Bismillaahirrahmaanirrahiim :)
google search |
“Dek, jarang minta pulang ke Kebumen
itu hal yang buruk to?” tanya Mbak Dian saat melihat pengisian quisioner
sewaktu Jagongan OrangTua/Wali CahBocah menjelang akhir april lalu.
“Ho.oh i mbak. Hla pripun?”
“Kok iso?” alisnya tertaut,
sungguhan ingin tahu.
Pulang, atau tepatnya keinginan
pulang adalah perasaan yang wajib hadir untuk mereka yang memiliki rumah aka
keluarga. Rumah dan keluarga adalah paket tak tergantikan sebagai tempat
pulang, yang seharusnya menjadi titik ternyaman diseluruh koordinat semesta.
Bagi saya itu wajib. (Abaikan jenis bangunan, abaikan makna sedarah,
generalisasi makna membuat siapapun dan apapun menjadi rumah atau keluarga,
right?)
Maka, saat ada keengganan untuk
pulang, dalam kacamata saya itu bukan sesuatu yang baik. Sesuatu yang harus
lekas ditindak lanjuti setidaknya agar kacang tetap ingat letak kulitnya.
Harus ada analisis mengapa perasaan
enggan itu muncul. Mengapa rindu itu tak kunjung hadir. Apa yang salah?
Rumah yang kurang membuat nyaman?
Hati yang sudah membeku? Kepesimisan yang berkolaborasi apik dengan buruk
sangka pada rumah? Ketidakpercayaan yang belum sirna? Trauma yang masih
membayangi? Luka yang tidak juga sembuh?
Bahkan untuk membuat rumah menjadi
nyaman membutuhkan pembiasaan bersama dalam cengkrama hangatnya komunikasi.
Bahkan untuk melelehkan hati dibutuhkan pembiasaan bersama dalam cengkrama
hangatnya komunikasi. Bahkan untuk menyingkirkan kepesimisan, buruk sangka,
ketidakpercayaan dibutuhkan pembiasaan bersama dalam cengkrama hangatnya
komunikasi. Bahkan untuk menyembukan luka dan trauma dibutuhkan pembiasaan
bersama dalam kehangatan keluarga.
Intensitas komunikasi menentukan quallity time yang tercipta. Bahkan
pertanyaan sederhana ketika jauh dimata serupa “Nduk/Le, sampun maem?” “Pripun
kuliahipun/sekolahipun?” “Nduk/Le, Ibu kangen. Kapan pulang?” atau ajakan yang
lebih bermakna sejenis, “Ayo main layangan sama bapak!” “Mancing yuk Le.” “Nduk
besok masak makanan kesukaanmu yuk.” “Nduk, ajarin Ibu internetan dong.” Atau
yang seringnya tersirat banget seperti, “Kamu punya rumah hlo di Kebumen.”
“Hari ini Ibu masakan makanan kesukaanmu hlo.” “Mangga didepan sudah masak
hlo”. Hlo Hlo yang mewakili rindu tanpa kata rindu. :D Ketika rumah telah
menyajikan kehangatan tersebut, adakah alasan untuk tidak pulang?
Dan dengan segala kerendahan hati,
rumahpun berbisik. “Hubungi aku sesekali saja. Tapi nanti saja. Maaf atas
kelancanganku, jika merindu katakan saja secara langsung. Iya nanti saja. Atau
jika ingin sekali bertemu ajak saja. Nanti saja jika kamu ingat aku. Jika ingat
saja ya? Kan kamu sibuk.”
Pulanglah Nak, :”)
sehangat-hangatnya selimut kontrakan, pelukan Bunda/Ayah selalu lebih hangat.
:”)
^O^
Trauma mendalam yang masih
menyuburkan kepesimisan dan ketidakpercayaan lantas menimbulkan keengganan itu
ammm cukup sulit memang. Hal – hal tidak menyenangkan yang membuat kita tidak
nyaman.
Tengoklah lagi, benarkah itu
benar-benar sesuatu yang wajar untuk masuk kategori “tidak nyaman”, maksud
saya. teliti lagi, jangan-jangan itu nampak tidak nyaman sebab rasa syukur kita
yang kurang. Harapan kita yang terlalu tinggi sehingga berbuah kecewa pada
rumah / keluarga. Jika memang demikian, berdamailah dengan ketidaknyamanan itu.
Jadikan itu nyaman dalam tampilan yang berbeda. Bersyukurlah atas kehadiran
rumah/keluarga yang kini milikmu. Setidaknya disana kamu akan menemukan paket
kesabaran dan penerimaan kehendak.Nya. Seperti halnya rumah/keluarga yang
senantiasa menerima kepulangan kita, kapanpun dengan keadaan seperti apapun.
Pintu untukmu selalu terbuka.
Atau luka itu memang nyata membuat
kucuran air mata dan goresan penuh nanah? Kamu tidak yakin bisa kembali lagi
kesana? Tidak yakin pada keselamatanmu disana? Bismillah, ketika kamu menyadari
hal itu. Melunaklah untuk menguatkanmu. Kamu adalah bara, menghangatkan atau
meniadakan sekaligus. Hijrahlah jika luka itu nyata mengancam akidahmu, jika
hanya mengancam raga, insya Allah ada yang selalu membuatmu bertahan. Menerjang
luka itu. Maka, pulanglah. Maaf dan memaafkan itu tidak pernah sekalipun
berpihak dan terlambat.
^O^
Jumat, 15 Mei 2015
Kereta Prambanan Ekspress merah
hijau melaju menuju barat. Meninggalkan Stasiun Purwosari yang sudah sepertiga
penuh penumpang. Ada saya dan Ksatria Kedua disana. Sepasang kakak-adik yang
hendak menjemput rindu. Melunasinya hingga minggu siang. Sayang, sepulangnya
saya ke Solo, Ksatria Kedua masih di Kebumen. Totalitas membayar rindu,
mungkin.
Dan tanpa harus merindu lebih banyak
lagi, Jumat depan saya harus menjemput Ksatria Kedua (lagi). :D Ekspedisi
Wonogiri bersama cahbocah SABS sudah menanti kehadirannya. ^_^
Bismillah,
semoga sehat! :D
0 comments:
Post a Comment