Rss Feed
  1. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)




                     Kasus Dolly ya?
                Tiga tahun lalu saya menjadi tim afirmatif dalam debat sebuah mata pelajaran, setuju atas sebuah pernyataan "Lokalisasi". Ya, saya diharuskan setuju dengan pernyataan tersebut, menyiapkan fakta fakta hangat yang pro akan hal tersebut. Lokalisasi seperti yang kita tahu merupakan fasilitas ruhaniah yang merujuk pada kesenangan sesaat. Cerminann masyarakat hedon. Meletakkan kesepian dan ketidakpuasan sebagai biangkeladi adanya lokalisasi. Kesepian akan kehadiran seseorang? Pun kepuasan dalam bersosial dalam hal "Itu".
                Dalam debat tersebut saya mengusung beberapa point guna menguatkan pernyataan saya. Hal hal yang dipertimbangkan atas berdirinya ruang lokalisasi, hal hal yang katanya positif.
    1.      Dengan adanya Lokalisasi orang orang yang dulunya malu malu muncul di depan umum sebagai pelanggan akan enggan kesana kembali sebab belangnya akan nampak di depan umum. (atau bahkan makin percaya diri dan kehilangan urat malu).
    2.      Sesekali kita dapat menunjukkan kepada anak cucu kita, atmosfer keruntuhan moral serta dampak dampak yang menyertainya. Setidaknya mencegah kepenasaran mereka dan keinginan mereka mengunjungi tempat tersebut dengan petak umpet.
    3.      Kita akan mampu lebih waspada terhadap para pelanggan. Dengan tahu siapa saja pelanggan disana, setidaknya kita bisa menjaga diri dari orang orang tersebut.

                Hanya tiga point itu yang saya ingat, selebihnya tenggelam dalam keterbatasan ingat saya. Dan nyata meski saya berhasil menaklukan tim yang menolak dengan tegas adanya lokalisasi tersebut, ada segumpal menyesalan yang mengendap di relung hati. Sesak. Menyiksa. Sejatinya saya kalah dalam keegoan. :3
                Lokalisasi, pembiaran ruang bisnis “esek – esek”. Ramainya ruang yang mengindikatorkan minimalisnya kesetiaan dan pengindahan akhlak dalam masyarakat. Landasan kebutuhan hidup juga keharusan survive menjadi alasan penghalalan jalan mencari makan dan kepuasan. Percaya atau tidak, bahkan mereka paham benar akan makna zina, dosa, ODHA, dan surga pun neraka. Sayangnya mereka meutup mata rapat rapat, enggan sekarat dalam perut yang minta diisi nasi, enggan sekarat termakan ngengat sepi.
                Kembali pada kasus penutupan Gang Dolly, adalah kebijakan kecil yang semoga disusul dengan tindak sama terhadap sarkem Yogya, remang RRI Solo, juga tempat tempat serupa lainnya.

    Sekalipun mereka adalah penyedia jasa. Mereka pun menjadi jembatan dosa melawan kesetiaan. Khawatir jika banyak dibuka Dolly Dolly lain secara sembunyi sembunyi? Khawatir jika pasangan bermain kucing kucingan mengunjungi atap Dolly yang malah kian mempelosok tersembunyi rapat? Khawatir ada perut buncit keroncongan meraja lela sebab lapangan kerja ditutup?
                Baiklah, mendekat sini biar saya bisiki sesuatu daripada kamu berteriak hingga serak namun tak bertemu jalan tengah, daripada kamu merintih pada Tuhan untuk penerangan jalan sesat.
                Ku kenalkan kamu pada dua sosok tangguh, Sarinah dan Dasima yang lahir dari rahim kritis W.S. Rendra. Jika kamu tak ingat sebab beda masa yang jauh. Tenang saja, ada Diva yang meringkuk nyaman di paragraf Supernova milik Dee. Mereka bertiga akan mengajakmu melawan dengan tepat aksi penutupan sebuah remang lapangan kerja.
    ^O^
    Bersatulah Pelacur – Pelacur Kota Jakarta
    Oleh W.S Rendra

    Pelacur-pelacur Kota Jakarta
    Dari kelas tinggi dan kelas rendah
    di ganyang
    Telah haru-biru
    Mereka kecut
    Keder
    Terhina dan tersipu-sipu
    Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
    Tapi jangan kau lewat putus asa
    Dan kau relakan dirimu dibikin korban

                Bisikan Rendra jelas membawa pengangkatan derajat perempuan. Terkhususkan perempuan yang tersisih dalam kehidupan berlatar belakang negatif oleh mayoritas masyarakat. Dan tentu, Rendra sedang membicarakanmu ah tidak tepatnya menguatkanmu untuk melawan. Bahkan ia mengorbankan diri untuk proses penyebaran pengaruhnya ini. dia abaikan mata mata yang menatapnya sebelah.
                Memaknainya lebih dari sekedar sajak liris, “Bersatulah Pelacur – Pelacur Kota Jakarta” adalah penggambaran realita dalam masyarakat. Atas nama penolakan tindak pengucilan masyarakat kepadamu dia bertutur melalui sajak. Dan biar bagaimanapun kamu adalah bagian dari saya. Perempuan. Pemaknaan atas diksi “Pelacur” mempertegaskan bahwa Rendra tak main main membela kaum perempuan yang tersisihkan. Ia paham benar bagaimana kehidupan terbalut ketakutan akan hukum yang tidak berpihak padanya. Kehidupan yang dirundung malu mengakui sebuah mata pencaharian sebab terpandang hina oleh kontruksi sosial serta norma bermasyarakat. Meski ada dari kamu yang duduk manis terselubung kehormatan di “Tingkat Tertinggi” yang tak semata melakukan pekerjaan untuk pemehuhan kehidupan sehari hari, namun tetap saja hidup dalam kaum persembunyian.
                Ya sayang. Terkadang masyarakat begitu kejam dalam tatapnya. Rendra dengan bijak memanfaatkan diksi “Pelacur” tak sebatas pada sebuah profesi bawah tangan, tapi disanalah tersimpan rapi dibalik kekejaman serta ketidakadilan yang dialami perempuan. Bentuk tranfosmasi liris dari relitas kehidupan sosial yang ada dalam kehidupan lapangan.
    Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
    Sekarang bangkitlah
    Sanggul kembali rambutmu
    Karena setelah menyesal
    Datanglah kini giliranmu
    Bukan untuk membela diri melulu
    Tapi untuk lancarkan serangan
    Karena
    Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
    Tapi jangan kau rela dibikin korban
                Benar! Kamupun bagian dari perempuan yang diperjuangkan emansipasinya oleh R.A Kartini. Jika dulu perempuan dikucilkan sebab pendidikan yang dianggap tabu serta melanggar nilai, nyata kamu terpinggirkan sebab aksi persembunyian mata pencaharian. Maka kamupun layak berjuang dari status sosial yang terpandang negatif oleh masyarakat. Rendra dengan lugas mendobrak kebenaran atas keberadaanmu dibalik tirai kelam gedung-gedung birokrasi.

    Sarinah
    Katakan kepada mereka
    Bagaimana kau dipanggil kekantor menteri
    Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
    Tentang perjuangan nusa bangsa
    Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
    Ia sebut kau inspirasi revolusi
    Sambil ia buka kutangmu

    Dan kau Dasima
    Khabarkan pada rakyat
    Bagaimana para pemimpin revolusi
    Secara bergiliran memelukmu
    Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
    Sambil celananya basah
    Dan tubuhnya lemas
    Terkapai di sampingmu
    Ototnya keburu tak berdaya
    Politisi dan pegawai tinggi
    Adalah caluk yang rapi
    Kongres-kongres dan konferensi
    Tak pernah berjalan tanpa kalian
    Kalian tak pernah bias bilang ‘tidak’
    Lantaran kelaparan yang menakutkan
    Kemiskinan yang mengekang
    Dan telah lama sia-sia cari kerja
    Ijazah sekolah tanpa guna
    Para kepala jawatan
    Akan membuka kesempatan
    Kalau kau membuka kesempatan
    Kalau kau membuka paha
    Sedang diluar pemerintahan
    Perusahaan-perusahaan macet
    Lapangan kerja tak ada
    Revolusi para pemimpin
    Adalah revolusi dewa-dewa
    Mereka berjuang untuk syurga
    Dan tidak untuk bumi
    Revolusi dewa-dewa
    Tak pernah menghasilkan
    Lebih banyak lapangan kerja
    Bagi rakyatnya
    Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan
    Namun
    Sesalkan mana yang kau sesalkan
    Tapi  jangan kau lewat putus asa
    Dan kau rela dibikin korban
    Pelacur-pelacur kota Jakarta
    Berhentilah tersipu-sipu
    Ketika kubaca di koran
    Bagaimana badut-badut mengganyang kalian
    Menuduh kalian sumber bencana negara
    Aku jadi murka
    Kalian adalah temanku
    Ini tak bias dibiarkan
    Astaga
    Mulut-mulut badut
    Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan
    Saudari-saudariku
    Membubarkan kalian
    Tidak semudah membubarkan partai politik
    Mereka harus beri kalian kerja
    Mereka harus pulihkan darjat kalian
    Mereka harus ikut memikul kesalahan
    Saudari-saudariku. Bersatulah
    Ambillah galah
    Kibarkan kutang-kutang mudih ujungnya
    Araklah keliling kota
    Sebagai panji yang telah mereka nodai
    Kinilah giliranmu menuntut
    Katakanlah kepada mereka
    Menganjurkan mengganyang pelacuran
    Tanpa menganjurkan
    Mengahwini para bekas pelacur
    Adalah omong kosong
    Pelacur-pelacur kota Jakarta
    Saudari-saudariku
    Jangan melulur keder pada lelaki
    Dengan mudah
    Kalian bias telanjangi kaum palsu
    Naikkan tarifmu dua kali
    Dan mereka akan klabakan
    Mogoklah satu bulan
    Dan mereka akan puyeng
    Lalu mereka akan berzina
    Dengan isteri saudaranya

                Saya paham tidak mudah lepas dari jerat lorong pekat itu, benar bahwa membubarkan partai Politik lebih mudah dibandingkan membubarkan lapak lapak itu. Hanya saja, bukankah ini penawaran pantang tolak agar kamu terbebas dari lingkaran setan lapar itu? Setidaknya aksi tegar Bu Risma adalah wujud nyata pembelaan atas kamu. Dia bahkan membukakan pintu untukmu kembali bermasyarakat. Dana kompensasi itu berupa buku tabungan senilai Rp 5.050.000. itu memang tak sebanding dengan rupiah bertahun kalian disana. Hanya saja, bersama niat melawan dan tindak enggan bergantung pada lumpur pekat, gunakanlah itu. Membuka usaha dengan lihainya tanganmu meracik kopi, teh, bakwan, pun dengan kuliner lain yang biasa kamu makan. Bisa juga kamu lawan dengan kelincahanmu melukis wajah di depan cermin pun dengan aksi memangkas rambut rambut guna memperindah raga. Saya percaya, kamu mampu dan bisa.
                Jadilah kupu-kupu yang tidak berhenti bermetamorfosis :”) Tak bergantung pada pekat malam yang penuh fana pun dengan siang yang banyak tak disangka. :”). Kamu, Saya adalah Perempuan yang harus tetap berjuang :”)


  2. Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    Senin, 23 Juni 2014

                Masih mengemban judul sama “Mahasiswa Pengangguran Nyari Kegiatan”, saya menyusup dalam lingkaran anak anak SIM UNS, mengikuti jejak mereka untuk bermalam di sebuah atmosfer pendidikan. Setidaknya keikutsertaan saya tak serta merta sebab aksi penyusupan ini :P ada sebuah pamflet beredar bebas di beranda sosial saya :D Membawa jargon “Sejenak Menatap Sungai” saya percaya undangan itu dibuka untuk umum :D
                Berenam motor kami berangkat selepas menggugurkan tiga rekaat magrib dan meredam kelaparan di warung Mbok Warni. Perjalanan memakan waktu satu jam lebih, bukan sebab tempat yang begitu jauh, hanya saja di tengah perjalanan kami sempat terpencar dan harus saling menunggu untuk kembali utuh. Sembari menanti kamipun melunasi isya dalam empat rekaat berjamaah. Melanjutkan perjalanan menuju pondok ilmu belajar.
    ^O^
                Dalam radius satu lima ratus meter hidung saya mencerna sebuah wangi khas. Semacam pengawetan kayu dengan luluran pernis, pun dengan usia kayu yang telah bersenyawa dengan udara. Sepertinya memang banyak pengusaha kayu di daerah ini. Gondangsari, Juwiring, Klaten.
                Dan bersama detak waktu pukul sepuluh malam kami tiba. Di sambut oleh riuh anak anak yang berkolaborasi dengan kobaran bara serta aroma jagung. Menyapa beberapa dari mereka, saya sepintas lalu menatap sekitar. Ah ya, saya teringat sosok Alice. :D Saya merasa terjatuh ke dalam lubang kelinci, tanpa harus meminum cairan pengecil ataupun makan roti pembesar saya telah masuk dalam istana Ratu Merah. Hanya saja, istana Ratu Merah telah bermetamorfosa menjadi ladang Rapunzel. Pasukan Ratu Merah pun menjelma menjadi bocah bocah kelebihan energi yang pukul sepuluh malam belum memeluk gulingnya :3
                Membiarkan bocah bocah itu menyalurkan energi bersama bongkahan jagung, langkah kami tertuntun untuk memasuki sebuah forum. Menilik dari penampilan dan pembahasan forum tersebut, yakinlah bahwa kami memasuki ranah kelas orangtua. Menyimak tiap dialog juga slide presentasi, kami memilih diam dan tak banyak cakap. Saya percaya, nanti ada masanya untuk menyerbu seorang di sana dengan banyak tanya. Setidaknya beliau harus bertanggung jawab kepada semua tanya yang beranak pinak dalam benak saya :3
                Tentang kegiatan macam apa ini? Mengajak orang tua berbincang sementara membiarkan anak anak riuh hingga tengah malam?
                Tempat belajar macam apa ini? Menyusupkan dunia Rapunzel dalam susunan kayu yang katanya sebagai area ilmu?
                Nyaris satu jam kami menyimak sembari menahan diri untuk tidak banyak tanya. Setidaknya kami belajar untuk sedikit tahu diri, bahwa forum ini bukan ranah untuk menjawab kepenasaran sekelompok mahasiswa yang pastinya sudah pernah ditanyakan banyak mahasiswa sebelum kami.
    ^O^
                Sekali pandang dia tidak jauh berbeda dengan bapak bapak pada umumnya. Dengan pakaian resmi bapak bapak rumah tangga berupa sarung, kemeja longgar dengan beberapa kancing atas di bebaskan dari kekang, rambut tak tumbuh merata di kepala, juga sebaris kumis yang tetap di singgasannya, demikian deskriptif sekali pandang sosok tersebut. Orang sekitar menyapanya dengan panggilan Pak Yudi. Itu jika sekali pandang, namun jika kamu memandangnya sekali dan diselingi cuap cuap pendidikan, nahh nampaklah wujud asli sosok cadas dibalik cover sederhana itu.
                Beliau mengaku hanya tukang kayu yang prihatin dengan muramnya wajah pendidikan Indonesia. Sikap keprihatinan yang terwujud dalam tindak peduli membangun lahan dan menyihirnya menjadi wonderland a la Kakek Gepeto. :v Yups, saya baru benar benar sadar sejauh paragraf ini. Bahwa beliau serupa dengan Kakek Gepeto :D Yeay!
                Ingat bukan? Bagaimana Kakek Gepeto si Pengrajin Kayu itu memberikan jiwa untuk sebongkah kayu yang ia cinta sepenuh hidupnya. Selama ini kayulah yang menghidupinya, membuat asap dapurnya tetap mengepul, hingga suatu saat ia berniat untuk menghidupkan kayu. Ya, menghidupkan sesuatu yang menghidupinya. Dengan semboyannya Kakek Gepeto abad milenia “ Membangun dari bawah, merombak dari atas ” ia mulai membekali kayu kayu itu dengan jiwa pebelajar. Membuat Pinokio bernyawa.
                Hijaunya sawi sawi di lahan sekolah, penuhnya buku buku di perpustakaan dengan tulisan tangan, jahe jahe yang ramai bergerombol, juga maraknya aksi empati satu sama lain adalah wujud nyata dari terjiwainya kayu kayu itu. Iya sayang, kayu kayu itu adalah anak anak yang katanya penerus bangsa itu. Manisnya surat tujuan dan fungsi pendidikan dalam perundang-undangan nyata tak sejalan dengan manisnya dunia pendidikan yang malah menjadi sangat miris. Pendidikan formal, khususnya sekolah formal, faktanya hanya menghasilkan manusia manusia boneka, penghafal tanpa amal. Paham benar satu ditambah satu itu dua, namun lupa pada probabilitas lainnya. Bahwa satu tambah satu tidak selalu dua, namun jauh dari satu ada dua puluh tujuh sebagai jawaban satu ditambah satu. *IfYouKnowWhatIMeant. Pun dengan pemaknaan ikhlas, sejak kapan ikhlas begitu renyah dikumandangkan dalam jawaban “Iya Bu saya ikhlas kok?” bahkan dalam Al-Ikhlas tak selarikpun ada kata ikhlas.
                Kamu masih butuh bukti bahwa anak-anak sekolah sekarang tak jauh berbeda dengan bonek kayu tanpa nyawa? Ayolah, ingat bagaimana kita dulu harus menghafalkan materi ujian bahkan saat saya belum paham makna dari apa yang saya hafalkan. -_- Ingat bagaimana kita menghafalkan jumlah simetri dari tiap bangun datar tanpa tahu bagaimana simetri itu terbentuk? Ingat bagaimana kita sibuk menghafalkan proses deduksi dan induksi perpindahan panas tanpa kita pernah tahu bagaimana proses itu berjalan? Ingat bagaimana senangnya kita saat pelajaran olah raga itu ada dijadwal kita, kelas bebas kita mencoba apapun tanpa harus menghafalkan. Kita tak butuh hafal berapa derajat sudut jitu untuk melempar bola kasti agar mampu mengantar kita pada home run. Kita tak butuh hafal seberapa besar energi yang dibutuhkan untuk melompati kayu lompat tinggi. Kita hanya perlu melakukan tanpa takut kesalahan. Ahhh bagi saya mengalami sendiri selalu lebih efektif untuk paham materi dibanding kita memandang saja. :P
                Masih belum cukup? Ingat bagaimana lowongan tentor bimbingan belajar itu menjamur di papan papan pengumuman kampus? Dengan kualifikasi sedemikian rupa, mereka diharuskan mampu mencetak bocah bocah hafal materi, bocah bocah pemilik ranking di kelas. Bocah bocah korban keegoisan orang tua, pemerahan masa perkembangan anak. -_- menyeragamkan kecerdasan hanya dalam kemampuan logika, aljabar, hingga dialektika :3 Dudek! Korban dari Perkembangan Anak adalah Kompetisi =,= menutup mata bahwa setiap anak memiliki tahap perkembangannya masing masing, menutup mata bahwa setiak anak istimewa dengan potensinya.
                Iya, hal tersebut masih bergantung pada pola asuh serta pribadi masing masing. Tak jarang kok orang yang berempati tinggi dan baik baik saja dalam berprestasi. Banyak pula yang berhasil dengan sekolah formalnya tanpa harus menjadi boneka orang tua. Tapi berapa persen dari jumlah keseluruhan anak didik di negeri tercinta ini?
                Dan mengenai ketimpangan presentase tersebut Sekolah Alam Bengawan Solo yang kemudian saya sebuat SABS beralamat di Panjangan Rt/Rw: 01/01 Gondangsari, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah hadir. SABS adalah sekolah alam pertama yang saya kunjungi dan saya kuliti dalam obrolan dengan si pendiri meski konsep sekolah alam sendiri sudah pernah saya dengar dari Om Dik Doank dkk. Membawa kata beda dengan sekolah alam lainnya, ada semacam spesifikasi pengembangan potensi di sini. Melalui sistem pendidikan sekolah alam yang masih berlandas pada UU No 20 tahun 2003 Bab II Tentang Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan beliau mengajak peserta didik untuk melakukan upaya pembiasaan dalam sebuah perilaku sehingga mengakar menjadi sebuah karakter/kepribadian/watak. Sebab pendidikan ialah tentang membangun peradaban, bukan proses penyeragaman budaya dan potensi. -_-

    BAB II
    DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN
    Pasal 2
    Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
    Indonesia Tahun 1945.
    Pasal 3
    Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
    serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
    bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
    yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
    berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
    bertanggung jawab.
                Dan delapan karakter yang diam diam disisipkan melalui keragaman kegiatan mereka adalah:
    1.      Cinta Kebenaran dengan wujud sikap jujur, adil, juga amanah.
    2.      Kekuatan Kehendak dengan wujud sikap optimis, inisiatif, tegar, bersungguh – sungguh, juga disiplin.
    3.      Ambisi tinggi dengan wujud sikap berprestasi, dinamis, pun menjaga kehormatan.
    4.      Kesabaran dengan wujud sikap tenang, lembut, konsisten, santun, dan menjaga rahasia.
    5.      Rasa Kasih Sayang dengan wujud sikap pemaaf, empati, penolong, serta berbakti.
    6.      Naluri sosial dengan wujud sikap persatuan, bersih hati, menutup aurat dan berbudaya malu.
    7.      Cinta Sesama dengan wujud sikap berbuat baik dan persaudaraan.
    8.      Kedermawanan dengan wujud sikap pemurah, hormat, mendahulukan orang lain.

    Kedelapan karakter yang terwujud dalam beberapa kegiatan sarat makna semisal kegiatan Rabu Legi yang mengajak anak menjajakan produk kreatif mereka. Tak melulu soal laba dan rugi, namun lebih mengajak anak untuk berani mencoba dan percaya pada buah kreatifnya bisa diterima lingkungan. Kemudian Green Lab, agenda bercocok tanam yang mengajak anak untuk tidak lupa bahwa selain nenek moyang seorang pelaut, juga ada kakek moyang seorang petani. Bahwa Indonesia tak hanya maritim namun juga agraris. Pun kegiatan Bermain Permainan Tradisional yang menstimulus perkembangan psikomotor anak, meningkatkan kinestetik agar lincah melangkah. (Saya pernah membahas ini di sini). Masih dalam rangka pembiasaan, PR merekapun tak berupa soal soal bernomor banyak dan berjawaban rumit. PR mereka adalah catatan amal yaumi mereka dalam rangka membantu orang tua. Ahh manis sekali. Tak hanya persoalan akademik dan pengembangan potensi namun juga mensinergikan pendidikan formal dengan pendidikan informal.
    ^O^
    Dan aksi flash freeze mob: Save Bengawan Solo #sabsfest02 mendekatkan saya dengan manisnya tingkah mereka. :”) Merapal beberapa nama yang dengan penuh perjuangan saya hafalkan :v Sati, Cikal, Lita, Fergy, Bening, Anis, Umi, Ihsan, huwaaa saya belum hafal benar rupanya :3. Satu jam lebih kami berada di tepi jalan, menggelar karya tangan atas nama penyelamatan kebeningan sungai Bengawan Solo ini. Aksi sederhana untuk saling mengingatkan sesama, bahwa manusia adalah khalifah. Makhluk ciptaan termulia yang wajib menjaga semesta. :”)
    Jingga ufuk timur mengantar kepulangan kami dengan rutinitas mahasiswa. Mengaminkan harap untuk dapat berkunjung kembali pun dengan menimba ilmu dari Kakek Gepeto :”) Semoga ada kelak saya di sana. Aamiiin.
    ^O^















      Foto By Risa Rii Leon

  3. Hujan Ilmu: GAPAI

    Monday, 23 June 2014

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)



    Minggu, 22 Juni 2014



                Muka Badak! Brangkali demikian wujud kehadiran saya dalam forum itu. Lebih dari tiga minggu proses kepanitiaan itu berlangsung, sayangnya baru H-2 saya baru benar benar bisa membersamai lebih dari sekedar mengupdate info di grup panitia. Jadwal rapat dan jadwal ngeles yang bersamaan itu benar benar merepotkan ruang gerak dan ingin saya :3. Ok, si Muka Badak layak kena timpuk -_-
                Selepas ashar saya menuju aula Fakultas Hukum, bersama langkah malu malu dan tidak tahu diri. Membaur dengan panitia lain, tersapa dengan salam dan ‘wajah – wajah baru’ yang sejatinya lama saya amati dalam grup :v. H – 2 ini akan mengabarkan fiksasi acara, mengenai penanggung jawab tiap lini acara juga kegiatan pra acara dari sponsorship hingga relationship dengan pemateri, dari koordinator hingga moderator. Semua akan dipastikan hari ini, teknis teknis sederhana namun signifikan yang menentukan keberjalan acara. Lima belas menit seusai adzan magrib, rapat fiksasi acara ditutup doa kafaratul majelis.
                Jalanan kampus masih basah oleh hujan sedari ashar, meniadakan debu yang kadang beterbangan menyesakan nafas. Saya  melangkah kembali menuju Aula Fakultas Hukum. Menghampiri rekan rekan yang sudah sedari pagi membersamai persiapan untuk esok. H – 1 selalu meminta perhatian lebih dari seribu kali :v setidaknya  H – 1 adalah harapan agar semua fokus pada agenda esok. Kursi kursi itu telah tertata, bannerpun sudah terpasang, kardus kardus sponshorship dengan isi snack kering, kertas kertas, juga dengungan lagu penyemangat mengisi riuhnya persiapan. Aksi menggunting, menempel, membungkus, menggeser, menggangkat, mengelap, juga menyapu, mengudang peluh peluh untuk mengeluh. Sayangnya, mereka terlalu kuat untuk mengeluh, bahkan meski sudah dari pagi, meski hujan belum berhenti, meski pegal menjamah kaki, semua masih nampak semangat. Dan belum belum perasaan rindu berproses sedemikian lelahpun merebak. Saya terharu. :”)
                Pukul 01.23 WIB. Kami (Saya, Mbak Sita, dan Mbak Inayah) beranjak meninggalkan aula Fakultas Hukum. Meninggalkan jiwa jiwa yang sudah terbuai mimpi untuk disapa lebih dini esok pagi. Masih ada area stand yang wajib dirapikan, masih ada sound system yang harus disesuaikan, masih ada bungkusan snack yang wajib disalurkan, juga masih ada insan insan inspiratif yang harus dikabarkan kembali. Mengistirahatkan raga beberapa jam, menyiapkan tenaga untuk hari depan.
                05.15 WIB alarm itu berdering ketiga kalinya, dan ketiga kalinya pula saya tekan tombol ‘abaikan’ sebagai jawaban. :v Bukankah demikian nasib sebuah alarm? Abaikan atau matikan? :v Saya terlalu lembut untuk membunuh :v. Dan kami tergagap bangun! Terlambat lima belas menit dari jadwal bangun, menuaikan dua sebelum fajar juga dua wajib subuh, mandi hingga berpakaian rapi, kami siap menghampiri Aula Fakultas Hukum (lagi). Berdiri di koridor konsumsi, memadamkan kelaparan dan penjamin kesejahteraan umat acara bersama rekan Mega. Menyapa dan menyilahkan hadirin masuk, menyiapkan senyum manis anti diabetes dengan harapan setiap hadirin membawa manfaat sesuai acara, juga sesekali berkeliling area menyapa mereka yang bukan konsumsi :v.
                “Menyongsong Indonesia Inklusi” begitu label  yang dibawa dalam acara ini dengan pemilik panji Expo Gapai (Gerakan Peduli Indonesia Inklusi), Kamis, 19 Juni 2014 bertempat di Aula Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, resmi menjadi jembatan rencana guna menuju Indonesia Inklusi. Berawal dari ide sederhana beberapa insan peduli Inklusi (Pengurus GAPAI: Mas Sidiq, Mbak Sita, Mbak Inayah, Mas Wafa, mas Anam, Mas Heri, Mas Nyan dan Mas Arif) untuk membersamai insan insan istimewa membaur bersama dalam ruang pendidikan maupun penyetaraan hak lainnya.
                Membawa tema “Menyongsong Indonesia Inklusi” kegiatan kemanusiaan ini berhasil menggandeng rekan rekan deafable inpiratif juga tokoh tokoh masyarakat yang tak segan turun tangan dalam aksi kepedulian. Sebut saja Mukhanif Yasin Yusuf sebagai Ketua Umum Student Actifity Unit Of Deafable Care UGM, Abdullah Fikri.S.H.I sebagai Koordinator PLD (Pusat Layanan Difable) UIN Kalijaga akan menyampaikan Urgensi Inklusi di Perguruan Tinggi Indonesia. Kemudian merambah pada kepedulian di ranah nusantara, Drs. Subagya, M.Si (Kepala PSD (Pusat Studi Difabilitas) LPPM UNS. Drs. Mulyanto Utomo. M.Si selaku Redaktur Senior Harian Solopos serta Ibu Astuti Parengkuh selaku Kontributor Solider Orangtua Difable yang akan mengumandangkan Urgensi Inklusi Di Indonesia. Dengan Keynote Speaker Bapak Prof.Dr.Ravik Karsidi, M.S. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret diharapkan mampu menyampaikan tujuan kegiatan, langkah kecil menuju Indonesia Inklusi.
                Panitiapun menawarkan ragam hiburan dari rekan deafable berupa Perfoming Art Personal (Mbak Mega), Sekolah Luar Biasa hingga grup musik istimewa Pijar Band yang berhasil menyabet rekor MURI dalam keterbatasan pandangnya mencerna ragam warna dunia. Tidak hanya itu karya karya dalam wujud product buatan insan istimewa ini pun telah turut meramaikan atmosfer Expo Gapai 2014 ini. Pun dengan sosialisasi komunitas peduli Inklusi Lainnya, (Gerkatin dan Volunteernya, IRT/RW, dll)
                Dan penegasan tindak kepedulian itu pun terikrarkan dalam sebuah Deklarasi Peduli Inklusi. Dua sesi seminar yang diharapkan mampu menginspirasi semua perengkuh keterbatasan, bahwa terbatasnya seseorang bukan sebab keterbatasan atau ketaklengkapan fisik insan tersebut, satu satunya yang membatasi adalah sugesti juga harapan diri. Mata menjadi tak berati ketika masih menatap dunia dalam kepesimisan, menggangap bahwa semua hal jauh dari makna keindahan. Kaki pun kian tak bermakna jika masih dijalankan dalam langkah keterpaksaan hingga lisan mengabarkan keluhan. Otakpun kehilangan fungsi jika masih tak mengamalkannya dalam lingkup nyata. Tanganpun hanya sebongkah tulang berlapis daging jika hanya digunakan untuk saling menuding dan menyalahkan. Dan telinga pun hanya aksesoris kepala jika masih untuk mendengar keburukan sesama.
                Bersama nampan nampan konsumsi di tangan, juga telinga yang saya paksakan dengar banyak suara, batin saya basah oleh hujan ilmu. Ya, serupa hujan lokal yang menerjang aula acara hingga menghasilkan sebuah tanya.
                Sejauh inskulisifisme kampus tempat saya belajar? Mengingat belum nampak hal signifikan dilaksanakan kampus menidaklanjuti paparan semangatnya dalam seminar seminar. Sebatas penyediaan jalur pejalan kaki juga berkursi roda kah? Lantas bagaimana jika di Netra ingin membaca? Adakah braile menyapa ruang baca kampus? Seberapa banyak? Lantas bagaimana dengan si Rungu yang ingin mendengar kabar laporan acara kampus yang mereka ikuti? Adakah isyarat itu menyambangi tatap siaran channel kampus?
                Sampai tahap apa lingkungan saya mengamalkan inklusifisme? Lebih dari sekedar jalan tanpa tangga untuk yang beroda, braille ramai di perpustakaan kota, isyarat tampil di media masa, sabar pangkat simetri lingkaran yang menjamah ruang didik ketrampilan rekan istimewa.
                Pun dengan apa yang sudah saya lakukan untuk mengamalkan inklusifisme? mengeja rangkaian huruf braile? Isyarat tangan? Atau baru sebatas membuat tulisan ini? Wallahu’alam. Hanya berharap akan ada nikmat sempat mengamalkan semua ilmu meski dari sebesar biji gandum.
                Dan menyongsong Indonesia Inklusi, ahh barangkali lebih tepatnya Mengembalikan Indonesia Inklusi. Bukankah inklusi adalah darah daging kita sebagai Indonesia? Bukankah ia telah menetap sangat lama sejak merdeka? Menduduki tahta dasar negara dalam lantunan “Bhineka Tunggal Ika”. Inklusi hanya diksi baru dalam perbendahraan kata, saudara seibu dari sebuah Bhineka Tunggal Ika. Apa yang harus dipandang beda dan sebelah mata ketika kita sama sama hidup di Indonesia? Apa  yang harus dipandang beda dan sebelah mata ketika kita sama sama diciptakan oleh Tuhan yang Esa? Bahkan dalam rencana Tuhan tak mengenal gagal, pun dengan penciptaan manusia :”)
    ^O^
                Lampu lampu jalan masih riuh oleh tajuk sinarnya. Menandai adanya peradaban diantara gulita. Bersama Bus Patas AC Surabaya – Magelang saya pulang ke asrama. Kembali pada jumat dengan satu deadline tugas kelompok. -_-. Ada rapalan yang tak henti berkumandang, ada banyak semoga atas sebuah harapan. Ini adalah puncak pertama, batu pijakan yang semoga kian menguatkan langkah. Semoga..ya semoga masih ada sempat membersamai mencapai puncak lain. Aamiiiin.
                Akhir kata mari tunaikan Salam Penyetaraan! ^_^
       
                                                              Warna - Warni Kita

     


















    Foto By Risa Rii Leon