Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
bahagiaku |
Tangisnya masih menyisakan isak atas
lukanya yang masih lebam, juga beberapa luka lama yang muncul kembali pada
permukaan.
“Nag
kaya gitu terus aku ndak bisa mbak. Aku gag kuat. Aku merasa dizalimi.”
Curahnya terbata. Tersengal oleh air mata.
Peluk itu kian menghangat tanpa
maksud membarakan api yang masih berkobar. Peluk yang diharapkan mampu memberi
sejuk. Peluk yang diharapkan mampu meredam semua pilu dan ngilu yang tak kasat
mata. Peluk yang Cuma buat kamu, Nduk Sayaang :”)
“Terluka, kecewa, marah, benci, juga
perasaan negatif lainnya adalah beberapa cara yang Allah rencanakan dalam
rangka menunjukkan cinta.Nya kepada kita. Dicintain Allah hlo itu, masa kamu
nolak Nduk?” usapku pada tangisnya dengan tanya retoris.
“Tapi mbak, rasanya itu sakit. Entah
kejahatan apa yang sudah tak lakuin sampe mereka bisa sejahat ini sama aku. Aku
enggak sekuat itu, aku juga punya batas. Aku mau menyudahi ini semua Mbak.
Serius.” Putusmu masih dengan kobar bara yang belum padam.
“Ssssttt!” pagarku pada lisannya
yang meliar. “Saat hatimu keruh oleh emosi, saat hatimu riuh oleh resah tak
perlu mengambil keputusan apapun Sayang. Tenang dulu, istigfar Nduk. :”) ”
“Astgfirullah hal’adzim.” Lirihmu meredam erupsi ”Ajarin
aku buat bahagia Mbak. Setidaknya aku belum pernah lihat Mbak tidak bahagia
atau sesedih aku sekarang.”
^O^
Dibanding pertanyaan, “Kamu enggak
capek ris?” “Kamu enggak kecewa Ris?” “Kamu enggak nangis Ris?” “Kamu enggak
marah Ris?” saya lebih suka dengan pertanyaan adik perempuan saya yang satu
itu. :”) Hi Cantik, terima kasih atas inspirasinya :”) Melalui tanyamu, mbak
belajar berbagi :”)
1.
Belajar
memaafkan. Berdamai dengan ragam kondisi meski tak sesuai yang diingini. Tidak
menyalahkan diri atau siapapun atas apapun yang terjadi.
Memaafkan berarti berdamai dengan
diri. Perkara yang bersangkutan meminta maaf atau tidak itu bukan perkara yang
harus dirisaukan, sebab ketika hati telah memaafkan dengan lapang maka
ringanlah bibir melukiskan senyuman.
Sayaang, maafkanlah semua luka itu.
Kekecewaan, kemarahan, atau apapun hal yang tidak menyenangkan, maafkanlah.
Terimalah mereka sebagai proses pendewasaanmu. Tegurlah para tersangka yang
kamu tuding atas lukamu dengan kasih sayang, sehingga langkah kalian kian dekat
dengan perbaikan bersama. Kamu melapangkan hati, lantas mengomunikasikan hal
tersebut dalam lembutnya saling mengingatkan hingga yang bersangkutanpun tahu
betapa manisnya kamu menyikapi hal yang tidak menyenangkan itu.
“Kenapa harus aku yang memulai? Kan
bukan aku yang salah!!”
Sebab kamulah yang paling peka
diantara semuanya, kamulah yang paling awas terhadap problema yang ada. Paling
paham bahwa itu harus dikomunikasikan bersama. Dan terkadang untuk mulai
memperbaiki sesuatu kita tidak harus tahu ‘siapa yang salah atau benar’, namun
cukup pahami bahwa hal tersebut adalah pembelajaran bersama. Bukankah apapun
yang terjadi adalah yang terbaik (setidaknya ketikan ‘kun fayakun’ itu
terlontarkan, Allah sudah mengambil keputusan, dan pasti itu yang terbaik)
namun tidak mesti itu baik dimasa mendatang. Terbaik saat itu sebab disana kita
belajar mencari solusi bersama, tapi tidak dimasa mendatang agar kita tidak
jatuh pada lubang yang sama, sebab kita telah memperbaiki diri. J
“Tapi udah terlalu banyak yang
membuat kecewa mbak, dibanding mereka akulah yang paling terluka! Seharusnya
tidak seperti ini, kenapa mereka tidak memperlakukan sama seperti yang telah
aku lakukan untuk mereka Mbak.” Isakmu kian sesak. Nafasmu tersengal naik
turun.
Peluk itu melonggar, memberimu ruang
untuk menghirup duka semesta yang tidak bisa dibandingkan dengan manusia mana.
Sayaaang, jika kamu hendak mencoba
membandingkan luka dalam sebuah pengabdian kepada Allah Ta’ala, lihatlah
Muhammad Bin Abdullah Bin Abdul Mutalib, seberapa banyak luka fisik maupun hati
yang ia terima tanpa pernah membalas dengan hal serupa. Tengoklah ketabahan
Maryam menerima dera caci dari tetangga atas kehadiran putranya yang tanpa
Ayah.
“Tapi itu kan jaman dulu Mbak.”
Oke. Oke. Sekarang bayangin, kamu
perempuan yang sedang berusaha menjadi baik, sendirian, naik motor, pulang jam
sepuluh sampai jam satu malam, melewati jalan dengan kanan kiri sawah dan
pekarangan kosong sejauh 20 km? Nyaman enggak?
Tidak ada jawaban, hanya sebuah
gelengan mewakilinya.
Bayangin lagi nduk. Kamu magang,
antar jemput adekmu sejauh 23 km setiap pagi. Sebelum jam enam harus udah
jalan. Pulang magang masih harus ngeles sampai magrib, jemput adekmu, ke kampus
buat nemenin adek adek recruitmentmu sampai jam sepuluh malem, dan besoknya
harus bangun jam setengah lima buat siapin bekal adekmu, dan memulai hari
dengan siklus tadi. Nyaman? Sementara tugas magang tetep jalan, pemasukan buat
kamu juga harus tetap ada. Bahagia nduk?
Masih belum ada jawaban.
Bayangin lagi. Kamu pergi seharian,
pulang orang yang kamu sayangi udah tidur, dan Cuma bisa ngliatin dia yang udah
tidur nyenyak lantas menikmati kebersamaan dalam keterdiaman atau bermonolog
ria atas hari yang sudah dilewati tanpa sempat saling berbagi. Nyaman nduk?
Iya sayaang, itu contoh yang
terdekat yang bisa diceritakan. Nyatanya, tokoh itu masih berbahagia. Dalam
benaknya, setiap perjalanan malam itu ia tempuh. Ada banyak sayap kunang –
kunang yang sedia menerangi perjalanannya menembus pulang. Ada ribuan bintang
dan singgasana bulan yang tak pernah menolak mengawalnya. Ada jalan sunyi yang
membebaskannya menemukan cerminan hati dalam kontemplasi. Ada lisan yang sibuk
merapal dzikir menjajah segala kekhwatirannya. Dan terkadang ada hujan yang
menghapus air mata sebelum sempat menetes. :”)
Nyatanya tokoh itu masih berbahagia.
Dalam benaknya, setiap perjalanan membersamai adik adalah penempaannya untuk
mendampingi ‘sahabat langit’nya kelak juga menebus makna sulung dalam
keluarganya. Tidak ada yang perlu disesali, yang ada ialah syukur yang tak
bertepi. Sebab melalui Ksatria Kedua, ia belajar banyak hal yang dulu belum
pernah terfikirkan. Pola asuh, menjaga komitmen dengan anak anak, konsisten
memberi teladan, mencari solusi bersama, menyampaikan larangan dengan ajakan,
dan masih banyak hal lain.
Nyatanya tokoh itu masih berbahagia.
Dalam benaknya, setiap monolog yang ia hadapi saat sepasang mata tersayang itu
lelap adalah moment mensugesti hal – hal lugas yang belum tentu langsung
diterima saat sepasang mata itu terjaga. Pun dengan masa pengecheckan keberadaan
luka raga yang belum tentu akan dengan jujur diakui saat sepasang mata tersayang itu terbuka, dan pertolongan
pertama itu harus lekas diberikan sebelum kian parah. Mengobati saat yang
tersayang lelap, bukan kah itu memudahkan langkah ketika kita belum mampu
sepenuhnya menjaga?
Bismillah nduk, luka yang katamu
membuatmu seolah menjadi manusia ternelangsa di dunia, sekarang jadilah
perempuan terbahagia di Indonesia (dulu) :”)
2. Belajar bertahan dalam paham bahwa
Allah SWT mencintai hamba.Nya tidak selalu dengan hal yang menyenangkan.
Sudah
banyak yang saya ceritakan kepadamu sayang, diawalpun sudah sempat saya
singgung. Bahwa prosesmu kini adalah proses Allah menunjukkan cinta.Nya
kepadamu. Iya Kamu, ^_^ *malahnengok* :3
Kamu sedang dicintain Allah swt hloo,
masa kamu nolak sih. :D Disaat banyak orang masih sibuk mencari cinta.Nya, kamu
dengan terang – terangan dicintai oleh Allah swt. Maka, agar segala hal dalam
proses ini menjadi nikmat. Balaslah cinta Allah ini dengan mencintai.Nya
kembali.
“Bagaimana caranya Mbak?!”
Hlaa kalau kamu sayang sama
seseorang gimana menunjukkan rasa sayang itu? :)
Deketin Allah swt. Lakukanlah hal –
hal yang membuat.Nya senang. :”) Shalat, berdoa, ngaji, puasa, tilawah, dzikir,
atau apapun yang membuat.Nya bahagia.
“Taunya nag Allah bahagia atas usaha
kita Mbak?”
Lihat hatimu Nduk. :”) Jika dalam
proses berpeluhmu ini kamu masih menemukan keluasan hati, kelapangan fikir, dan
ketenangan bertindak, serta perasaan diperhatikan oleh.Nya insya Allah itu
tanda bahwa Allah selalu membersamaimu. Menyertai setiap langkahmu menuju
perbaikan. :”)
SEMANGAT!!!!
3.
Allah
Maha Mencintai pada hamba.Nya yang meyakini.
Maka Nduk, lakukanlah apapun yang butuh kamu lakukan tanpa ada harapan
mendapat balasan dari siapapun. Lakukan itu sebagai ketidaksengajaan, sebab apa
yang kamu lakukan itu hanya sebuah keharusan untuk memenuhi sebuah kebutuhan
dalam proses pembelajaran. Keharusan untuk memenuhi kebutuhan pembuktian
keyakinan bahwa kita mencinta.Nya sepenuh jiwa.
“Tanpa berharap balasan? Tindak
ketidaksengajaan. Gimana maksudnya mbak?”
Sederhananya begini nduk. Apa yang
telah kamu lakukan itu, tindakan itu ya memang sesuatu yang harus dilakukan.
Semisal, ketika kita bertemu dengan seseorang yang kita kenal, tersenyum dan
menyapa adalah tindakan yang butuh kita lakukan. Kamu tidak perlu mengharap
orang tersebut membalas senyum dan sapaanmu, yang penting kamu sudah menyapa
dan memberinya senyum. Selebihnya ya lupakanlah. Jika ada balasan senyum dan
sapa, ya itu bonus saja. Membebani perasaan kita dengan harap balasan itu hanya
menjauhkan kita dari tindak kebaikan selanjutnya.
“Tindak kebaikan selanjutnya? Apa
mbak?”
Tindak kebaikan yang dilakukan tanpa
sengaja, ialah yang terdekat dengan keikhlasan. Puncak dari kebaikan. Dan siapa
yang tahu keikhlasaan itu? Cuma Allah dan moment ketidaksengajaan itu.
Sekalinya kita berharap, hanguslah keikhlasan itu.
“Bukannya kita boleh berharap pada
Allah mbak. Mendapat balasan dari.Nya? ”
Tentu saja boleh. Seharusnya memang
hanya kepada Dia harapan itu bermuara. Sekali lagi, biar tindak kebaikan itu
yang tahu hanya Allah maka berpasrahlah atas amalmu. Harapan kita ketika
berbuat baik, pasti ingin segera dibalas. Cinta yang membara harus segera
disampaikan. Nah itu yang nantinya akan
membuat kita kecewa, sebab Allah itu kan Maha Surprised. Penuh kejutan.
Kalau kita berharap ini, tapi diberi itu? Belum tentu suka kan? Minta suka
malah diberi luka. Nah, malah bisa bisa nanti kamu lupa bahwa itu salah satu
proses dicintai.Nya.
Jadi, ya lakukan, lupakan, pasrahkan
pada Tuhan, Allah Ta’ala :”)
Selamat Berbahagia sayaang ^_^
0 comments:
Post a Comment