Rss Feed
  1. Bahagia Ini Untuk Kamu

    Sunday 14 June 2015

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)

    bahagiaku

                Tangisnya masih menyisakan isak atas lukanya yang masih lebam, juga beberapa luka lama yang muncul kembali pada permukaan.
    “Nag kaya gitu terus aku ndak bisa mbak. Aku gag kuat. Aku merasa dizalimi.” Curahnya terbata. Tersengal oleh air mata.
                Peluk itu kian menghangat tanpa maksud membarakan api yang masih berkobar. Peluk yang diharapkan mampu memberi sejuk. Peluk yang diharapkan mampu meredam semua pilu dan ngilu yang tak kasat mata. Peluk yang Cuma buat kamu, Nduk Sayaang :”)
                “Terluka, kecewa, marah, benci, juga perasaan negatif lainnya adalah beberapa cara yang Allah rencanakan dalam rangka menunjukkan cinta.Nya kepada kita. Dicintain Allah hlo itu, masa kamu nolak Nduk?” usapku pada tangisnya dengan tanya retoris.
                “Tapi mbak, rasanya itu sakit. Entah kejahatan apa yang sudah tak lakuin sampe mereka bisa sejahat ini sama aku. Aku enggak sekuat itu, aku juga punya batas. Aku mau menyudahi ini semua Mbak. Serius.” Putusmu masih dengan kobar bara yang belum padam.
                “Ssssttt!” pagarku pada lisannya yang meliar. “Saat hatimu keruh oleh emosi, saat hatimu riuh oleh resah tak perlu mengambil keputusan apapun Sayang. Tenang dulu, istigfar Nduk. :”) ”
                “Astgfirullah hal’adzim.” Lirihmu meredam erupsi ”Ajarin aku buat bahagia Mbak. Setidaknya aku belum pernah lihat Mbak tidak bahagia atau sesedih aku sekarang.”
    ^O^
                Dibanding pertanyaan, “Kamu enggak capek ris?” “Kamu enggak kecewa Ris?” “Kamu enggak nangis Ris?” “Kamu enggak marah Ris?” saya lebih suka dengan pertanyaan adik perempuan saya yang satu itu. :”) Hi Cantik, terima kasih atas inspirasinya :”) Melalui tanyamu, mbak belajar berbagi :”)
    1.      Belajar memaafkan. Berdamai dengan ragam kondisi meski tak sesuai yang diingini. Tidak menyalahkan diri atau siapapun atas apapun yang terjadi.
                Memaafkan berarti berdamai dengan diri. Perkara yang bersangkutan meminta maaf atau tidak itu bukan perkara yang harus dirisaukan, sebab ketika hati telah memaafkan dengan lapang maka ringanlah bibir melukiskan senyuman.
                Sayaang, maafkanlah semua luka itu. Kekecewaan, kemarahan, atau apapun hal yang tidak menyenangkan, maafkanlah. Terimalah mereka sebagai proses pendewasaanmu. Tegurlah para tersangka yang kamu tuding atas lukamu dengan kasih sayang, sehingga langkah kalian kian dekat dengan perbaikan bersama. Kamu melapangkan hati, lantas mengomunikasikan hal tersebut dalam lembutnya saling mengingatkan hingga yang bersangkutanpun tahu betapa manisnya kamu menyikapi hal yang tidak menyenangkan itu.
                “Kenapa harus aku yang memulai? Kan bukan aku yang salah!!”
                Sebab kamulah yang paling peka diantara semuanya, kamulah yang paling awas terhadap problema yang ada. Paling paham bahwa itu harus dikomunikasikan bersama. Dan terkadang untuk mulai memperbaiki sesuatu kita tidak harus tahu ‘siapa yang salah atau benar’, namun cukup pahami bahwa hal tersebut adalah pembelajaran bersama. Bukankah apapun yang terjadi adalah yang terbaik (setidaknya ketikan ‘kun fayakun’ itu terlontarkan, Allah sudah mengambil keputusan, dan pasti itu yang terbaik) namun tidak mesti itu baik dimasa mendatang. Terbaik saat itu sebab disana kita belajar mencari solusi bersama, tapi tidak dimasa mendatang agar kita tidak jatuh pada lubang yang sama, sebab kita telah memperbaiki diri. J
                “Tapi udah terlalu banyak yang membuat kecewa mbak, dibanding mereka akulah yang paling terluka! Seharusnya tidak seperti ini, kenapa mereka tidak memperlakukan sama seperti yang telah aku lakukan untuk mereka Mbak.” Isakmu kian sesak. Nafasmu tersengal naik turun.
                Peluk itu melonggar, memberimu ruang untuk menghirup duka semesta yang tidak bisa dibandingkan dengan manusia mana.
                Sayaaang, jika kamu hendak mencoba membandingkan luka dalam sebuah pengabdian kepada Allah Ta’ala, lihatlah Muhammad Bin Abdullah Bin Abdul Mutalib, seberapa banyak luka fisik maupun hati yang ia terima tanpa pernah membalas dengan hal serupa. Tengoklah ketabahan Maryam menerima dera caci dari tetangga atas kehadiran putranya yang tanpa Ayah.
                “Tapi itu kan jaman dulu Mbak.”
                Oke. Oke. Sekarang bayangin, kamu perempuan yang sedang berusaha menjadi baik, sendirian, naik motor, pulang jam sepuluh sampai jam satu malam, melewati jalan dengan kanan kiri sawah dan pekarangan kosong sejauh 20 km? Nyaman enggak?
                Tidak ada jawaban, hanya sebuah gelengan mewakilinya.
                Bayangin lagi nduk. Kamu magang, antar jemput adekmu sejauh 23 km setiap pagi. Sebelum jam enam harus udah jalan. Pulang magang masih harus ngeles sampai magrib, jemput adekmu, ke kampus buat nemenin adek adek recruitmentmu sampai jam sepuluh malem, dan besoknya harus bangun jam setengah lima buat siapin bekal adekmu, dan memulai hari dengan siklus tadi. Nyaman? Sementara tugas magang tetep jalan, pemasukan buat kamu juga harus tetap ada. Bahagia nduk?
                Masih belum ada jawaban.
                Bayangin lagi. Kamu pergi seharian, pulang orang yang kamu sayangi udah tidur, dan Cuma bisa ngliatin dia yang udah tidur nyenyak lantas menikmati kebersamaan dalam keterdiaman atau bermonolog ria atas hari yang sudah dilewati tanpa sempat saling berbagi. Nyaman nduk?
                Iya sayaang, itu contoh yang terdekat yang bisa diceritakan. Nyatanya, tokoh itu masih berbahagia. Dalam benaknya, setiap perjalanan malam itu ia tempuh. Ada banyak sayap kunang – kunang yang sedia menerangi perjalanannya menembus pulang. Ada ribuan bintang dan singgasana bulan yang tak pernah menolak mengawalnya. Ada jalan sunyi yang membebaskannya menemukan cerminan hati dalam kontemplasi. Ada lisan yang sibuk merapal dzikir menjajah segala kekhwatirannya. Dan terkadang ada hujan yang menghapus air mata sebelum sempat menetes. :”)
                Nyatanya tokoh itu masih berbahagia. Dalam benaknya, setiap perjalanan membersamai adik adalah penempaannya untuk mendampingi ‘sahabat langit’nya kelak juga menebus makna sulung dalam keluarganya. Tidak ada yang perlu disesali, yang ada ialah syukur yang tak bertepi. Sebab melalui Ksatria Kedua, ia belajar banyak hal yang dulu belum pernah terfikirkan. Pola asuh, menjaga komitmen dengan anak anak, konsisten memberi teladan, mencari solusi bersama, menyampaikan larangan dengan ajakan, dan masih banyak hal lain.
                Nyatanya tokoh itu masih berbahagia. Dalam benaknya, setiap monolog yang ia hadapi saat sepasang mata tersayang itu lelap adalah moment mensugesti hal – hal lugas yang belum tentu langsung diterima saat sepasang mata itu terjaga. Pun dengan masa pengecheckan keberadaan luka raga yang belum tentu akan dengan jujur diakui saat sepasang mata  tersayang itu terbuka, dan pertolongan pertama itu harus lekas diberikan sebelum kian parah. Mengobati saat yang tersayang lelap, bukan kah itu memudahkan langkah ketika kita belum mampu sepenuhnya menjaga?
                Bismillah nduk, luka yang katamu membuatmu seolah menjadi manusia ternelangsa di dunia, sekarang jadilah perempuan terbahagia di Indonesia (dulu) :”)

    2.      Belajar bertahan dalam paham bahwa Allah SWT mencintai hamba.Nya tidak selalu dengan hal yang menyenangkan.
                Sudah banyak yang saya ceritakan kepadamu sayang, diawalpun sudah sempat saya singgung. Bahwa prosesmu kini adalah proses Allah menunjukkan cinta.Nya kepadamu. Iya Kamu, ^_^ *malahnengok* :3
                Kamu sedang dicintain Allah swt hloo, masa kamu nolak sih. :D Disaat banyak orang masih sibuk mencari cinta.Nya, kamu dengan terang – terangan dicintai oleh Allah swt. Maka, agar segala hal dalam proses ini menjadi nikmat. Balaslah cinta Allah ini dengan mencintai.Nya kembali.
                “Bagaimana caranya Mbak?!”
                Hlaa kalau kamu sayang sama seseorang gimana menunjukkan rasa sayang itu? :)
                Deketin Allah swt. Lakukanlah hal – hal yang membuat.Nya senang. :”) Shalat, berdoa, ngaji, puasa, tilawah, dzikir, atau apapun yang membuat.Nya bahagia.
                “Taunya nag Allah bahagia atas usaha kita Mbak?”
                Lihat hatimu Nduk. :”) Jika dalam proses berpeluhmu ini kamu masih menemukan keluasan hati, kelapangan fikir, dan ketenangan bertindak, serta perasaan diperhatikan oleh.Nya insya Allah itu tanda bahwa Allah selalu membersamaimu. Menyertai setiap langkahmu menuju perbaikan. :”)
                SEMANGAT!!!!

    3.      Allah Maha Mencintai pada hamba.Nya yang meyakini.
                Maka Nduk, lakukanlah apapun  yang butuh kamu lakukan tanpa ada harapan mendapat balasan dari siapapun. Lakukan itu sebagai ketidaksengajaan, sebab apa yang kamu lakukan itu hanya sebuah keharusan untuk memenuhi sebuah kebutuhan dalam proses pembelajaran. Keharusan untuk memenuhi kebutuhan pembuktian keyakinan bahwa kita mencinta.Nya sepenuh jiwa.
                “Tanpa berharap balasan? Tindak ketidaksengajaan. Gimana maksudnya mbak?”
                Sederhananya begini nduk. Apa yang telah kamu lakukan itu, tindakan itu ya memang sesuatu yang harus dilakukan. Semisal, ketika kita bertemu dengan seseorang yang kita kenal, tersenyum dan menyapa adalah tindakan yang butuh kita lakukan. Kamu tidak perlu mengharap orang tersebut membalas senyum dan sapaanmu, yang penting kamu sudah menyapa dan memberinya senyum. Selebihnya ya lupakanlah. Jika ada balasan senyum dan sapa, ya itu bonus saja. Membebani perasaan kita dengan harap balasan itu hanya menjauhkan kita dari tindak kebaikan selanjutnya.
                “Tindak kebaikan selanjutnya? Apa mbak?”
                Tindak kebaikan yang dilakukan tanpa sengaja, ialah yang terdekat dengan keikhlasan. Puncak dari kebaikan. Dan siapa yang tahu keikhlasaan itu? Cuma Allah dan moment ketidaksengajaan itu. Sekalinya kita berharap, hanguslah keikhlasan itu.
                “Bukannya kita boleh berharap pada Allah mbak. Mendapat balasan dari.Nya? ”
                Tentu saja boleh. Seharusnya memang hanya kepada Dia harapan itu bermuara. Sekali lagi, biar tindak kebaikan itu yang tahu hanya Allah maka berpasrahlah atas amalmu. Harapan kita ketika berbuat baik, pasti ingin segera dibalas. Cinta yang membara harus segera disampaikan. Nah itu yang nantinya akan  membuat kita kecewa, sebab Allah itu kan Maha Surprised. Penuh kejutan. Kalau kita berharap ini, tapi diberi itu? Belum tentu suka kan? Minta suka malah diberi luka. Nah, malah bisa bisa nanti kamu lupa bahwa itu salah satu proses dicintai.Nya.
                Jadi, ya lakukan, lupakan, pasrahkan pada Tuhan, Allah Ta’ala :”)
                Selamat Berbahagia sayaang ^_^



  2. 0 comments: