak belum dibekali percaya diri dan kemandirian. Atau
bisa jadi gurunya kasar atau tidak ramah sehingga ia merasa lebih nyaman untuk
terus bersama orangtuanya. Atau bisa juga sebab gurunya membiarkan ada temannya
yang mengejek atau mengganggu dan guru membiarkan sehingga anak merasa tidak
nyaman.
Kuncinya agar anak bisa mandiri di
sekolah, berikan rasa aman tanpa meluncurkan peluru negatif berupa pernyataan
“Kamu kan sudah besar kok masih takut seperti anak kecil”. Hal tersebut malah
akan mengahncurkan perasaan dan kepercayaan diri anak.
Kenyataannya terkadang ditengah
proses pendidikan anak sering nampak enggan pergi sekolah meski hari pertama ia
begitu bersemangat. Semacam batu sandungan setelah diawal mendapat sanjungan.
Setelah melewati hari pertama hingga
minggu pertama dan bulan pertama, anak akan menemukan banyak hal baru yang
mungkin membuatnya tidak bersemangat bahkan nyaris stres tak seperti dihari
pertama dulu itu. apa saja hal tersebut?
1. Bosan.
Perasaan
bosan yang timbul sebab tidak ada variasi dalam proses belajarnya, bisa dari
kelas yang disajikan pihak guru atau proses belajar yang monoton (sama saja ya?
:v) yang kemudian malah menjadi jurus jitu orangtua menyalahkan anak hingga ia
menjadi tertekan oleh beban omelan orangtua tersebut. Kalau misalnya, ia bosan
dan stress karena pelajarannya terlalu berat, atau terlalu banyak pekerjaan
rumah, atau gurunya mengajar dengan cara yang tidak disukainya, coba diskusikan
dengan pihak sekolah. Kemudian juga dengan Ayah-Bunda untuk tidak memaksakan
anak supaya hebat disemua mata pelajaran. Terkadang orang yang bisa segala hal
sebenarnya malah tidak bisa apa-apa. Justru dengan meminta anak fokus di satu
bidang yang ia senangi ia akan menjadi master dibidang tersebut. Ingat, orang
spesialis lebih dibutuhkan dibanding orang generalis ^_^
2. Takut
pada mata pelajaran tertentu.
Sebenarnya
dari dua kasus yang saya sebutkan di atas, satu hal yang harus digarisbawahi
dan selalu Ayah-Bunda ingat, bahwa tidak ada ilmu yang membosankan atau
menakutkan. Anak lahir bersama rasa ingin tahu yang besar, tinggal bagaimana
lingkungan mengelola rasa ingin tahu tersebut agar tetap terpelihara tanpa
kenal bosan dan takut.
Ketika
ada anak takut atau bosan terhadap satu mata pelajaran, itu sebab guru yang
menakutkan dan membosankan. Iya, tidak ada mata pelajaran yang menakutkan dan
membosankan yang ada guru yang menakutkan dan membosankan. Jika pelajaran
matematika disampaikan oleh guru yang baik, sabar serta menyenangkan,
matematika bukan lagi sosok seram di mata anak. Begitu juga dengan bahasa
Inggris, jika guru tersebut kreatif dalam menyampaikan ilmu kepada anak, Bahasa
Inggris bisa menjadi mata pelajaran favorit anak. Jika anak takut pada mata
pelajaran tertentu, coba Ayah-Bunda komunikasikan dengan pihak sekolah, mungkin
memang mungkin harus ada yang dibenahi dalam proses penyampaian gurunya
tersebut.
Namun
sayangnya, tanpa melihat dari sisi anak kebanyakan orangtua langsung memberikan
les tambahan mata pelajaran tersebut saat anak mereka takut terhadap suatu mata
pelajaran. Ketakutan tersebut tidak akan hilang sampai gurunya ganti, atau
mengubah cara mengajarnya. Hal itu adalah kewajiban pihak sekolah untuk
memberikan kesempatan pada guru yang bersangkutan agar mengevaluasi gaya
mengajar dan interaksinya dengan peserta didik.
Mungkin
ada Ayah-Bunda yang takut melapor ke kepala sekolah sebab khawatir anaknya akan
dimarahi atau diberi nilai jelek. Ayah-Bunda tidak perlu takut. Kewajiban sekolah
yang dimaksudkan ialah dengan mengajak guru yang bersangkutan berbincang,
memberikan masukan serta pelatihan bagaimana cara mengajar yang benar. Kalau sudah
diberi kesempatan namun guru tersebut masih mempertahankan cara mengajarnya
yang menakutkan bin membosankan, ia terpaksa harus dimundurkan. Ingat, posisi
guru tidaklah permanen, muridlah di pemegang kursi permanen.
^O^
Cerita saya diatas sebagian saya
ambil dari curhatan para orangtua, juga pengalaman masa kecil saya yang masih
menempel dalam ingatan. Terkadang kian bertambah usia kita, kita sering lupa
akan kebutuhan sederhana semasa anak-anak hingga ketika dihadapkan pada
anak-anak kita masih memaksakan kehendak kita. Hmmm tak apa, lupa itu manusiawi
kok. :v asal jangan sampai sering lupanya dari ingatnya.
SemangatBerbagiCerita!
SemangatPerbaikan! ^_^
Hi,
ada apa ya disawah nanti?
0 comments:
Post a Comment